7 Alasan Koalisi Desak Penundaan Pembahasan RUU Kesehatan
Utama

7 Alasan Koalisi Desak Penundaan Pembahasan RUU Kesehatan

Sepertihalnya pembahasan RUU Kesehatan tertutup dan tanpa partisipasi publik yang bermakna, hingga tidak menjawab persoalan pelayanan kesehatan yang rentan korupsi dan berbagai bentuk fraud.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
  Suasana konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Selasa (13/6/2023). Foto: ADY
Suasana konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Selasa (13/6/2023). Foto: ADY

Bola panas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan terus menggelinding di parlemen. Kendati sejumlah organisasi tenaga kesehatan terus melakukan aksi penolakan dengan berdemonstrasi, DPR dan pemerintah pun bergeming. Giliran koalisi masyarakat sipil meminta DPR agar dilakukan penundaan pembahasan, apalagi pengesahan menjadi UU.

Team Leader LaporCovid-19 Irma Hidayana, melihat muatan RUU Kesehatan lebih banyak mengakomodir kepentingan swasta. Sebaliknya masukan dari organisasi masyarakat sipil diabaikan. “Sektor swasta lebih di dengar daripada kelompok masyarakat sipil,” katanya dalam konferensi pers di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Selasa (13/6/2023).

Irma mencatat, sedikitnya ada 7 alasan koalisi mendesak RUU Kesehatan ditunda. Pertama, pembahasan RUU Kesehatan tertutup dan tanpa partisipasi publik yang bermakna. Hal itu bisa dilihat antara lain koalisi belum bisa memperoleh draf RUU Kesehatan yang dibahas terakhir antara pemerintah dan DPR. Perumusan RUU Kesehatan tidak melibatkan semua pemangku kepentingan seperti organisasi profesi, anak muda, kelompok perempuan, pakar, akademisi dan lainnya secara bermakna.

Baca juga:

Merujuk putusan MK No.91/PUUXVIII/2020, Irma mengatakan partisipasi publik bermakna tak sebatas pemenuhan hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), melainkan pula menguji sejauh mana pemerintah mempertimbangkan hak warga dalam memberikan pendapatnya (right to be considered). Sekalipun masukan tidak diakomodasi, masyarakat berhak mendapat penjelasan atau alasan. Tapi sayangnya hal itu tidak dilakukan pemerintah dan DPR dalam menyusun RUU Kesehatan.

Kedua, lemahnya urgensi kebutuhan RUU Kesehatan dengan metode omnibus law. Irma mencatat DIM RUU Kesehatan tidak cukup menjelaskan urgensi mengapa diperlukan metode omnibus law dengan meleburkan 10 (sepuluh) peraturan perundang-undangan. Tidak terlihat masalah dasar yang dijadikan basis perlunya membuat RUU omnibus law. Ketiga, RUU Kesehatan cenderung mengarah pada liberalisasi sistem kesehatan dan memperluas privatisasi/komersialisasi layanan kesehatan, yang menjadikan layanan kesehatan, termasuk tenaga medis, sebagai komoditas.

Keempat, RUU Kesehatan meniadakan alokasi minimal anggaran kesehatan yang potensial berdampak pada semakin minimnya dukungan anggaran untuk pelayanan kesehatan. Pasal 171 ayat (1) dan (2) UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur alokasi anggaran kesehatan minimal 5 persen dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN) dan 10 persen dari anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) di luar gaji dan diprioritaskan untuk pelayanan publik. Tapi pasal 420 ayat (2) dan (3) RUU Kesehatan versi pemerintah menghapus alokasi anggaran tersebut.

Tags:

Berita Terkait