6 Kampus Hukum Perintis M.Kn. Sepakat Perlu Evaluasi Pendidikan Kenotariatan
Utama

6 Kampus Hukum Perintis M.Kn. Sepakat Perlu Evaluasi Pendidikan Kenotariatan

Standar kurikulum dan kualifikasi pengajar menjadi masalah utama yang akan diselesaikan.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Logo enam kampus hukum perintis Magister Kenotariatan. Ilustrasi: HGW
Logo enam kampus hukum perintis Magister Kenotariatan. Ilustrasi: HGW

Tanggapan atas wacana yang dilontarkan Kemenkumham soal penghentian penerimaan mahasiswa Magister Kenotariatan (M.Kn.) per tahun 2018 ini terus bergulir. Melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU), wacana ini disuarakan dengan tujuan meningkatkan kualitas notaris di Indonesia. Enam kampus hukum perintis pendidikan kenotariatan dengan format M.Kn. ternyata sepakat dengan Ditjen AHU untuk melakukan evaluasi serius.

 

Dalam kunjungan para pimpinan dari enam kampus hukum akhir Januari silam, terungkap kesepahaman dengan Ditjen AHU. Mereka yang hadir adalah Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH UNDIP) Prof. Benny Riyanto, Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Prof.Sigit Riyanto, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU) Prof.Budiman Ginting, Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (FH UNPAD) Prof. An An Chandrawulan, Wakil Dekan 1 Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR) Nurul Bazirah, Ph.D., dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Prof. Melda Kamil Ariadno didampingi Ketua Program Pascasarjana FH UI Prof. Rosa Agustina serta Wakil Dekan Bidang Akademik Dr.Ismala Dewi.

 

Keenam kampus ini juga mewakili Badan Kerja Sama Dekan FH Perguruan Tinggi Negeri Se-Indonesia (BKS) yang diketuai Prof. Benny Riyanto. Kepada hukumonline para pimpinan kampus hukum perintis M.Kn. ini menyampaikan tanggapannya.

 

Dekan FH UI, Melda menjelaskan bahwa ia sepakat soal perlunya evaluasi dari pendidikan kenotariatan yang selama ini diselenggarakan lewat format M.Kn. “Sepakat dong, hanya saja soal teknisnya,” jawabnya saat diwawancarai hukumonline.

 

Melda melihat bahwa wacana moratorium yang diinginkan Ditjen AHU pada dasarnya bertujuan baik untuk meningkatkan kualitas calon notaris. “Begitu banyak yang diberi izin oleh Kemenristekdikti padahal belum ada jaminan kualitas,” lanjutnya.

 

Melda mengakui bahwa selama ini memang belum ada standardisasi dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) yang menjadi acuan bersama untuk menjamin kualitas lulusan M.Kn secara nasional. Oleh karena itu, menyikapi keresahan Ditjen AHU yang telah melempar wacana, keenam kampus perintis M.Kn. ini telah bersepakat mengambil langkah taktis.

 

“Standar minimum belum ada, kita akan bikin dalam waktu dekat mata kuliah yang harus ada apa saja. Juga standar kompetensi dari pengajarnya,” tambahnya.

 

Dekan FH UGM, Sigit Riyanto juga setuju perlunya evaluasi menyeluruh dari penyelanggaraan M.Kn. di Indonesia. “Wacana yang baik, bisa menjadi pemicu untuk perbaikan standar mutu dan tata kelola penyelenggaraan M.Kn.” ujarnya.

 

Namun bagi Sigit, melakukan moratorium tidak bisa begitu saja tanpa pembicaraan dengan para pemangku kepentingan. Selain Ditjen AHU dan Kemenristekdikti, ada kampus-kampus penyelenggara M.Kn. yang harus duduk bersama menyepakati langkah evaluasi yang akan diambil.

 

“Yang terpenting ada standar mutu, tata kelola, mutu pengajar, jadi tidak merugikan masyarakat,” jelasnya soal evaluasi macam apa yang akan dituju dari pendidikan kenotariatan ke depannya.

 

(Baca Juga: Kemenkumham Pastikan Mulai 2018 Penerimaan M.Kn. Harus Dihentikan)

 

Wakil Dekan FH UNAIR, Nurul Bazirah, menilai masalah yang dilihat Ditjen AHU soal kualitas notaris lulusan M.Kn. tidak bisa dipukul rata berasal dari semua kampus penyelenggara M.Kn. “Sebenarnya yang jadi permasalahan kan bukan perguruan tinggi kami, tapi lainnya. Memang perlu pembenahan, tidak bisa digeneralisasi,” tandasnya.

 

Nurul mengatakan kampusnya siap untuk memenuhi kebutuhan Ditjen AHU dengan langkah-langkah terukur. “Titik temunya kita tingkatkan kerjasama, koordinasi, komunikasi, dan cari solusi agar pendidikan kenotariatan makin berkualitas,” tambah Nurul.

 

Dekan FH USU, Budiman Ginting memaklumi bahwa wacana Ditjen AHU berdasarkan fakta di lapangan soal banyaknya notaris yang menyimpang. “Kalau evaluasi penting, banyak memang sekarang notaris jadi sengketa di daerah,” akunya.

 

Sebagai mantan anggota Majelis Pengawas Daerah (MPD) Notaris dan saat ini menjabat anggota Majelis Kehormatan Notaris di tingkat Provinsi, ia ikut terlibat mengurus pengaduan dan temuan di lapangan soal penyimpangan oknum-oknum notaris. “Banyak etika pembuatan akta disimpangi oleh notaris, misalnya nggak ada orang menghadap tapi dibuatnya juga (akta),” ujarnya.

 

(Baca Juga: Rencana Penerimaan M.Kn. Dihentikan, Ini Kata Ikatan Notaris Indonesia)

 

Budiman setuju dengan keinginan Ditjen AHU meningkatkan kualitas para notaris yang akan datang. Hanya saja Budiman keberatan kalau Ditjen AHU begitu saja menyalahkan semua kampus penyelenggara M.Kn. Demikian pula soal standar yang belum ada, Budiman melemparkan persoalan kepada Kemenristekdikti.

 

“Harus dievaluasi total, PTN pun kalau belum sanggup jangan merengek minta dapat izin. (Tapi) Koordinasi lah dengan Kemenristekdikti,” pungkasnya.

 

An An Chandrawulan, Dekan FH UNPAD mengungkapkan hal senada. “Setuju dengan Dirjen AHU, tapi kalau moratorium harus dilihat dulu karena itu ada di Kemenristekdikti, mungkin harus selektif untuk swasta jangan dibuka Prodi baru,” katanya kepada hukumonline saat dihubungi terpisah dari Singapura.

 

Adapun Dekan FH UNDIP, Benny Riyanto tidak hanya setuju adanya evaluasi serius mengenai pendidikan kenotariatan, namun juga setuju sepenuhnya dengan rencana usulan moratorium dari Ditjen AHU bagi penerimaan mahasiswa M.Kn. dan juga pembukaan program M.Kn. baru. “Itu usulan yang bagus, saya juga mendukung, terutama di swasta,” katanya.

 

Benny berpendapat dengan kelonggaran standar yang masih dibiarkan Kemenristekdikti soal program M.Kn., penyimpangan terbesar dalam pengendalian kualitas terjadi di kampus swasta. “Berhubung belum ada kurikulum yang standar, di swasta leluasa membuat mata kuliah yang tidak berkorelasi dengan kebutuhan praktik,” tambahnya.

 

Menanti Sikap Kemenristekdikti

Berdasarkan tanggapan para Dekan dari kampus perintis M.Kn., kelanjutan nasib pendidikan kenotariatan nampak berada di tangan Kemenristekdikti. Fakta bahwa ada semacam pembiaran atas tidak adanya standardisasi kurikulum serta terus bertambahnya izin yang diberikan bagi kampus penyelenggara M.Kn. menunjukkan Kemenristekdikti belum cukup serius soal kualitas pendidikan kenotariatan.

 

Dalam wawancara hukumonline dengan Freddy Haris selaku Direktur Jendral Ditjen AHU akhir Januari silam, ia menemukan ada kampus swasta penyelenggara M.Kn. yang menerima mahasiswa baru M.Kn. hingga 1500 orang dalam satu tahun ajaran. “Bahkan ada kampus swasta yang menerima mahasiswa M.Kn. langsung 1500, itu kan konyol,” ujar Freddy kala itu.

 

Padahal di UI dan UNPAD misalnya menerapkan pembatasan secara selektif soal jumlah mahasiswa yang diterima di program M.Kn. Melda mengatakan bahwa FH UI menerima hanya 99 mahasiswa dari ratusan pendaftar. Ia mengaku menggunakan standar ketat dalam menerima mahasiswa M.Kn. FH UI.

 

Begitu pula diungkapkan An An soal standar FH UNPAD yang menerima mahasiswa baru paling banyak 100 orang. Bahkan di M.Kn. FH UNPAD ada tes tertulis mata kuliah hukum dagang, hukum perdata, hukum perjanjian, serta membuat proposal untuk seleksi penerimaan M.Kn.

 

Tak bisa dielakkan bahwa pendidikan kenotariatan yang menjanjikan sebagai jalan menuju cita-cita notaris juga telah menjadikan penyelenggaraan M.Kn. sebagai bisnis pendidikan “menjanjikan” bagi pihak kampus.

 

Tags:

Berita Terkait