7 Peraturan yang Dinilai Tak Selaras Amanat Reformasi
Berita

7 Peraturan yang Dinilai Tak Selaras Amanat Reformasi

Ketentuan HAM dalam konstitusi seharusnya menjadi acuan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Penolakan hukuman mati. Foto: RES
Penolakan hukuman mati. Foto: RES

Reformasi yang bergulir di tahun 1998 membawa banyak perubahan di berbagai bidang seperti politik, hukum, ekonomi dan sosial. Banyak perubahan kebijakan yang sudah terjadi. Buktinya, ratusan Undang-Undang yang sudah dihasilkan sejak era reformasi bergulir hingga sekarang. Beberapa peraturan mendapat apresiasi, sebaliknya ada juga yang dikritik.

 

Dalam pandangan para aktivis hak asasi manusia, misalnya, masih ada peraturan yang belum selaras dengan amanat reformasi. Sekadar contoh, Imparsial mencatat ada 7 peraturan yang dinilai bertentangan dengan HAM atau tidak selaras dengan reformasi. Peneliti Imparsial, Husein Ahmad, menyebut beberapa peraturan ini materi muatannya mengalami kemunduran, tak sesuai amanat reformasi, dan kurang memenuhi nilai-nilai hak asasi manusia.

 

Pertama, aturan mengenai organisasi kemasyarakatan. Awalnya Pemerintah menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Perppu ini kemudian disetujui menjadi Undang-Undang dan kini dikenal sebagai UU No. 16 Tahun 2017. Imparsial menilai peraturan terbaru mengenai ormas itu mengancam kebebasan berserikat. Kebebasan berserikat sangat terkait kebebasan lainnya seperti kebebasan berpendapat dan berekspresi, berkumpul, berpikir, berkeyakinan, dan beragama. “Sekarang pemerintah bisa membubarkan ormas tanpa melalui pengadilan,” kata Husein dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (09/5).

 

Kedua, UU No. 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Peraturan itu memberi kewenangan DPR untuk memanggil paksa pihak lain untuk hadir dalam rapat di DPR. Lebih dari itu, dalam menjalankan panggilan paksa itu dapat juga menyandera setiap orang untuk jangka waktu paling lama 30 hari. Pasal 122 huruf l UU MD3, memberi kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum terhadap pihak yang merendahkan kehormatan lembaga dan anggota DPR. “Pasal ini untuk meredam kritik masyarakat terhadap DPR,” ujar Husein.

 

Ketiga, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah diperbarui lewat UU No. 19 Tahun 2016, banyak memuat ketentuan yang multitafsir sehingga berpotensi mengkriminalisasi masyarakat.

 

Keempat, UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Undang-Undang ini dinilai bermasalah karena mengatur pelibatan TNI dalam penanganan konflik sosial. Dalam pandangan Imparsial, seharusnya pelibatan TNI itu diatur dalam regulasi terpisah, misalnya UU Perbantuan.

 

Kelima, ketentuan hukuman mati yang diatur dalam KUHP. Walau mengapresiasi pembahasan revisi KUHP di DPR karena memasukan hukuman mati dalam hukuman alternatif, tapi Imparsial mengusulkan agar pemerintah melakukan moratorium eksekusi terpidana mati. Sejak tahun 1960 sampai awal reformasi jumlah terpidana mati yang dieksekusi berjumlah 84 orang. Tapi sejak reformasi sampai Mei 2018 tercatat ada 303 vonis mati yang diputus di berbagai tingkat pengadilan.

 

(Baca juga: Vonis Mati Banyak Dijatuhkan Hakim Pengadilan Negeri)

 

Keenam, SKB Tiga Menteri (Jaksa Agung, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri) yang diterbitkan tahun 2008 tentang pelarangan Ahmadiyah di Indonesia. Husein menyebut pada intinya peraturan itu sangat mendiskriminasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

 

Ketujuh, Peraturan Daerah (Perda) yang diskriminatif, misalnya pelaksanaan Qanun Jinayat di Aceh yang menerapkan hukuman cambuk.

 

Peneliti Senior Imparsial, Bhatara Ibnu Reza, menjelaskan ada 6 tuntutan reformasi. Pertama, penegakan supremasi hukum. Sayangnya di era reformasi malah muncul sejumlah peraturan yang bertentangan dengan HAM dan amanat reformasi. Kedua, mengadili mantan Presiden Soeharto dan kroninya. Sampai Soeharto meninggal amanat reformasi itu tidak tercapai. Belum ada akuntabilitas yang dilakukan terhadap Soeharto dan kroninya, malah sekarang keluarga dan kroni Soeharto bisa membentuk partai politik dan masuk kekuasaan.

 

Ketiga, pemberantasan KKN. Amanat reformasi ini relatif sukses karena berhasil mendorong terbentuknya KPK. Sayangnya semangat anti KKN tidak muncul di kalangan elit politik dan pejabat pemerintah, malah mereka yang sering terjerat kasus korupsi. Keempat, amandemen UUD RI 1945. Bhatara mengingatkan amandemen itu dilakukan parlemen sejak 1999 sampai tahun 2002. Dalam amandemen itu ketentuan tentang HAM dimasukkan dalam konstitusi.

 

Sayangnya, ketentuan HAM sebagaimana tertuang dalam konstitusi itu tidak menjadi acuan pembaruan hukum nasional. Bhatara melihat masih ada peraturan yang bertentangan dengan HAM seperti pelaksanaan hukuman mati dan UU MD3. Kelima, pencabutan dwi fungsi ABRI (TNI). Pada awal  reformasi, TNI terlihat melakukan reformasi internal, tapi mandek sejak 10 tahun terakhir. Misalnya, proses revisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer mangkrak di tahun 2005 dan restrukturisasi Komando Teritorial (Koter) belum berjalan.

 

Keenam, Otonomi Daerah. Bhatara menyebut tujuan desentralisasi itu agar pemerintah daerah bisa mandiri dan menggali potensi daerahnya secara optimal untuk kemakmuran rakyat. Tapi praktiknya sekarang otonomi daerah lebih dipandang sebagai perebutan kekuasaan. “Muncul raja-raja kecil, sehingga memicu maraknya korupsi di daerah,” paparnya.

 

Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, mengingatkan pemerintah untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang sampai sekarang belum tuntas. Dalam Nawacita pemerintah berjanji untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu secara berkeadilan, namun arahnya sampai sekarang belum terlihat.

 

Menurut Al reformasi ini merupakan perjuangan yang dilakukan kelompok rakyat yang menentang rezim orde baru. Banyak aktivis reformasi yang diculik dan hilang sampai sekarang.”Pemerintah punya tanggung jawab untuk mencari para aktivis yang hilang di tahun 1997-1998,” tukasnya.

 

Wakil Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, mengusulkan kepada pemerintah untuk mulai menyelesaikan satu per satu kasus pelanggaran HAM masa lalu. Bisa dari kasus yang relatif mudah prosesnya yakni penculikan aktivis/penghilangan paksa 1997-1998. Pansus Kasus Penghilangan Paksa yang dibentuk DPR telah menerbitkan beberapa rekomendasi kepada pemerintah.

 

(Baca Juga: DPR Minta Presiden Bentuk Pengadilan HAM Ad Hoc)

 

Rekomendasi itu meminta pemerintah membentuk pengadilan HAM ad hoc dan mencari 13 aktivis yang masih hilang. “Kalau Presiden Joko Widodo dan jajarannya punya komitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran Ham masa lalu, maka kasus ini harus diselesaikan karena secara legal formal sudah tidak ada kendala lagi,” pungkas Gufron.

Tags:

Berita Terkait