5 Perbuatan Hukum yang Layak Diwaspadai Selama Bulan Puasa
Berita

5 Perbuatan Hukum yang Layak Diwaspadai Selama Bulan Puasa

Meminta-minta uang dengan mengemis di jalanan dan memberi uang kepada pengemis bisa terkena pidana, lho!

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi meminta sumbangan di jalan. Ilustrator: BAS
Ilustrasi meminta sumbangan di jalan. Ilustrator: BAS

Bagi ummat Islam, bulan Ramadhan bukan saja momentum untuk berpuasa, tetapi juga momentum untuk meningkatkan keimanan. Banyak orang menghabiskan waktu untuk beribadah kepada Sang Pencipta. Selain itu, banyak orang melakukan kebajikan dan bermurah hati memberikan uang kepada pengemis di jalanan. Apalagi, jumlah pengamen atau peminta-minta umumnya meningkat menjelang lebaran. Pada malam hari, sebagian  ummat Islam berkumpul di masjid melaksanakan shalat, dan meninggalkan rumah mereka dalam keadaan kosong.

Disadari atau tidak, sebenarnya ada sejumlah perbuatan yang sering terjadi di bulan Ramadhan. Sikap waspada penting dipupuk agar tak menjadi korban apalagi menjadi pelaku tindak pidana. Ada perbuatan yang bisa dikualifikasi sebagai pidana seperti memberikan uang kepada pengemus di jalanan Ibukota, padahal perbuatan itu mungkin dilandasi niat baik si pemberi. Berikut ini adalah perbuatan-perbuatan yang patut diwaspadai resiko hukumnya.

  1. Mengemis atau Memberi Uang kepada Pengemis.

Di bulan puasa atau tidak, sebagian warga punya kebiasaan memberikan uang kepada pengemis atau pengamen di jalanan. Tahukah Anda bahwa menggelandang atau mengamen,  atau memberikan uang kepada mereka bisa terancam pidana? Pasal 504 ayat (1) KUHP memuat ancaman pidana kurungan maksimal enam pekan kepada siapapun yang mengemis di muka umum. Ayat (2) pasal yang sama meningkatkan ancaman pidana kurungan menjadi tiga bulan bagi pengemis yang telah berusia 16 tahun ke atas dilakukan oleh tiga orang atau lebih.

Pasal 505 KUHP melarang perbuatan bergelandangan tanpa pencarian. Jika gelandangan dilakukan ramai-ramai (tiga orang atau lebih) oleh orang yang telah berusia 16 tahun ke atas ancamannya maksimal enam bulan kurungan. Larangan senada juga terdapat dalam Peraturan Daerah (Perda) di sejumlah daerah. Sebut misalnya DKI Jakarta, yang telah memiliki Perda No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Pasal 40 Perda ini melarang orang untuk mengemis. Bahkan larangan juga ditetapkan kepada orang untuk memberikan uang atau barang kepada pengemis.

Pasal 40 Perda DKI Jakarta tersebut menegaskan setiap orang atau badan dilarang (a) menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil; (b) menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, atau pengelap mobil; dan (c) membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah yang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil. Pelanggaran terhadap Pasal 40 Perda DKI tersebut terancam pidana beragam, mulai dari kurungan minimal 20 hari hingga denda maksimal 30 juta rupiah, tergantung jenis perbuatannya.

(Baca juga: Dasar Hukum yang Melarang Meminta Sumbangan di Jalan).

Oh ya, berdasarkan PP No. 31 Tahun 1980 tentang Penaggulangan Gelandangan dan Pengemis, gelandangan diartikan sebagai ‘orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum’. Sedangkan pengemis adalah orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

Tentu saja, tak ada halangan bagi seseorang untuk memberikan sedekah kepada orang miskin, atau orang-orang yang berhak berdasarkan ketentuan agamanya.

  1. Berjualan atau menggunakan kembang api.

Sejak zaman Belanda sudah ada pengaturan mengenai kembang api, yakni Undang-Undang Bunga Api Tahun 1932. Penjualan kembang api terus berlangsung apalagi menjelang hari-hari besar. Korban akibat ledakan pabrik kembang api  atau kebakaran akibat kembang api terus bertambah. Untuk mencegah resikonya, maka perdagangan kembang api diatur lewat Peraturan Kapolri No. 17 Tahun 2017 tentang Perizinan, Pemgamanan, Pengawasan, dan Pengendalian Bahan Peledak Komersial.

Perkap No.17 Tahun 2017 mengatur bahwa untuk membedakan kembang api yang diizinkan dan dilarang adalah bunga api yang telah memiliki izin impor/produksi dari Baintelkam Mabes Polri dengan ukuran kurang dari dua inci tidak memerlukan izin pembelian dan penggunaan sehingga dapat diperjual belikan kepada masyarakat. Sedangkan yang berukuran diatas 2 inci harus ada izin pembelian dan penggunaan yang akan diterbitkan oleh Mabes Polri Cq Baintelkam untuk kepentingan pertujunkan. Bunga api yang dapat izin dari Mabes agar tetap diawasi dalam perdarannya dan tidak perlu dilakukan penyitaan/pemusnahan karena sudah sesuai dengan ketentuan. Untuk bunga api yang tidak mempunyai izin dari Baintelkam Mabes Polri dan petasan atau mercon dilarang untuk diperjual belikan dan dipergunakan atau dinyalakan.

Apa ancaman pidana jika menyebabkan luka atau kematian? Pelaku bisa dijerat dengan Pasal 359 atau Pasal 360 KUHP yang mengancam pidana barangsiapa yang karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati, luka berat atau luka sedemikian rupa hukuman kurungan. Bukan mustahil pula aparat penegak hukum menggunakan UU Drt 12 Tahun 1951 jika dampak yang ditimbulkan ledakan kembang api atau petasan besar.

  1. Menjalankan jasa hiburan malam yang terlarang.

Bisnis hiburan malam yang beroperasi selama bulan Ramadhan dipandang dapat mengganggu ketertiban umum. Untuk itu, Pemerintah Daerah selain membatasi jam operasional tempat hiburan malam, juga melarang beroperasinya sebagian jenis hiburan malam. Di Jakarta misalanya,  Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) DKI Jakarta pernah mengeluarkan Surat Edaran No. 34/SE/2015 tentang Penyelenggaraan Industri Pariwisata pada Bulan Suci Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri.

Surat Edaran ini mengatur tentang jam operasional industry pariwisata, terasuk di dalamnya tempat hiburan malam. Pembatasan jam operasional industri pariwisata ini mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) No. 19 Tahun 2004 tentang Kepariwisataan dan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 98 Tahun 2004 tentang Waktu Penyelenggaraan Industri Pariwisata di DKI Jakarta. Serta Surat Edaran Kepala Disparbud DKI.

Dalam ketiga peraturan tersebut ada lima pengaturan jam operasional dan penutupan tempat hiburan.Pertama adalah tempat hiburan yang ditutup selama satu bulan penuh. Tempat hiburan yang harus ditutup selama bulan puasa adalah, klab malam, diskotek, mandi uap, griya pijat, permainan mesin keeping jenis bola ketangkasan serta usaha bar yang berdiri sendiri dan yang melekat pada klab malam, diskotik, mandi uap, griya pijat dan bola ketangkasan.

Kedua, tempat hiburan yang jam operasionalnya diatur mulai buka pukul 20.30 dan tutup pada 01.30. Terdiri dari karaoke, musik hidup (live music) dan bola sodok yang menjadi fasilitas di karaoke dan live music. Ketiga, seluruh tempat hiburan diwajibkan tutup di hari-hari tertentu seperti satu hari sebelum bulan Ramadan, hari pertama bulan Ramadhan dan malam Nuzulul Qur'an. Kemudian tutup satu hari sebelum hari Lebaran hingga hari kedua Lebaran dan satu hari setelah Hari Lebaran.

Aturan keempat, kategori penyelenggaraan di hotel berbintang, berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 98 tahun 2004 Pasal 2 Ayat (4) dan (5).Kelima, Tempat hiburan yang diizinkan tetap buka selama Ramadhan adalah usaha akomodasi seperti hotel, motel, losmen, resort, penginapan remaja, hunian wisata, caravan, pondok wisata dan wisma. Lalu usaha penyediaan makan dan minum seperti restoran, pusat jajan, jasa boga dan bakeri.

  1. Menjual takjil (penganan) yang kadaluarsa.

Selama bulan Ramadhan, kerapkali ditemui pedangang yang secara curang menjual makanan yang telah lewat waktu layak konsumsi atau kadaluwarsa. Terkait dengan hal ini, dalam Pasal 8 ayat (1) huruf g UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, melarang pelaku usaha, khususnya teriat produksi dan perdagangan barang/jasa yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling bai katas barang tertentu.

(Baca juga: Jualan Takjil di Fasilitas Umum Tanpa Izin, Begini Hukumnya).

Tidak main-main, ancaman pidana bagi pelaku usaha yang melanggar larangan itu  berdasarkan Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen adalah pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak dua miliar rupiah. Selain ancaman pidana tersebut, terhadap pelaku usaha juga dapat dijatuhkan hukuman tambahan. Hukuman itu antara lain perampasan barang tertentu;pengumuman keputusan hakim;pembayaran ganti rugi; perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau pencabutan izin usaha.

  1. Mencuri di rumah kosong.

Meningkatnya kebutuhan menjelang lebaran merupakan hal yang lumrah terjadi. Harga bahan pokok yang meninggi, permintaan keluarga dan sanak family terhadap momen lebaran, adalah sedikit dari banyaknya motif meningkatnya kebutuhan selama Ramadhan berlangsung.

Ketidakmampuan menghadirkan semua kebutuhan tersebut dengan cara-cara yang benar, menjadi salah satu faktor seringkali ditemukannya kasus pencurian selama Ramadhan berlangsung. Tentu masyarakat tidak lupa dengan beberapa kasus pencurian rumah kosong yang terjadi selama Ramadhan. Hal ini bisa terjadi di malam hari saat penghuni rumah tengah melaksanakan tarawih di Masjid atau ketika rumah ditinggal mudik menjelang lebaran tiba.

Saat ini, terdapat empat ketentuan yang mengatur mengenai pencurian dalam KUHP. Keempat pasal itu adalah Pasal 362 tentang pencurian biasa, Pasal 363 tentang pencurian dengan pemberatan, Pasal 364 tentang pencurian ringan, dan Pasal 365 tentang pencurian dengan kekerasan.

Dosen hukum pidana Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Anugerah Rizki Akbari kepada hukumonline mengatakan ancaman terhadap tindak pidana pencurian terbilang berat. Meskipun dendanya masih ringan yakni hanya Rp900, namun ancaman hukuman mencapai lima tahun mendekam di balik jeruji. Karena itu, saat di tingkat penyidikan, pelaku dapat dilakukan penahanan.

Baca Juga : Fenomena Pencurian Rumah Kosong Saat Mudik, Begini Ancaman Hukumannya

Pasal 362 KUHP yang menyebutkan, “Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah".

Pasal  362 KUHP tersebut kerap digunakan penyidik kepolisian terhadap pelaku pencurian. Sedangkan Pasal 363 dapat dikenakan terhadap pelaku bila dipandang terjadi pemberatan. Misalnya, Pasal 363 ayat (1) yakni pencurian dilakukan pada malam hari. Kemudian pencurian dilakukan oleh dua orang, dan pencurian dengan menjebol anak kunci, misalnya.

Penerapan pasal yang digunakan dalam menjerat orang yang diduga melakukan tindak pidana pencurian tidak menjadi subjektivitas penyidik. Namun lebih pada perbuatan tindak pidana dilakukannya seperti apa dan bagaimana. “Misalnya pencuri handphone dan mencuri di rumah itu beda,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait