6 Catatan Setara Institute Soal Pemaksanaan Penggunaan Jilbab
Terbaru

6 Catatan Setara Institute Soal Pemaksanaan Penggunaan Jilbab

Pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah negeri merupakan fenomena yang tidak tunggal dan terus berulang.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Perstiwa dugaan pemaksaan penggunaan jilbab masih terjadi di beberapa sekolah negeri. Ironisnya, kasus pemaksanaan jilbab di SMA Banguntapan Negeri 1 Bantul berdampak depresi dan trauma seorang siswi. Pemaksanaan penggunaan penutup kepala rambut dan kepala itu ditengarai oleh oknum guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolah tersebut. Bahkan ada pula terjadi di SMP Negeri 46 Jakarta juga terjadi kasus serupa.

Direktur Riset Setara Institute, Halili Hasan berpandangan teguran guru terhadap siswi yang tidak mengenakan jilbab berdampak munculnya ketidaknyamanan dan tekanan psikologis. Bahkan ada pula SMP Negeri 2 Turi menerbitkan kebijakan penyeragaman aturan wajib menggunakan jilbab bagi siswi. Tapi belakangan kebijakan tersebut direvisi menjadi anjuran, setelah pihak sekolah mendapat teguran dari Dinas Pendidikan setempat.

“Terkait fenomena tersebut, Setara Institute menyampaikan beberapa catatan,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Senin (15/8/2022).

Baca Juga:

Pertama, tindakan penyeragaman terutama dalam bentuk pemaksaan pemakaian jilbab di sekolah-sekolah negeri tak bisa dibenarkan. Pemaksaan penggunaan simbol keagamaan tertentu di satu sisi merupakan pelanggaran atas hak konstitusional warga negara untuk berekspresi dan berkeyakinan sesuai dengan hati nurani. Di lain sisi, tindakan tersebut bertentangan dengan kebinekaan Indonesia yang mesti dijunjung, rawat, dan terus diperkuat.

Kedua, sekolah negeri merupakan lembaga pendidikan formal yang dimiliki oleh pemerintah. Sedangkan penyelenggaraannya menggunakan anggaran negara berupa Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Karena itulah sekolah-sekolah negeri semestinya menjadi etalase dan motor penguat ‘Bhineka Tunggal Ika’.

Menurutnya, para pemangku kebijakan di sekolah negeri semestinya menjadi aktor kunci bagi proses pendidikan, pembudayaan, dan pembangunan lingkungan sekolah yang berorientasi pada kepentingan siswa, non-kekerasan, damai dan menyenangkan. Karenanya, kata Halili, fenomena pemaksaan jilbab di sekolah-sekolah negeri bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut.

Wakil Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos melanjutkan poin berikutnya. Ketiga, pemaksaan pemakaian jilbab yang diduga dilakukan oleh pimpinan, guru maupun tenaga pendidik di sekolah negeri, merupakan pelanggaran dan penyelewengan kewenangan yang dimiliki oleh para aparatur di sekolah-sekolah milik negara. Karena itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) mesti memberikan sanksi terukur yang mengandung efek jera.

Keempat, pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah negeri merupakan fenomena yang tidak tunggal dan terus berulang. Oleh karena itu, Setara Institute mendesak Mendikbudristek untuk melakukan evaluasi komprehensif. Serta mengembangkan dan menerapkan protokol standar kebinekaan di sekolah-sekolah negeri untuk mencegah dan menangani kasus-kasus serupa, dengan mengoptimalkan peran dan fungsi Aparatur Pengawas Intern Pemerintah (APIP).

“Kemudian otoritas pendidikan di daerah, dan pengawas sekolah, serta dengan melibatkan partisipasi masyarakat sipil,” katanya.

Kelima, mendesak keterlibatan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) untuk melakukan agenda-agenda programatik di sekolah dalam beberapa bentuk. Seperti reorientasi Pancasila dan Kebinekaan bagi para pemangku kebijakan dengan prioritas lembaga-lembaga pendidikan milik pemerintah.

Keenam, putusan MA yang membatalkan SKB 3 Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, pada Mei tahun lalu, memiliki dampak. Yakni memberikan efek buruk bagi agenda-agenda penguatan kebinekaan di sekolah-sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.

Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga DIY, Didik Wardaya, mengatakan untuk kasus yang terjadi di SMA 1 Negeri Banguntapan pihak sekolah dan orang tua murid telah bertemu. Keduanya sepakat untuk memaafkan. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan agar permasalahan yang terjadi diselesaikan secara kekeluargaan.

“Mereka saling bertemu dan sepakat bahwa permasalahan tersebut diselesaikan secara kekeluargaan. Keduanya sudah menganggap itu selesai,” ujarnya sebagaimana dilansir laman jogjaprov.go.id, Rabu (10/8/2022) lalu.

Meskipun diselesaikan secara kekeluargaan, Didik menegaskan pihak sekolah akan tetap mendapatkan hukuman disiplin. Dinas Dikpora telah mendapatkan data dan fakta, serta menemukan dugaan pelanggaran disiplin. “Hari ini akan dikirim ke Badan Kepegawaian Daerah (BKD) untuk memohon rekomendasi hukuman disiplin yang akan diberikan,” ungkap Didik.

Pemeriksaan dilakukan terhadap kepala sekolah, dua guru BK, dan wali kelas. Pemeriksaan yang dilakukan mengacu 3 peraturan yakni Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014, PP No.94 Tahun 2021, dan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015. Salah satu pelanggaran disiplin yang dilakukan adalah penjualan paket seragam.

Agar kejadian yang sama tidak terulang kembali, Dinas Dikpora DIY akan membentuk Satuan Tugas Lintas Sektor sesuai mandat Permendikbud No.82 Tahun 2015 tentang Penaggulangan Kekerasan di Tingkat Satuan Pendidikan. Didik berharap semua pihak bisa menjaga diri dan memaklumi agar proses kegiatan belajar mengajar di SMA Negeri Banguntapan dapat kembali kondusif dan menjaga Yogyakarta aman dan nyaman.

Berkaitan dengan status siswa terkait kasus tersebut diberikan pilihan apakah akan tetap bersekolah di SMAN 1 Banguntapan atau memutuskan untuk pindah. Namun, saran dari KPAI maupun keinginan orang tua, siswa tersebut bisa sekolah di tempat lain. “Saat ini kondisi anak sudah lebih baik, namun memang perlu waktu, mudah-mudahan bisa beraktivitas kembali,” imbuh Didik

Tags:

Berita Terkait