7 Catatan Amnesty International, Perlindungan HAM Memburuk
Berita

7 Catatan Amnesty International, Perlindungan HAM Memburuk

Satu tahun terakhir kondisi HAM di Indonesia memburuk. Perlu dilakukan evaluasi terhadap pendekatan kebijakan yang mementingkan stabilitas keamanan dan ekonomi di atas kewajiban konstitusional untuk melindungi HAM.

Ady Thea DA
Bacaan 6 Menit
Ilustrasi HAM: BAS
Ilustrasi HAM: BAS

Perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia dalam setahun terakhir menghadapi berbagai tantangan. Memperingati hari HAM Sedunia 10 Desember, Amnesty International Indonesia menilai tahun ini Indonesia mengalami pelemahan perlindungan HAM. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan dari pemantauan yang dilakukan selama tahun 2020 organisasinya menemukan ada pendekatan keamanan yang berlebihan dalam merespon pandemi Covid-19; pemaksaan agenda sektor ekonomi; dan serangkaian kebijakan publik lain yang berdampak negatif terhadap HAM.

Jumlah orang yang dihukum karena dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap pemerintah atau menyebarkan berita bohong relatif meningkat. Terjadi banyak intimidasi kepada mahasiswa, akademisi, jurnalis, dan aktivis yang mengkritik pemerintah atau mengangkat isu politik seperti pelanggaran HAM di Papua.

Ada juga intimidasi termasuk pencurian kredensial akun media sosial, intimidasi digital, kriminalisasi, dan ancaman kekerasan fisik. Kebebasan bereskpresi terancam dengan penerapan sewenang-wenang atas UU ITE dan KUHP. Untuk itu, Usman berkesimpulan selama setahun terakhir perlindungan HAM di Indonesia memburuk.

“Pemerintah perlu mengevaluasi pendekatan kebijakan yang hanya mementingkan stabilitas keamanan dan ekonomi di atas kewajiban konstitusional untuk melindungi HAM,” kata Usman Hamid dalam keterangan tertulis, Kamis (10/12/2020). (Baca Juga: Beragam Tantangan Penegakan dan Perlindungan HAM)

Usman mencatat sedikitnya ada 7 hal yang menyebabkan situasi HAM di Indonesia semakin buruk. Pertama, terabaikannya hak-hak tenaga kesehatan dan pembungkaman kritik. Dalam menangani pandemi Covid-19, pemerintah lebih mengutamakan pendekatan keamanan, dan kurang memperhatikan suara ilmuwan dan penelitian ilmiah. Akibatnya, penanganan pandemi menjadi bermasalah. Tenaga kesehatan menghadapi banyak tantangan mulai dari kekurangan alat pelindung diri, kekerasan dan stigma, termasuk pengurangan upah dan pemberhentian. Amnesty International Indonesia mencatat per 7 Desember 2020 ada 339 tenaga kesehatan meninggal akibat Covid-19.

Intimidasi dan kriminalisasi juga menimpa orang yang mengkritik penanganan pandemi Covid-19. Usman mengatakan selama 2020, sedikitnya ada 49 kasus dengan 57 orang dijadikan tersangka karena dituduh menyebarkan berita bohong dan menghina pejabat pemerintah terkait Covid-19. Misalnya, kasus epidemolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, yang akun media sosialnya diretas Agustus 2020. Pandu dikenal sebagai orang yang kerap mengkritisi kebijakan dan aturan pemerintah dalam menangani Covid-19 yang melibatkan aktor keamanan.

Kedua, ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan ruang kewargaan. Usman mengatakan ancaman terhadap kebebasan berekspresi tidak hanya terjadi terkait pandemi Covid-19, tapi juga terkait kebijakan pemerintah yang mengatasnamakan pembangunan ekonomi. Paling menonjol yakni kebijakan pemerintah memaksakan pemberlakuan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Tahun ini, banyak aktivis, jurnalis, akademisi, mahasiswa dan masyarakat yang mengalami pembungkaman, intimidasi, dan kriminalisasi saat menggunakan haknya untuk mengungkapkan pendapat secara damai.

Amnesty International Indonesia mencatat ada 101 kasus pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE. Ini jumlah terbanyak dalam 6 tahun terakhir dimana tahun 2014 hanya ada 5 kasus , 2015 (6 kasus), 2016 (31 kasus), 2017 (71 kasus), 2018 (94 kasus), dan 2019 (78 kasus). Jumlah kasus itu termasuk serangan digital, ancaman dari kriminalisasi, termasuk dialami jurnalis.

AJI mencatat ada 56 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang mendokumentasikan penolakan RUU Cipta Kerja tanggal 7 dan 21 Oktober 2020. Amnesty International Indonesia juga mencatat sampai 30 November 2020 ada 60 kasus serangan dan intimidasi digital dialami organisasi, aktivis, jurnalis, dan akademisi.

Ketiga, kekerasan yang dilakukan aparat keamanan. Usman mengatakan tahun 2020 banyak kekekerasan yang dilakukan aparat keamanan, terutama saat demonstrasi penolakan RUU Cipta Kerja. Seorang paramedis di Bandung mengalami pemukulan oleh aparat berpakaian preman ketika menolong peserta demonstrasi yang terluka pada 7 Oktober 2020. Amnesty International Indonesia mendokumentasikan sedikitnya 402 korban kekerasan polisi di 15 provinsi selama aksi demonstrasi tersebut. Kemudian 6.658 orang ditangkap di 21 provinsi termasuk penangkapan terhadap jurnalis.

Amnesty International Indonesia menghitung ada 83 kasus penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan yang dilakukan oleh polisi sepanjang 2020. Salah satunya dialami ketua adat masyarakat Kinipan, Effendi Buhing, di Lamandau, Kalimantan Tengah pada Agustus 2020 lalu. Aparat keamanan juga terindikasi kuat menggunakan kekuatan secara eksesif, termasuk kekerasan, dan senjata api, pada kasus kematian 6 orang anggota FPI.

Keempat, krisis HAM dan kemanusiaan di Papua. Usman menghitung di Papua dan Maluku ada 38 tahanan hati nurani berada di balik jeruji besi, termasuk karena protes anti-rasis yang mereka sampaikan secara damai. Di Papua Barat, aparat keamanan melakukan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat dan warga lainnya. Misalnya 17 November 2020, ada 55 orang termasuk 2 anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) ditangkap anggota Polres Merauke. Mereka dituduh melanggar Pasal 107 KUHP tentang makar. Padahal mereka hanya menyelenggarakan rapat dengar pendapat terkait implementasi otonomi khusus di Papua.

“Aparat keamanan yang melakukan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat dan warga sebagian besar berujung tanpa penghukuman,” bebernya. (Baca Juga: Catatan Minus terhadap Perlindungan Pembela HAM)

Amnesty International Indonesia pun mendapat laporan kekerasan dan pembunuhan di Hitadipa dan wilayah lain di Papua. Menurut Usman, aparat keamanan masih terlibat dalam penyiksaan dan pembunuhan seorang pendeta, menculik pemuda, dan membakar kantor pemerintah. Tercatat di Papua, ada 20 kasus pembunuhan di luar hukum sejak Februari 2020 sampai November 2020 dengan total korban sebanyak 29 orang.

Kelima, menyempitnya kebebasan berpikir, berkeyakinan, beragama, dan berkepercayaan. Usman menilai negara terlihat lemah ketika terjadi serangan atas kemerdekaan berkeyakinan, beragama, dan berkepercayaan selama 2020. Misalnya, penolakan terhadap pendirian tempat ibadah, penyegelan, intimidasi dan pembubaran jemaat, perusakan rumah ibadah, dan pembunuhan warga minoritas. Misalnya, Juli 2020 pemerintah kabupaten Kuningan, Jawa Barat, meminta penghentian pendirian makam milik tokoh adat sunda wiwitan. Keputusan ini dilakukan akibat ada penolakan gabungan ormas kelompok mayoritas.

November 2020, kelompok bersenjata membunuh 4 warga dan membakar 7 rumah termasuk satu rumah yang dijadikan tempat ibadah warga Kristen di dusun Lewonu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Amnesty International Indonesia mencatat pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia masih tinggi yakni tahun 2017 ada 33 kasus, 2018 (34 kasus), 2019 (40 kasus), dan 2020 (40 kasus). Kemudian tercatat ada 19 kasus pelanggaran atas hak kebebasan berpikir dengan tuduhan penistaan atau penodaan agama.

Keenam, kriminalisasi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas gender. Selama tahun 2020, Usman menghitung banyak kasus kriminalisasi terhadap kelompok LGBTI, termasuk pemecatan dan pemidanaan terhadap 14 anggota TNI karena dianggap memiliki orientasi seksual yang menyimpang. Salah satunya Praka P, didakwa melanggar Pasal 103 ayat (1) KUHP Militer, yaitu tidak menaati perintah dinas, yakni Surat Telegram Panglima TNI Nomor ST/1648/2019 tanggal 22 Oktober 2019 tentang Larangan terhadap Prajurit TNI dan PNS serta keluarganya untuk tidak melakukan hubungan sesama jenis.

Ketujuh, tahun 2020 sebagai tahun degenerasasi. Amnesty International Indonesia mencatat Juli 2020 Komnas Perempuan merilis ada peningkatan 75 persen kasus kekerasan seksual terhadap perempuan selama pandemi. Pada bulan yang sama DPR menghapus RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari prolegnas prioritas. Justru beberapa anggota DPR mendukung RUU Ketahanan Keluarga yang tujuannya mendomestikkan perempuan dengan mendefinisikan peran istri untuk “mengurus hal-hal terkait rumah tangga” dan “memperlakukan suami dan anak dengan baik.”

Kelompok media feminis dan individu mengalami serangan, doxing, dan dilecehkan oleh orang tak dikenal yang mengirimkan gambar porno dan pernyataan merendahkan. Usman mengatakan perempuan pembela HAM, Veronica Koman, dikriminalisasi, paspornya dicabut dan dimasukan daftar hitam pada Agustus 2020. Veronica juga diminta mengembalikan uang beasiswa untuk studi gelar masternya oleh LPDP.

Sebelumnya, komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan penegakkan HAM di Indonesia mengalami berbagai tantangan misalnya soal kesetaraan, kemanusiaan, keadilan dan kelompok minoritas. Kebebasan berekspresi juga menjadi sorotan belakangan ini. Beka mengingatkan sekalipun kebebasan berekspresi dijamin konstitusi, tapi ada batasnya yakni tidak merendahkan martabat manusia seperti fitnah, hoax, SARA, dan membahayakan keamanan negara.

Tantangan lain yang penting menjadi perhatian, menurut Beka yakni berasal dari penyelenggara negara. Dia menilai penyelenggara negara belum menjadikan HAM sebagai dasar dalam pelaksanaan program dan kebijakan pemerintah. Terkait pengaduan, periode Januari-Agustus 2020 Komnas HAM menerima 1.792 pengaduan. Lembaga yang paling banyak diadukan yakni Polisi, perusahaan/korporasi, dan pemerintah daerah (pemda).

“Polisi paling banyak dilaporkan karena mereka garda terdepan keamanan dan penegakan hukum sehingga mereka sering berhadapan dengan masyarakat,” kata Beka ketika dihubungi, Rabu (9/12).

Perusahaan/korporasi menempati urutan kedua lembaga paling banyak diadukan ke Komnas HAM. Kasus yang diadukan misalnya terkait sengketa tanah dan penggusuran; ketenagakerjaan; utang-piutang; masalah putusan pengadilan; pencemaran lingkungan; dan pelanggaran administrasi pemerintahan. Urutan ketiga lembaga paling banyak diadukan yakni pemda. Persoalan yang diadukan antara lain mengenai sengketa agraria dan penggusuran; pelanggaran administrasi pemerintahan; sengketa kepegawaian; intoleransi; pelayanan kesehatan; dan pelaksanaan putusan pengadilan.

Tags:

Berita Terkait