7 Kritik Kiara untuk Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja
Berita

7 Kritik Kiara untuk Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja

Kebijakan omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja potensial semakin mengancam ruang hidup masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil serta tingkat kesejahteraan nelayan kecil/tradisional karena memberi keistimewaan bagi para nelayan skala besar dan investor/pemodal besar.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pembahasan RUU. Hol
Ilustrasi pembahasan RUU. Hol

Berbagai elemen masyarakat dan lembaga negara telah menyampaikan kritik terhadap rencana pemerintah menyederhanakan regulasi melalui omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). Mekanisme omnibus law bakal menyasar berbagai sektor karena ada lebih dari 50 UU yang bakal diubah atau dicabut. Diantaranya berkaitan dengan sektor kelautan, perikanan, pesisir, dan pulau-pulau kecil.

 

Dalam draft pertama naskah akademik RUU Cipta Lapangan Kerja yang diperoleh Hukumonline, beberapa UU di sektor tersebut masuk rencana penataan melalui omnibus law antara lain UU No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan; UU No.7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam; UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana diubah melalui UU No.1 Tahun 2014.

 

Sekjen Kiara Susan Herawati mengatakan omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja penting untuk dikritisi karena dirasa bukan ditujukan untuk kepentingan rakyat. Kiara mencatat sedikitnya ada 7 hal yang perlu disoroti terkait omnibus law RUU Cilaka ini. Pertama, nelayan kecil dan tradisional yang menggunakan perahu di bawah 10 GT (Gross Tonnage) dengan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan harus mengurus perizinan perikanan tangkap. Ini berarti posisi nelayan kecil dan tradisional disamakan dengan nelayan besar yang menggunakan perahu di atas 10 GT.

 

“Padahal nelayan kecil dan tradisional diperlakukan khusus dalam UU No.7 Tahun 2016 karena alat tangkap yang digunakan ramah lingkungan dan tidak mengeksploitasi sumber daya perikanan,” kata Susan ketika dikonfirmasi, Kamis (6/2/2020). Baca Juga: 12 Alasan Koalisi Masyarakat Sipil Tolak RUU Cipta Lapangan Kerja

 

Kedua, mengingat omnibus law ditujukan untuk memudahkan investasi masuk, Susan berpendapat kebijakan ini akan memberi kemudahan perizinan bagi kapal asing untuk menangkap ikan di perairan Indonesia. Hal ini selaras dengan kebijakan pemerintah saat ini yang merevisi Perpres No.44 Tahun 2016 tentang Daftar Negatif Investasi (DNI) dimana perikanan tangkap yang tadinya dilarang untuk asing, tapi sekarang bakal dibolehkan. Ke depan, nelayan kecil dan tradisional harus bersaing dengan kapal asing dalam menangkap ikan di laut Indonesia.

 

Ketiga, pembangunan pelabuhan skala besar di kawasan pesisir akan lebih masif. Menurut Susan, hal ini akan berdampak pada pemukiman nelayan dan kawasan tangkap nelayan yang akan dirampas atas nama pembangunan, investasi dan pertumbuhan ekonomi. Seperti yang dihadapi nelayan di teluk Jakarta, dimana pemerintah berencana membangun pelabuhan Muara Angke dan kawasan industri maritim di Kamal Muara.

 

Keempat, kebijakan omnibus law berpotensi menambah luas kawasan konservasi laut di Indonesia yang saat ini sudah mencapai 20 juta hektar. Pada intinya proyek ini ditujukan untuk konservasi terhadap flora dan fauna, tapi paktiknya bukan untuk kehidupan masyarakat pesisir dan nelayan dilarang masuk kawasan konservasi karena dianggap akan merusak. Seperti kasus nelayan di Lamalera, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang ditangkap karena dituding memperjualbelikan insang ikan pari di kawasan konsevasi laut Sawu NTT. Selain itu, kawasan konservasi laut pada praktiknya digunakan untuk prakondisi proyek pariwisata skala besar.

 

Kelima, impor ikan dan garam semakin masif masuk Indonesia. Menurut Susan, Indonesia memiliki sumber daya perikanan yang melimpah, tapi faktanya impor ikan dari China sangat besar. Melansir data Trademap, Susan menyebut impor komoditas perikanan Indonesia dari China nilainya mencapai 71,6 juta dollar AS atau setara Rp1 triliun.

 

Kiara mencatat China memasok 41 persen kebutuhan ikan beku dan 49 persen kebutuhan moluska di Indonesia. Untuk garam tercatat Indonesia mengimpor 2,75 juta ton tahun 2019 dan tahun 2020 pemerintah berencana mengimpor 2,92 juta ton. “Ini makin memuluskan kedua komoditas impor itu masuk Indonesia.”

 

Keenam, masyarakat pesisir akan diwajibkan mengantongi izin untuk memanfaatkan sumber daya kelautan, perikanan, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Baginya, kebijakan omnibus law menyamakan masyarakat dengan entitas bisnis yang akan menyelenggarakan aktivitas bisnis atau usaha di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini bakal mempersulit kehidupan masyarakat pesisir dan pulau kecil untuk mengakses laut dan memanfaatkan sumber daya alamnya sendiri. Bahkan Susah melihat masyarakat pesisir dan pulau kecil bakal terampas ruang hidupnya. “Mereka akan menjadi ‘tamu’ di tanah dan airnya (sendiri, red) yang selama ini menjadi tempat hidup dan mencari nafkah,” ujarnya.

 

Ketujuh, omnibus law RUU Cilaka akan memperkuat posisi tata ruang laut sebagaimana diatur dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Kiara mencatat sampai pertengahan 2019 terdapat 22 provinsi yang sudah merampungkan pembahasan Perda Zonasi. Menurut Susan, Perda Zonasi ini mandat UU No.1 Tahun 2014 yang merupakan revisi UU No.27 Tahun 2007.

 

Dari 22 Perda Zonasi itu masyarakat pesisir dan pulau kecil tidak mendapat porsi yang memadai. Berbeda dengan proyek pembangunan dan industri yang mendapat porsi besar dalam Perda Zonasi. Akibat minimnya ruang yang diperuntukan bagi masyarakat pesisir dan pulau kecil dalam Perda Zonasi, nelayan sulit mengakses laut karena di kawasan itu terdapat proyek reklamasi, pertambangan, pariwisata, atau PLTU.

 

Susan menegaskan organisasinya sejak awal menolak Perda Zonasi karena tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan termasuk tidak dilibatkan sejak perencanaan. Masyarakat pesisir hanya mendapat ruang yang kecil dalam zonasi. Dia menilai penyusunan Perda Zonasi mengakomodasi dan memberi kepastian hukum hanya untuk kepentingan bisnis, bukan masyarakat pesisir. “Perda Zonasi tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan ekosistem laut,” katanya.

 

Sebelumnya, sekitar 40 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) menolak program pemerintah menerbitkan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka). Mereka diantaranya LBH Jakarta, YLBHI, ICW, Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)Konfederasi Serikat Nasional (KSN), ICEL, Walhi, Jatam, Green Peace, AMAN, LBH Pers, Solidaritas Perempuan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia, Huma, Indonesia for Global Justice (IGJ).

 

Setidaknya, ada 12 alasan Koalisi menolak RUU Cilaka ini. Diantaranya, RUU Cilaka diyakini bakal melegitimasi investasi yang merusak lingkungan dan tidak mensejahterakan masyarakat sekitar. Ini terjadi karena pemerintah tidak selektif dalam menarik investasi yang masuk ke Indonesia. Investor yang masuk berpotensi memperluas eksploitasi sumber daya alam dan kerusakan lingkungan. 

 

Bagi Koalisi, RUU Cilaka sebagai perampasan dan penghancuran ruang hidup rakyat atas nama kepentingan pembangunan dan ekonomi berpotensi semakin meningkat. RUU Cilaka memberikan kemudahan bagi korporasi dan pemerintah yang sebenarnya ruang hidup rakyat, seperti tanah. Catatan YLBHI tahun 2018 terjadi 300 konflik agraria di 16 provinsi dengan luas 488 ribu hektar. “Akan berapa banyak lagi jumlah kasus yang akan muncul setelah diterbitkannya RUU Cilaka?”

 

RUU Cilaka mendorong percepatan krisis lingkungan hidup karena investasi yang masuk meningkatkan bencana ekologis, pencemaran dan perusakan lingkungan. Seperti kebakaran hutan dan lahan yang terjadi beberapa tahun terakhir, lubang tambang yang menewaskan puluhan anak, banjir, kekeringan, dan polusi udara. Menurut Koalisi, ini adalah ongkos lingkungan dan kesehatan yang harus diperhatikan pemerintah dalam menggenjot investasi.

Tags:

Berita Terkait