6 Catatan Akademisi Soal Arah Kebijakan Perpajakan Pasca Putusan MK
Terbaru

6 Catatan Akademisi Soal Arah Kebijakan Perpajakan Pasca Putusan MK

Putusan MK tentang pengujian UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berdampak terhadap kebijakan perpajakan. Pemerintah diharapkan memberikan arah pengaturan yang jelas terkait perpajakan.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Dosen Hukum Pajak FH UGM, Taufiq Adiyanto. Foto: ADY
Dosen Hukum Pajak FH UGM, Taufiq Adiyanto. Foto: ADY

Putusan MK terkait pengujian formil UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berdampak terhadap berbagai ketentuan yang bersifat strategis dan berdampak luas, salah satunya pengaturan di sektor perpajakan. Dosen Hukum Pajak Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Taufiq Adiyanto, mengatakan amar nomor 7 Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil UU No.11 Tahun 2020 menangguhkan semua tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru UU No.11 Tahun 2020.

Mengacu Pasal 4 UU No.11 Tahun 2020, Taufiq berpendapat perpajakan masuk kategori kebijakan strategis dan berdampak luas sebagaimana amar ketujuh putusan MK tersebut. Hal itu membuat ketidakpastian hukum di sektor perpajakan mengingat pemerintah telah mengubah beberapa ketentuan dalam UU terkait perpajakan, seperti UU Pajak Penghasilan dan UU Pajak Pertambahan Nilai. Selain itu, ada sejumlah peraturan turunan UU No.11 Tahun 2020 terkait perpajakan yang telah diterbitkan seperti PP No.9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan Untuk Mendukung Kemudahan Berusaha.

“Ketentuan Perpajakan dalam UU No.11 Tahun 2020 terkena dampak dari putusan MK dan berpotensi menyebabkan ketidakpastian hukum,” kata Taufiq Adiyanto dalam webinar bertema “Implikasi Putusan MK terhadap Substansi UU Cipta Kerja,” Kamis (16/12/2021) lalu. (Baca Juga: Jalankan Putusan MK, Pemerintah Seharusnya Cabut Dulu UU Cipta Kerja)  

Taufiq menilai sedikitnya ada 6 hal yang perlu diperhatikan pemerintah terhadap arah kebijakan perpajakan setelah terbit Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 ini. Pertama, perlu arah pengaturan yang jelas di sektor perpajakan. UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dirancang untuk menyempurnakan peraturan perpajakan dalam UU No.11 Tahun 2020 dan Perppu No.1 Tahun 2020. Hal itu dilakukan dengan menambah ketentuan baru seperti pajak karbon, pajak natura, dan amnesti pajak.

“Pemerintah dan DPR telah menerbitkan aturan perpajakan baru dan melakukan perubahan berulang kali terhadap substansi UU yang sama, misalnya tarif PPh Badan, Retribusi Daerah, dan BKP PPN. Persoalan tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Kami berharap pemerintah dan DPR memberikan pedoman atau agenda reformasi perpajakan,” sarannya.

Kedua, peraturan perpajakan yang tersebar menyebabkan kebingungan publik. Taufiq memberikan contoh Perppu No.1 Tahun 2020 tidak terintegrasi dalam ketentuan peraturan perpajakan materiil eksisting. Misalnya, pengaturan pajak perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) ada dalam Perppu No.1 Tahun 2020. Kemudian dasar pemungutan direvisi dalam UU HPP.

Ketiga, penerapan prinsip ultimum remedium dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Taufiq menyebut dihapusnya Pasal 13A UU KUP melalui UU No.11 Tahun 2020 menunjukkan posisi UU KUP menjauh dari penerapan prinsip ultimum remedium. Penyisipan Pasal 44B ayat (2a) dan (2b) UU KUP melalui UU HPP memberikan opsi bagi terdakwa yang perkaranya telah dilimpahkan ke pengadilan untuk melunasi kerugian pendapatan negara dan dituntut tanpa pidana penjara. Perubahan pasal 44b UU KUP oleh UU HPP ini menunjukkan UU KUP justru mendukung penerapan prinsip ultimum remedium.

Keempat, pembebasan PPh dividen dan potensi reinvestasi. Taufiq menjelaskan dividen yang bersal dari dalam negeri yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri, sepanjang diinvestasikan di wilayah Indonesia dalam waktu tertentu dan/atau wajib pajak badan dalam negeri tidak dikenai PPh dikecualikan dari objek pajak. Pembebasan dividen ini positif karena akan menimbulkan multipliers effect yakni banyak usaha berkembang dan negara bisa memungut pajak.

Tapi pembebasan PPh ini, menurut Taufiq diprediksi bakal mengganggu income distribution dari negara. Adanya tarif PPh orang pribadi sebesar 35 persen di UU HPP dapat mendorong wajib pajak orang pribadi yang memiliki kekayaan tinggi untuk mengalihkan kekayaannya dengan penyertaan modal atau bentuk lain untuk memperoleh dividen. Selain itu, potensi reinvestasi bagi wajib pajak badan yang menerima dividen dalam negeri jumlahnya besar dan bisa dimanfaatkan. Melansir data OECG tahun 2018 tercatat struktur perpajakan di Indonesia berasal dari PPh badan sebesar 32 persen dari total penerimaan pajak, sedangkan penerimaan PPh orang pribadi hanya 10 persen.

Kelima, penerapan asas efektivitas pajak. Taufiq melihat revisi UU PPN melalui UU HPP memindahkan barang dan jasa yang ada di Pasal 4A ke Pasal 16B UU PPN mengatur mengenai PPN tidak dipungut dan PPN dibebaskan. Ketentuan itu berimbas pada pengusaha yang mau mengklaim kredit pajak, tapi belum ditetapkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Padahal, Pasal 9 ayat (2b) UU PPN memberikan syarat penggunaan faktur pajak untuk mengkreditkan pajak masukan. Pasal 13 ayat (1) menyatakan faktur pajak dibuat oleh PKP. “Ketentuan ini menyebabkan cost of taxation meningkat dan tidak sejalan dengan asas efektivitas perpajakan,” ujar Taufiq.

Keenam, keselarasan dengan maksud dan tujuan UU. Taufiq menekankan pemerintah untuk memperhatikan penerapan UU dan peraturan turunannya sesuai dengan maksud dan tujuan UU. Dia memberikan contoh Desember 2020 PGN kalah atas sebagian besar sengketa PPN terhadap objek gas bumi di tingkat MA melawan DJP. PGN telah mencatat penyisihan atas sengketa pajak sebesar Rp4,15 triliun.

Dalam kesempatan yang sama, Dosen Departemen Hukum Bisnis FH UGM, Karina Dwi Nugrahati Putri, menyoal tentang pendekatan ease of doing business (EODB) dalam ketentuan terkait “Kemudahan Berusaha” dalam UU No.11 Tahun 2020. Secara singkat, Karina menjelaskan EODB diperkenalkan oleh The World Bank Group untuk dapat menentukan peringkat sebuah negara sebagai tujuan investasi atau kegiatan bisnis.

Pemeringkatan itu dilakukan berdasarkan upaya sebuah negara mengatur tata cara seseorang atau entitas untuk dapat memulai bisnis, perolehan izin konstruksi, memperoleh listrik, pendaftaran properti, kredit, perlindungan investor minoritas, pembayaran pajak, perdagangan lintas batas, penegakan ketentuan dalam kontrak dan penyelesaian insolvensi.

Dari berbagai ketentuan terkait kemudahan berusaha yang diatur dalam UU No.11 Tahun 2020, antara lain revisi UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT). Ketentuan yang diubah antara lain kemudahan untuk mendirikan perusahaan terutama bagi usaha mikro dan kecil (UMK). Dia menjelaskan syarat minimal pendirian yakni 2 orang dieliminir sepanjang perseroan tersebut memenuhi persyaratan sebagai usaha mikro dan kecil. Tapi dalam mengatur pendirian perseroan UMK itu tidak diatur secara khusus aturan main yang membatasi perseroan UMK dalam melakukan kegiatan bisnisnya.

“Pengaturan hanya meliputi kriteria UMK dengan melihat aspek modal usaha dan hasil penjualan tahunan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait