7 Alasan Penanganan Covid-19 Dinilai Tidak Optimal
Berita

7 Alasan Penanganan Covid-19 Dinilai Tidak Optimal

Salah satunya karena minim instrumen hukum penanggulangan pandemi Covid-19 misalnya belum ada peraturan turunan UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

Keenam, pengawasan dan implementasi kebijakan pencegahan dan pengendalian Covid-19 di lapangan cenderung dilakukan aparat pemerintah yang tidak memiliki kompetensi di bidang kesehatan masyarakat. Misalnya, BIN menyelenggarakan tes PCR, penempatan anggota TNI dan Polri di ruang publik. Bagi Arif kebijakan ini cacat karena tidak ada indikator yang jelas dalam mengawasi dan mengevaluasi pelibatan unsur TNI dan Polri untuk menekan penularan Covid-19 di Indonesia.

Ketujuh, pemerintah dinilai minim perspektif demokrasi dan HAM dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan penanggulangan wabah pandemi Covid-19. Arif mengingatkan demokrasi mengedepankan partisipasi publik seluas-luasnya dalam merumuskan, menerapkan, dan mengawasi kebijakan. Tapi sampai sekarang kebijakan ini dilaksanakan satu arah oleh pemerintah tanpa melibatkan partisipasi publik. Masyarakat juga sulit mengawasi dan mengevaluasi kebijakan ini karena tidak ada kanal pengawasan formal yang menjadi acuan.

Koalisi mengusulkan pemerintah untuk melengkapi peraturan pelaksana UU No.6 Tahun 2018 dan UU No.4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Beleid ini harus menjadi acuan dasar untuk pelaksanaan kebijakan karantina rumah, RS, dan wilayah. Pelaksanaan PSBB harus diperketat atau menerbitkan kebijakan serupa untuk menekan penyebaran Covid-19. Pelonggaran kebijakan PSBB harus mengacu pada kesehatan, misalnya rasio tes minimum 1/1000 penduduk setiap pekan dan kesiapan masyarakat diukur berdasarkan persepsi risiko.

“Ini hanya bisa dilakukan jika pemerintah mengubah paradigma penanganan wabah dengan mengedepankan aspek kesehatan masyarakat dan keselamatan sebagai prasyarat untuk menjamin kelangsungan ekonomi, bukan sebaliknya,” ujar Arif.

Pemerintah juga perlu melakukan komunikasi risiko pandemi kepada publik secara benar dan konsisten. Kemudian transparansi data karena penting untuk merumuskan kebijakan yang efektif dan efisien. Kapasitas tes, lacak, dan isolasi juga harus ditingkatkan serta menghentikan penggunaan rapid test untuk diagnosis dan syarat administratif perjalanan. Presiden Jokowi perlu menata ulang kelembagaan yang menangani pandemi serta mengambil alih kendali. Terakhir, pendekatan keamanan dalam penanganan pandemi harus dihentikan.

Tim Terpadu

Presiden Jokowi telah membentuk tim terpadu dalam rangka pengendalian dan penanganan COvid-19 serta pemulihan ekonomi nasional. Penugasan ini sebagaimana mandat Perpres No.82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. "Bapak Presiden tadi siang memanggil beberapa menteri dan menandatangani Perpres terkait penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebagaimana dikutip laman presidenri.go.id, Senin, (20/7).

Tim akan bertugas untuk merumuskan sejumlah kebijakan dan memantau perkembangan penanganan Covid-19 dan perekonomian nasional. Misalnya memantau ketersediaan peralatan uji maupun pengembangan vaksin Covid-19 sampai program perekonomian yang bersifat multiyears.

"Bapak Presiden memberi penugasan agar tim sepenuhnya merencanakan dan mengeksekusi program-program agar penanganan Covid dan pemulihan ekonomi ini berjalan beriringan, dalam arti agar keduanya ditangani oleh kelembagaan yang sama dan koordinasi secara maksimal," urai Airlangga.

Tags:

Berita Terkait