6 Alasan Mendesaknya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana
Utama

6 Alasan Mendesaknya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana

Hal terpenting perampasan aset tidak bergantung pada penjatuhan hukuman pidana (penjara) terhadap pelaku. Baleg DPR akan senang bila menerima Surat Presiden atas pengusulan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana secara formil.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi  kejahatan ekonomi: BAS
Ilustrasi kejahatan ekonomi: BAS

Sudah bertahun-tahun tahun nasib Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset Tindak Pidana tak ada kejelasan. Sejak tahun 2012, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana ini sudah mulai dibahas saat era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Usulan RUU Perampasan Aset ini mandek hingga Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Padahal, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana menjadi instrumen penting mendukung agenda pemberantasan korupsi dan kejahatan ekonomi di Tanah Air.

Kepala Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae mengaku telah melakukan pertemuan dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly pertengahan Februari lalu. Pertemuan ini dalam rangka menyamakan persepsi tentang pentingnya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana ini yang  telah berproses di sejak era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono.

Bahkan, pembahasan di internal pemerintah telah rampung diharmonisasi pada November 2010 silam. Selanjutnya, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana telah disampaikan kepada Presiden melalui surat Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH.PP.02.03-46 tanggal 12 Desember 2011. “RUU Perampasan aset kami nilai sangat urgent untuk perbaikan kinerja pemberantasan kejahatan ekonomi di Indonesia,” ujar Dian Ediana dalam keterangannya, Rabu (25/2/2021). (Baca Juga: RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Diusulkan Masuk Prolegnas Prioritas)

Terdapat enam alasan penting dan mendesaknya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana untuk dapat segera dibahas dan diundangkan.

  1. Tingkat pemberantasan tindak pidana ekonomi, seperti korupsi, narkoba, perpajakan, tindak pidana di bidang keuangan, dan lainnya relatif rendah ditinjau dari tingkat keberhasilannya. Penyebabnya, antara lain faktor efek jera dan pencegahan yang sangat rendak dan tidak memadai. Seharusnya, dalam hal tindak pidana ekonomi, perampasan aset hasil tindak pidana menjadi salah satu faktor efek jera bagi pelaku. Bila dibiarkan, aset hasil tindak pidana tetap dapat dinikmati oleh pelaku meskipin sudah menjalani masa hukuman (penjara).
  1. Kejahatan ekonomi merupakan kejahatan canggih atau sophisticated. Kejahatan dengan berbagai bentuk rekayasa keuangan atau financial engineering dan rekayasa hukum legal engineering. Langkah itu ditempuh para pelaku kejahatan agar dapat mengelabui aparat penegak hukum, mempersulit proses hukum di pengadilan, dan mempersulit proses penyitaan konvensional.
  1. Pengembalian aset (recovery asset) kerugian negara ataupun kerugian sosial-ekonomi dari sejumlah kejahatan ekonomi terbilang masih amat rendah. Atau belum cukup membantu pengembalian keuangan negara secara optimal dalam upaya membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
  1. Dalam hal penindakan kejahatan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menyertai tindak pidana ekonomi dapat dilakukan secara progresif berdasarkan UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Tapi praktiknya, terkendala disebabkan kurang progresifnya peraturan perundangan-undangan terkait penyitaan aset yang diduga hasil tindak pidana.
  1. Ruang lingkup RUU Perampasan Aset Tindak Pidana menangani persoalan aset tindak pidana lantaran tersangka/terdakwa meninggal dunia; melarikan diri; sakit permanen; atau tidak diketahui keberadaannya. Bahkan mungkin terdakwa diputus lepas dari segala tuntuan hukuman.
  1. Salah satu ketentuan penting dari RUU Perampasan Aset Tindak Pidana adalah perampasan aset tidak bergantung pada penjatuhan pidana (penjara) terhadap pelaku.

“Meski enam alasan penting itu menjadi argumentasi betapa mendesaknya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, PPATK menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah dan DPR yang berwenang membuat UU,” kata Dian.

Dian berharap agar RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dapat segera dibahas dan disahkan menjadi UU sebagai intrumen untuk memudahkan aparat penegak hukum mengejar dan menyita aset hasil tindak pidana. “Harapan PPATK tentu RUU ini dapat segera dibahas dan disahkan menjadi UU,” tegasnya.

Memenuhi syarat teknis

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Willy Aditya menilai RUU Perampasan Aset Tindak Pidana layak masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas. Sebab, RUU ini telah memenuhi persyaratan teknis untuk diusulkan sebagai salah satu RUU Prolegnas Prioritas. DPR akan senang bila menerima Surat Presiden atas pengusulan RUU tersebut secara formil. Meski Prolegnas Prioritas 2021 telah diputuskan di tingkat Baleg bersama pemerintah dengan 33 RUU. Sayangnya, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana tak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021.

“Tapi, RUU Prolegnas Prioritas 2021 belum disahkan dalam rapat paripurna oleh pimpinan DPR, sehingga masih ada peluang bila adanya keinginan pemerintah dan DPR memasukan RUU tersebut dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021. Pertengahan tahun dapat dievaluasi dengan memasukan RUU yang dinilai menjadi kebutuhan masyarakat. RUU ini penting untuk dimajukan,” harapnya.

Lebih lanjut, Anggota Komisi XI DPR ini menilai RUU Perampasan Aset Tindak Pidana bisa menjadi terobosan dalam upaya menekan angka kejahatan keuangan untuk tujuan memperkaya diri, kerabat, dan institusi. Menurutnya, negara membutuhkan aturan perampasan aset hasil tindak pidana/kejahatan tertentu demi rasa keadilan publik.

Dia yakin berlakunya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana secara formil dapat menjawab permasalahan publik terkait kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme. Baginya, perampasan harta hasil tindak pidana jauh lebih penting dan berkeadilan ketimbang mengkonstruksi hukuman mati. 

Baginya, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana memerlukan perangkat pokok. Pertama, soal definisi batasan aset-aset apa yang bisa dirampas. Kedua, tentang cara negara menegakan aturan perampasan aset melalui lembaga yang sudah ada. “Pada dasarnya Indonesia sebenarnya sudah menerapkan perampasan aset hasil tindak pidana sebagai pidana tambahan di beberapa UU terkait tindak pidana keuangan,” lanjutnya.

Politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu yakin seluruh fraksi partai di DPR bakal mendukung RUU tersebut untuk dibahas agar mekanisme perampasan aset dapat dilakukan terhadap harta hasil kejahatan tanpa kendala aturan hukum acara yang belum memadai. “Banyak putusan kejahatan memperkaya diri, tapi tak menyentuh motifnya. Dalam banyak kasus yang merugikan keuangan negara, tapi tidak berkeadilan bagi publik karena harta, uang, atau aset negara tidak dapat kembali walaupun pelakunya sudah diputus bersalah,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto berharap Presiden Jokowi dan seluruh pemangku kepentingan bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT) mendukung RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.

RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dan Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal sebagai RUU prioritas untuk dibahas dan disahkan pada tahun 2021. Pengesahan kedua RUU ini diyakini dapat memperkuat rezim anti-pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.

Tags:

Berita Terkait