7 Hasil Reformasi Sektor Keamanan Sejak 1998
Terbaru

7 Hasil Reformasi Sektor Keamanan Sejak 1998

Seperti UU Pertahanan Negara, dan UU TNI.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi. Foto: RES
Ilustrasi. Foto: RES

Militer berperan penting dalam rezim pemerintahan orde baru selama 32 tahun dan masuk hampir di berbagai sektor di pemerintahan. Boleh dibilang unsur militer ada di banyak lini. Ironisnya, kebebasan berpendapat dan masyarat sipil ikut terdampak di era orde baru.

Peneliti Senior Centra Initiative, Swandaru mengatakan di era pemerintahan orde baru tidak ada kebebasan sipil dan politik. Keberadaan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang menaungi TNI dan Polri serta memiliki perwakilan fraksi ABRI di parlemen menimbulkan banyak persoalan.

Anggota militer aktif yang memiliki pangkat tertentu bisa mendudukan jabatan sipil seperti Bupati dan Walikota. Ujungnya, militer seolah menjadi warga negara Indonesia yang posisinya diatas warga negara lainnya termasuk kalangan sipil. “Kesannya ketika kita bertemu militer maka sipil harus tunduk, bukan mereka yang tunduk pada sipil,” ujar Swandaru dalam diskusi secara daring bertema ‘Problematika Revisi UU TNI Ditinjau dari Perspektif Hukum, Politik, dan HAM’, Selasa (04/7/2023).

Baca juga:

Peran dan fungsi militer yang sangat kuat di era orde baru mendorong gerakan reformasi tahun 1998 menuntut perbaikan terhadap ABRI. Swandaru mencatata reformasi militer yang didorong gerakan reformasi 1998 setidaknya menghasilkan 7 hal penting. Pertama, Tap MPR No.VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri.

Kedua, Tap MPR No.VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Ketiga, penghapusan hak politik dan penghapusan fraksi ABRI di parlemen. Tercatat fraksi ABRI terakhir di parlemen pada tahun 2004. Keempat, terbit UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Kelima, UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Keenam, dilakukan rotasi Panglima TNI secara bergiliran dari setiap matra.

Kendati UU 34/2004 sudah mengatur adanya rotasi tersebut tapi pada praktiknya matra Angkatan Darat (AD) bisa dipilih lebih dari sekali untuk menduduki posisi Panglima TNI. Selama orde baru jabatan Panglima TNI selalu diampu dari kalangan matra AD. Ketujuh, penghapusan bisnis militer.

Soal rencana revisi UU 34/2004, Swandaru melihat isu tersebut kerap muncul jelang akhir masa pemerintahan. Misalnya, wacana revisi UU 34/2004 sempat muncul pada akhir periode pertama Presiden Joko Widodo yakni di tahun 2018. Sekarang di masa akhir pemerintahan Jokowi periode kedua isu revisi UU 34/2004 kembali muncul.

“Apakah ini kaitannya dengan pemilu atau dukungan terhadap Capres-Cawapres? Karena isu ini kerap muncul di akhir masa pemerintahan,” ujarnya.

Tapi reformasi sektor pertahanan dan keamanan yang didorong sejak 1998 belum tuntas. Swandaru mengingatkan masih ada PR besar yang belum selesai yakni revisi UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai akhir periode Presiden Jokowi revisi UU 31/1997 tak pernah dibahas. Alih-alih mendorong profesionalisme prajurit TNI, usulan revisi UU 34/2004 yang digagas Mabes TNI dan Kementerian Pertahanan malah sebaliknya, memperluas jabatan sipil yang bisa diduduki militer aktif.

Wakil Koordinator Kontras, Andi Muhammad Rezaldy mengingatkan dalam beberapa tahun terakhir berbagai lembaga independen menilai demokrasi Indonesia mengalami kemunduran. Salah satunya dapat dilihat dari penyempitan ruang kebebasan sipil misalnya represi yang dihadapi masyarakat sipil yang menyuarakan pendapatnya dalam bentuk demonstrasi, diskusi dan lainnya yang mengkritik kebijakan pemerintah.

Bahkan kebebasan sipil di ranah daring juga diancam kriminalisasi menggunakan UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Indeks Indonesia sebagai negara hukum juga stagnan, karena hukum tak berjalan sesuai prinsip demokrasi dan HAM. Studi yang dilakukan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) tahun 2021 menunjukkan kondisi hukum dan HAM di Indonesia penuh kekerasan, impunitas, dan diskriminasi.

Rezaldy menyorot salah satu usulan revisi UU 34/2004. Yakni mengubah ketentuan yang mengatur prajurit militer tunduk pada peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Ketentuan itu ingin diubah agar prajurit yang melakukan pelanggaran pidana umum di bawa ke peradilan militer. Hal itu tentu saja bertentangan dengan semangat reformasi 1998 yang mendorong adanya persamaan bagi setiap warga negara di hadapan hukum.

“Peradilan militer selama ini menjadi ruang impunitas,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait