6 Rekomendasi Serikat Pekerja Agar Implementasi UU KIA Efektif
Terbaru

6 Rekomendasi Serikat Pekerja Agar Implementasi UU KIA Efektif

Sebab, praktiknya selama ini pekerja/buruh perempuan berstatus pekerja harian lepas, borongan, outsourcing atau kontrak sulit mendapat hak-haknya, salah satunya cuti melahirkan. Situasi lebih sulit dihadapi perempuan yang bekerja di sektor informal karena statusnya belum diakui sebagai pekerja/buruh.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ketua Umum FSBPI sekaligus mewakili Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Jumisih dalam diskusi bertema 'Menakar Efektivitas UU KIA: Lemahnya Substansi dan Potensi Kerancuan dalam Implementasi', Sabtu (29/6/2024) kemarin.
Ketua Umum FSBPI sekaligus mewakili Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Jumisih dalam diskusi bertema 'Menakar Efektivitas UU KIA: Lemahnya Substansi dan Potensi Kerancuan dalam Implementasi', Sabtu (29/6/2024) kemarin.

Pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan dalam rangka meningkatkan perlindungan bagi anak dan perempuan. Terbaru, rapat paripurna DPR ke-19 masa persidangan V Tahun Sidang 2023-2024 menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan menjadi UU. Substansi UU KIA yang diatur antara lain cuti melahirkan sampai 6 bulan bagi perempuan yang bekerja. Sebelumnya, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur cuti melahirkan hanya 3 bulan. Pekerja pria yang mendampingi istrinya melahirkan berhak mendapat cuti sampai 5 hari dan 2 hari untuk mendampingi istri keguguran.

Koalisi Masyarakat sipil yang terrgabung dalam Jaringan untuk Kebijakan Adil Gender menyesalkan RUU KIA yang disetujui DPR menjadi UU itu tidak memuat usulan yang sebelumnya disodorkan. Akibatnya, substansi UU KIA berpotensi menimbulkan persoalan. Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Perempuan Indonesia (FSBPI) sekaligus mewakili Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Jumisih, mengatakan RUU KIA sulit diimplementasikan, khususnya bagi kalangan pekerja/buruh. Sebab praktik selama ini terkait hak maternitas seperti cuti melahirkan sulit diimplementasikan.

“Praktiknya selama ini buruh perempuan sulit mendapat cuti melahirkan 3 bulan, bahkan tak jarang ada yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK),” kata Jumisih dalam diskusi bertema “Menakar efektivitas UU KIA: Lemahnya Substansi dan Potensi Kerancuan dalam Implementasi”, Sabtu (29/6/2024) kemarin.

Baca Juga:

Jumisih mengatakan hubungan kerja menjadi akar masalah sulitnya pekerja/buruh perempuan mendapat cuti melahirkan. Status pekerja harian lepas, borongan, outsourcing, dan kontrak membuat posisi pekerja/buruh sangat lemah di hadapan pemberi kerja. Ketidakpastian hubungan kerja ini membuat pekerja/buruh sulit mengakses hak-hak perburuhan. “Kami apresiasi RUU KIA disetujui menjadi UU sebagai upaya melindungi buruh perempuan dan anak, tapi kita mengkritisi bagaimana nanti implementasinya,” ujarnya.

Persoalan lain dalam substansi RUU KIA yakni memposisikan hak asuh anak seolah hanya menjadi kewajiban perempuan. UU Cipta Kerja membuat kaum perempuan sulit terserap peluang kerja di sektor formal. Bekerja di sektor informal membuat ruang pekerja/buruh untuk berserikat sangat sempit. Padahal peran serikat pekerja/buruh penting untuk memperjuangkan hak-hak pekerja/buruh antara lain menjalin kesepakatan dengan pemberi kerja melalui perjanjian kerja bersama (PKB).

Pekerja rumah tangga (PRT) merupakan salah satu jenis pekerjaan informal yang kerap diampu perempuan. Jumisih berpendapat PRT bakal kesulitan mendapat hak-hak sebagaimana diatur RUU KIA karena posisinya belum diakui sebagai pekerja/buruh. Tercatat, sampai saat ini proses pembahasan RUU PRT di DPR mandek. Status RUU PRT baru sebatas dietapkan sebagai RUU usul inisiatif Badan Legislasi (Baleg) DPR. “RUU PRT ini sudah 20 tahun di DPR, keluar masuk prolegnas (program legislasi nasional),” bebernya.

Nasib PRT mencerminkan nasib pekerja/buruh sektor informal yang jumlahnya mayoritas dibandingkan sektor formal yakni lebih dari 60 persen. Jumisih mendorong implementasi RUU KIA ini dilaksanakan secara serius oleh pemerintah dan berlaku untuk semua jenis pekerja/buruh baik yang bekerja di sektor formal dan informal.

Pada kegiatan yang sama, Perwakilan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati, menilai RUU KIA tak layak disebut sebagai terobosan karena selama ini cuti melahirkan selama 3 bulan sudah diatur sebelumnya dalam UU 13/2003. UU KIA memberi tambahan cuti melahirkan 3 bulan, sehingga total menjadi 6 bulan tidak secara otomatis tapi harus memenuhi syarat ada kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

“Untuk mendapatkan cuti tambahan 3 bulan, sehingga total cuti melahirkan 6 bulan ini ada syaratnya, harus ada keterangan dokter atau kondisi khusus,” tegasnya.

Mike menyoroti substansi UU KIA tumpang tindih dengan program yang selama ini dijalankan pemerintah seperti pemberantasan stunting dan program keluarga harapan (PKH). Hal ini akan membuat rancu antara program yang sudah berjalan dengan implementasi UU KIA. Untuk itu, penting diatur lebih lanjut melalui peraturan turunan untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut.

Koalisi merekomendasikan sedikitnya 6 hal untuk pemerintah. Pertama, melakukan harmonisasi UU KIA dengan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan kesejahteraan ibu dan anak, seperti UU Kesehatan, UU Perkawinan, UU Administrasi Kependudukan, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Termasuk UU lain yang terkait dan seluruh peraturan turunannya agar tidak saling tumpang tindih.

Kedua, peraturan pelaksanaan UU KIA harus menjamin terciptanya lingkungan yang ramah ibu dan anak. Penyusunannya dilakukan secara transparan dan melibatkan partisipasi masyarakat sipil paling lama 2 tahun sejak UU KIA diundangkan. Ketiga, perlu Peraturan Presiden untuk membangun mekanisme koordinasi Kementerian/Lembaga Negara lintas sektor dan pemerintah daerah agar jelas dan terintegrasi.

Keempat, Kementerian Ketenagakerjaan berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan fungsi pengawasan ke perusahaan-perusahaan agar patuh menjalankan kewajiban yang diatur dalam UU KIA. Menjamin tidak memberhentikan buruh perempuan yang cuti melahirkan. Serta memastikan tersedianya fasilitas layanan ramah ibu dan anak di tempat kerja dan fasilitas publik seperti ruang laktasi yang higienis dengan fasilitas yang layak dan mudah di akses, tempat penitipan anak (daycare) dengan fasilitas yang memadai serta tenaga yang kompeten dan berpengalaman, dan ruang bermain ramah anak yang layak.

Kelima, melakukan afirmasi lain untuk mendukung perlindungan dan pemenuhan hak maternitas perempuan sebagaimana mandat UU No.7 Tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan). Caranya antara lain menciptakan lingkungan yang kondusif melalui penyediaan gizi seimbang gratis bagi ibu hamil atau ibu yang memiliki balita dari keluarga miskin dan memberikan insentif bagi perusahaan yang melaksanakan kewajiban.

Keenam, memastikan peran serta organisasi masyarakat sipil, khususnya organisasi/serikat buruh yang memiliki paralegal untuk melakukan pendampingan secara hukum bagi buruh perempuan terkait pemenuhan hak yang diatur dalam UU KIA.

Tags:

Berita Terkait