Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen masuk program legislasi nasional (prolegnas) 2023. RUU ini akan merevisi undang-undang sebelumnya, yakni UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang dirasa tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan perlindungan bagi konsumen dalam kegiatan ekonomi, khususnya pada masifnya perkembangan teknologi saat ini.
RUU Perlindungan akan mengubah beberapa hal yang sebelumnya diatur dalam UU No.8 Tahun 1999. Adanya undang-undang untuk perlindungan konsumen tidak hanya mengatur konsumen dan memberikan perlindungan kepada konsumen, tetapi juga memberikan perlindungan kepada pelaku usaha.
Vovo Iswanto selaku Partner pada Assegaf Hamzah & Partners (AHP) dalam Webinar Hukumonline bertajuk Perlindungan Konsumen: Tantangan dan Nilai Tambah Untuk Pelaku Usaha, Kamis (22/6), menjelaskan dalam UU No.8 Tahun 1999 pengertian konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Baca Juga:
- OJK Minta Semua Pihak Terlibat Edukasi Masyarakat Agar Tak Terayu Pinjol Ilegal
- Kenali Restorative Justice untuk Konsumen di Sektor Keuangan
Kemudian dalam RUU Perlindungan Konsumen, konsumen diartikan sebagai orang perseorangan yang menggunakan barang atau memanfaatkan jasa, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dengan tujuan tidak diperdagangkan kembali atau tidak menjadi unsur dalam memproduksi barang dan atau menghasilkan jasa lain.
Vovo mengatakan terdapat lima poin perubahan yang diatur dalam RUU Perlindungan Konsumen. Pertama, perubahan pada defenisi konsumen, perubahan dalam definisi pelaku usaha, perubahan dalam penegasan kewajiban konsumen, perubahan dalam ketentuan pencantuman klausula baku, dan perubahan tanggung jawab pelaku usaha.
“Dalam definisi pelaku usaha tersebut kemudian terbagi atas dua pengertian yaitu pelaku usaha barang dan penyedia jasa,” katanya.