6 Catatan Koalisi Serius Revisi UU ITE Terkait Aturan PSE Lingkup Privat
Terbaru

6 Catatan Koalisi Serius Revisi UU ITE Terkait Aturan PSE Lingkup Privat

Seperti ruang lingkup keberlakuan yang sangat luas dan minimnya mekanisme perlindungan data pribadi (PDP) menyebabkan potensi penyalahgunaan yang tinggi, hingga terbukanya potensi akses langsung (direct access) terhadap 'sistem elektronik'.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Kementerian Informasi dan Informatika (Kemenkominfo) melalui Direktorat Jenderal Aplikasi Telematika (APTIKA), memperingatkan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat agar melakukan pendaftaran ke Kemenkominfo. Pendaftaran PSE merupakan langkah awal untuk mengatur platform dalam cengkraman negara. Pada faktanya, Permenkominfo 5/2020 tidak hanya mengatur pendaftaran, tapi banyak hal.

Demikian disampaikan anggota Koalisi Serius Revisi UU ITE, Alia Yofira melalui keterangan tertulisnya, Selasa (26/7/2022). “Konsekuensi dari pendaftaran ini berarti PSE akan menyerahkan sebagian tata kelola konten dan izin akses kepada negara, dimana setidaknya hal ini akan membahayakan,” ujarnya.

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No.5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat menjadi landasan pemerintah mewajibkan pendaftaran PSE. Namun bagi koalisi, Permenkominfo 5/2020 memperlihatkan konservatisme Indonesia dalam melihat dinamika digital platform yang menekankan pada pendekatan multipihak dalam pengambilan kebijakan.

Bagi koalisi, kata Alia Yofira, Permenkominfo 5/2020 berdampak terhadap hak atas privasi, khususnya pelindungan data pribadi. Menurutnya, dalam Pasal 21 Permenkominfo 5/2020 memberikan kewenangan Kementerian dan/atau Lembaga serta Aparat Penegak Hukum untuk mendapatkan akses terhadap sistem dan/atau data elektronik untuk tujuan pengawasan atau penegakan hukum pidana.

“Koalisi Revisi UU ITE mencatat setidaknya terdapat 6 permasalahan terkait pemberian akses ini,” ujarnya.

Baca Juga:

Pertama, ruang lingkup keberlakuan yang sangat luas dan minimnya mekanisme perlindungan data pribadi (PDP) menyebabkan potensi penyalahgunaan yang tinggi. Pasal 21 ayat (1) menyebutkan, PSE Lingkup Privat wajib memberikan akses terhadap Sistem Elektronik dan/atau Data Elektronik kepada Kementerian atau Lembaga dalam rangka pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Menurutnya, definisi ‘pengawasan’ sebagai dasar permintaan akses yang amat luas. Pasal 21 ayat (1) mengatur pengawasan dilakukan sesuai dengan perundangan. Sayangnya, legislasi utama terkait PDP yang komprehensif belum pula rampung dibahas, apalagi disahkan menjadi UU. Nah bila nantinya otoritas PDP yang dibentuk berdasarkan RUU PDP disematkan sebagai bagian dari kementerian/lembaga, otomatis pemerintah bakal mengawasi dirinya sendiri. Alhasil, potensi  abuse of power akan sangat tinggi.

“Selain itu, bertentangan dengan Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) malah mengatur bahwa pemberian akses terhadap sistem elektronik dan/atau data elektronik untuk kepentingan pengawasan, tidak hanya diberikan kepada kementerian/lembaga, namun juga untuk aparat penegak hukum,” ujarnya.

Kedua, minimnya pengawasan yudisial (judicial oversight). Menurutnya, Permenkominfo 5/2020 mengatur berbagai prasyarat untuk masing-masing jenis akses. Sayangnya, permintaan akses untuk tujuan ‘pengawasan’ dapat dilakukan tanpa surat penetapan dari pengadilan negeri terlebih dahulu. Pasal 23 ayat (1) mengatur akses terhadap sistem elektronik untuk 'pengawasan' disampaikan secara tertulis berdasarkan pada penilaian atas kepentingan pengawasan dan proporsionalitas serta legalitas.

Pengaturan serupa pun ditemukan dalam pasal 32 yang tidak ada mewajibkan aparat penegak hukum (APH) untuk mendapatkan surat penetapan dari pengadilan negeri untuk akses terhadap 'data elektronik'. Surat penetapan pengadilan negeri hanya dibutuhkan untuk satu akses terhadap 'sistem elektronik', kewajiban untuk mendapatkan surat penetapan dari pengadilan negeri hanya berlaku bagi tindak pidana dengan ancaman pidana 2-5 tahun sebagaimana diatur Pasal 33.

Ketiga, jangka waktu yang sempit untuk memenuhi permintaan akses. Menurutnya, perlunya mengatur PSE Privat harus memenuhi permintaan akses dalam 5 hari kalender sebagaimana diatur dalam Pasal 27, 31, 37, 41, dan 42. Baginya, jangka waktu yang sangat sempit tidak memberi waktu yang cukup bagi PSE Privat untuk menganalisa secara seksama apakah permintaan akses tersebut telah sesuai dengan perundangan.

“Khususnya ketika Permenkominfo 5/2020 ini berlaku sangat luas bagi seluruh PSE lingkup privat dengan berbagai skala usaha dan kapasitas,” ujar peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) itu.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Ika Ningtyas melanjutkan poin berikutnya. Keempat, sanksi yang disproporsional. Menurutnya, Pasal 45 mengatur ketidakpatuhan bakal berujung pada penjatuhan sanksi administratif. Seperti teguran tertulis, penghentian sementara; pemutusan akses, dan/atau pencabutan tanda daftar PSE. Selain sanksi berupa penghentian sementara dan pemutusan akses merupakan sanksi yang disproporsional, serta melanggar prinsip proporsionalitas.

“Permenkominfo 5/2020 juga luput mengatur secara ketat apakah sanksi-sanksi administratif diterapkan secara berjenjang,” kata dia.

Kelima, tidak ada mekanisme banding (appeal)dan hak subjek data untuk menerima notifikasi.Permenkominfo 5/2020 tidak membuka ruang bagi PSE Privat untuk melakukan banding atas permintaan akses yang masuk, pun hak-hak subjek data khususnya terkait hak atas notifikasi ketika datanya diminta untuk diakses oleh K/L dan/atau APH juga nihil.

Keenam, terbukanya potensi akses langsung (direct access) terhadap 'sistem elektronik'.Merujuk Pasal 39 yang memfasilitasi akses APH terhadap 'sistem elektronik'. Meskipun harus dilakukan berdasarkan surat penetapan pengadilan, pasal ini membuka potensi APH untuk mendapat akses langsung yang disproporsional terhadap 'sistem elektronik'.

Khususnya saat membaca ketentuan Pasal 39 ayat (4) yang hanya mengatur mengenai opsi-opsi akses, tapi tidak secara eksplisit membatasi adanya akses langsung. Dia menilai akses langsung terhadap ‘sistem elektronik’ merupakan bentuk akses yang sangat intrusif karena memberikan akses tak terbatas kepada APH, sehingga membuka potensi penyalahgunaan wewenang yang besar.

“Alih-alih memberikan platform digital keleluasaan untuk melakukan inovasi sebagaimana karakteristiknya, pendaftaran PSE ini justru menakut-nakuti user platform dengan berbagai macam restriksi yang menyebabkan matinya kemampuan daya kreatif,” katanya.

Tags:

Berita Terkait