5 Urgensi Isu Penyandang Disabilitas dalam RKUHP
Utama

5 Urgensi Isu Penyandang Disabilitas dalam RKUHP

Pembahasan RKUHP minim partisipasi penyandang disabilitas tidak hanya dari pembahasan secara langsung, tetapi juga dalam berbagai forum yang diberikan pemerintah yang tidak cukup aksesibel untuk penyandang disabilitas.

Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit
Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Fajri Nursyamsi. WIL
Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Fajri Nursyamsi. WIL

Beberapa waktu yang lalu, koalisi organisasi penyandang disabilitas mengkritik sejumlah pasal dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP) yang dinilai tidak berjalan transparan dan inklusif, khususnya bagi penyandang disabilitas.

Beberapa pasal di dalam RKUHP yang menyebut kata disabilitas nyatanya tidak pernah melibatkan organisasi penyandang disabilitas sehingga RKUHP tersebut berpotensi menimbulkan stigma bagi penyandang disabilitas dan menyebabkan ketidakadilan.

Pembahasan RKUHP yang masih minim partisipasi dari penyandang disabilitas, nyatanya masih jauh dari dari konsep ideal partisipasi yang bermakna dalam suatu proses legislasi. Sehingga menyebabkan organisasi kelompok penyandang disabilitas secara mandiri menyampaikan aspirasinya tanpa ada fasilitas dari pemerintah maupun DPR.

Baca Juga:

Selain tidak adanya melibatkan penyandang disabilitas dalam proses pembentukan RKUHP, terdapat persoalan lain yaitu dalam substansi norma RKUHP tersebut. Substansi RKUHP dinilai tidak sensitif terhadap kebutuhan dan realitas penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum, sehingga cenderung memperkuat potensi diskriminasi dan mempertajam stigma di dalam masyarakat.

Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Fajri Nursyamsi, mengemukakan pendapatnya mengenai isu penyandang disabilitas di dalam RKUHP yang kurang menjadi perhatian publik.

“Beberapa bulan terakhir, isu RKUHP yang muncul kebanyakan di isu yang bukan isu disabilitas dan tidak banyak di highlight. Ini menjadi penting lantaran banyak hal mendasar di hukum pidana secara materiil dipertimbangkannya terkait penyandang disabilitas,” ujarnya dalam sesi diskusi yang diadakan pada Kamis, (18/7).

Sama halnya dengan Fajri, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pun memaknai isu terkait penyandang disabilitas dalam RKUHP penting dibahas karena penyandang disabilitas adalah warga negara yang harus dilindungi haknya.

Dalam kesempatan tersebut, Fajri mengatakan setidaknya ada lima urgensi RKUHP dalam isu disabilitas, yaitu:

Pertama, penyandang disabilitas adalah warga negara yang harus dilindungi haknya termasuk hak dalam hukum pidana materiil.

Kedua, kondisi disabilitas mendapat perhatian dalam rumusan RKHUP,

Ketiga, perbaikan KUHP akan berpengaruh terhadap cara pandang terhadap penyandang disabilitas, khususnya dalam melihat aspek cakap hukum dalam hukum pidana.

Keempat, gagasan perubahan sudah disesuaikan sejak dari pembahasan UU No. 8 Tahun 2016, tapi ditolak karena dianggap lebih baik masuk dalam pembahasan KUHP.

Kelima, dalam riset BalitbangHAM Kemenkumham ada 1.130 warga binaan penyandang disabilitas dengan kondisi lapas atau rutan yang tidak aksesibel. Penyandang disabilitas tidak lepas dari pidana materil.

Urgensi pembahasan RKUHP yang dipaparkan oleh Fajri tersebut, nyatanya juga minim dari partisipasi penyandang disabilitas.

“Pembahasan RKUHP minim partisipasi penyandang disabilitas. Bukan hanya dari pembahasan secara langsung, tetapi juga dalam berbagai forum yang diberikan pemerintah yang tidak cukup aksesibel untuk teman-teman penyandang disabilitas,” katanya.

Aksesibilitas yang kurang bagi penyandang disabilitas gunakan sebagai upaya ikut serta dalam pembahasan RKUHP adalah tidak adanya juru bahasa isyarat saat di platform streaming online, serta dokumen yang ada sebelumnya tidak aksesibel bagi disabilitas netra.

“Hal-hal itu perlu diperhatikan, sehingga akan lebih banyak lagi masyarakat yang berkontribusi pemikirannya dalam pembahasan RKUHP, khususnya penyandang disabilitas. Karena proses pembahasannya sudah panjang, tetapi minim melibatkan organisasi penyandang disabilitas,” sambungnya.

Ia melanjutkan, terkait isu disabilitas dalam  RKUHP ada tiga hal yang menjadi fokus utama dan perlu dikritisi.

“Ada tiga hal yang perlu dikritisi dalam RKUHP dalam isu penyandang disabilitas, yaitu penggunaan istilah yang tidak tepat, tidak mengenal aksesibilitas secara komprehensif, serta memperkuat potensi diskriminasi dan mempertajam stigma,” jelasnya.

Selain itu ia juga menambahkan ada tiga kelompok ketentuan yang mendesak untuk direvisi dari RKUHP, yaitu di dalam kemampuan bertanggung jawab khususnya dalam Pasal 38 dan Pasal 39, mengenai habilitasi dan rehabilitasi dalam Pasal 103 dan Pasal 105, serta lingkup ragam disabilitas dalam Pasal 242 dan Pasal 243.

Tags:

Berita Terkait