5 RUU Ini Berpotensi Ancam Kedaulatan Rakyat
Berita

5 RUU Ini Berpotensi Ancam Kedaulatan Rakyat

RUU Pertanahan, Mineral dan Batubara (Minerba), UU Sumber Daya Air, UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB), dan RUU Perkelapasawitan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Proses legislasi yang berlangsung menjelang akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019 menuai polemik di masyarakat. Bahkan memicu terjadinya demonstrasi berbagai elemen masyarakat di berbagai daerah yang menolak beberapa RUU yang dinilai bermasalah. Tak terkecuali, organisasi masyarakat sipil turut mengkritik sejumlah RUU dan Revisi UU yang dibahas DPR dan pemerintah. seperti RKUHP, RUU KPK, RUU Pertanahan, dan RUU Minerba.

 

Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi mencatat sedikitnya ada 5 produk legislasi di DPR yang berpotensi mengancam kedaulatan rakyat di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yakni RUU Pertanahan, RUU Minerba, UU Sumber Daya Air, dan RUU Perkelapasawitan. Menurut Zenzi, sejumlah RUU pada intinya ditujukan untuk memperkuat dan memperluas penguasaan kelompok pengusaha atas sumber daya alam.

 

“Ini berarti berpotensi mengancam kedaulatan rakyat terhadap sumber daya alam,” kata Zenzi dalam diskusi di kantor Walhi di Jakarta, Selasa (15/10/2019). Baca Juga: Tiga Catatan Penting untuk Fungsi Legislasi DPR

 

Meski pembahasannya ditunda, Zenzi menilai substansi RUU Pertanahan mengampuni kejahatan yang dilakukan korporasi. Misalnya, dalam kasus kebakaran di lahan gambut yang merupakan wilayah konsesi perusahaan. Padahal seperti diketahui bersama setiap tahun lahan gambut mengalami kebakaran dan berdampak buruk terhadap lingkungan hidup termasuk masyarakat. RUU Pertanahan juga memberi celah bagi korporasi untuk mendapatkan wilayah adat atau komunal.

 

“Jika RUU Pertanahan disahkan, membuka pintu bagi korporasi untuk mengambil alih ruang kelola rakyat terhadap lahan gambut,” kata dia.

 

Begitu pula dengan RUU Minerba, Zenzi melihat ada ketentuan yang bisa mengalihkan kepemilikan sumber daya alam kepada korporasi. Kemudian mengatur pengelolaan hak dasar rakyat seperti air dan listrik yang harusnya dikelola pemerintah, tapi diserahkan kepada swasta. RUU Minerba menempatkan rakyat bukan sebagai produsen, tapi konsumen.

 

Di sisi lain, posisi negara hanya bertindak sebagai pihak yang menerbitkan izin. Praktik buruk perizinan ini terjadi di daerah dimana kepala daerah menerbitkan izin untuk keluarga dan kroninya. “Praktik jual beli izin ini seharusnya masuk kategori kejahatan di bidang sumber daya alam,” ujar Zenzi.

 

Pasal 123 huruf (b) RUU Minerba, menurut Zenzi memberi kewenangan pemerintah untuk mengambil alih pertambangan yang tidak mengantongi izin. Menurutnya, ketentuan ini akan menyasar tambang rakyat karena tidak memiliki izin. Pekerja di sektor pertambangan juga terancam haknya karena Pasal 141 huruf (f) RUU Minerba menghapus kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja.

 

Parahnya lagi, Pasal 145 huruf (c) RUU Minerba mencabut hak masyarakat untuk mengajukan keberatan dan pencabutan izin perusahaan tambang yang beroperasi di wilayahnya. Berikutnya, Pasal 145 huruf (d) mencabut hak masyarakat untuk mendapat perlindungan dan pendampingan secara hukum. Ketentuan ini membuat masyarakat yang berkonsolidasi menolak kehadiran tambang di wilayahnya tidak terlindungi oleh hukum.

 

Zenzi juga menyoroti Pasal 24-27 UU Sumber Daya Air yang memisahkan masyarakat dari sumber daya air dengan dalih konservasi. Pasal 46 UU Sumber Daya Air mengatur pemberian izin penguasaan air diutamakan untuk BUMN dan BUMD, tapi membuka ruang untuk swasta. Padahal, dalam putusan bernomor 85/PUU-XI/2013, MK tidak membolehkan swastanisasi air. “UU Sumber Daya Air membolehkan swasta untuk berbisnis air kemasan,” ungkapnya.

 

Dia juga mengkritik UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan karena arahnya membuat petani menjadi ketergantungan pestisida dan pupuk yang dipegang swasta. Terakhir, RUU Perkelapasawitan, Zenzi berpendapat substansi RUU ini berpihak terhadap investasi dan mengabaikan aspek sosial dan lingkungan. Misalnya, membuka peluang pemanfaatan dan pembukaan ekosistem gambut untuk perkebunan kelapa sawit. Ketentuan ini bertentangan dengan semangat perlindungan ekosistem gambut dan upaya pemerintah mencegah kebakaran hutan dan lahan.

 

Melansir data KPK, Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan ada banyak kasus korupsi dan suap di sektor kehutanan yang jumlahnya sampai Rp22 miliar per tahun. Proses legislasi terhadap revisi UU KPK akan mempengaruhi kinerja KPK dalam 5 tahun ke depan. Padahal KPK merupakan benteng terakhir pemberantasan korupsi. “KPK tugasnya membersihkan penegak hukum,” ujarnya.

 

Direktur Program ICJR Erasmus Napitupulu mengingatkan RUU KUHP yang ditunda pengesahannya masih memuat ketentuan yang bisa menjerat aktivis HAM dan lingkungan hidup. Ini tidak selaras dengan konsep Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti Slapp) sebagaimana tertuang dalam UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

 

Konsep ini pada intinya memberikan perlindungan kepada masyarakat dari tuntutan atau gugatan hukum. “Masyarakat harus terus mengawal RUU KUHP agar logika yang digunakan sesuai dengan amanat reformasi dan kekinian,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait