5 Masalah JKN-KIS Ini Jadi Perhatian Buruh
Berita

5 Masalah JKN-KIS Ini Jadi Perhatian Buruh

Termasuk tidak adanya subsidi bagi rumah sakit swasta yang melayani JKN.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Regulasi yang dicantumkan di salah satu rumah sakit di Jawa Barat. Foto: MYS
Regulasi yang dicantumkan di salah satu rumah sakit di Jawa Barat. Foto: MYS
Pemerintah menargetkan seluruh masyarakat Indonesia menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) paling lambat 1 Januari 2019. Untuk mencapai target tersebut tidak mudah, apalagi pelaksanaan JKN-KIS selama tiga tahun ini masih menghadapi beragam persoalan. Kalangan buruh menyoroti beberapa masalah yang terjadi dalam implementasi JKN-KIS, Presiden KSPI, Said Iqbal, mencatat sedikitnya ada 5 hal.

Pertama, besaran iuran yang ditetapkan pemerintah belum memenuhi harga keekonomian yang dibutuhkan program JKN-KIS. Akibatnya dana yang dikumpulkan BPJS Kesehatan dari iuran peserta tidak cukup membayar klaim kepada fasilitas kesehatan (faskes). Setiap tahun program JKN-KIS mengalami defisit sekitar Rp6,7 triliun. Ujungnya, pelayanan faskes kurang memuaskan peserta. RS swasta pun berpikir ulang menjadi mitra BPJS Kesehatan karena besaran tarif belum sesuai.

Kedua, pemerintah tidak memberikan subsidi kepada RS swasta yang melayani peserta JKN-KIS. Padahal, subsidi itu penting guna mendorong RS swasta memberikan pelayanan terbaik bagi peserta JKN-KIS. Selama ini subsidi hanya dinikmati RS milik pemerintah meliputi subsidi obat-obatan, SDM dan peralatan kesehatan.

(Baca juga: Iuran Jaminan Kesehatan Naik, Mutu Pelayanan Juga Harus Naik).

Ketiga, amanat Pasal 171 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan belum dilaksanakan pemerintah. Jika jumlah APBN tahun ini sekitar Rp2 ribu triliun, mengacu ketentuan tersebut anggaran kesehatan mestinya sekira Rp 100 triliun. Sebagian anggaran itu bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan program JKN-KIS dan segala penunjangnya.

Keempat, UU SJSN dan UU BPJS mengatur ada 9 prinsip penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) salah satunya gotong-royong. Sebagai bagian dari SJSN, pelaksanaan JKN-KIS harus menjalankan bermacam prinsip tersebut, sayangya selama ini belum berjalan sesuai harapan. Asas gotong-royong menurut Iqbal belum berjalan baik dalam program JKN-KIS, karena banyak peserta yang berkemampuan ekonomi tinggi dan berpenyakit berat memanfaatkan program JKN-KIS. Padahal biaya kesehatan yang dibutuhkan untuk penyakit berat itu sangat besar dan tingkat kepatuhan membayar iuran peserta mandiri sangat rendah.

(Baca juga: Defisit Belum Teratasi, BPJS Kesehatan Dapat Suntikan Dana Rp3,8 Triliun).

Kelima, pemerintah menargetkan seluruh penuduk Indonesia menjadi peserta JKN-KIS paling lambat 1 Januari 2019. Faktanya, masih ada 80 juta orang belum ikut program yang digulirkan sejak 1 Januari 2014 itu. Iqbal menyebut data itu dilansir dari keterangan direksi BPJS Kesehatan. Oleh karenanya dia khawatir persoalan yang menimpa masyarakat soal pelayanan kesehatan akan terus berulang karena masih banyak yang belum tercakup dalam program jaminan sosial.

Iqbal menghitung target pemerintah itu harus tercapai dalam tempo kurang dari dua tahun ke depan. Dia tidak yakin pemerintah mampu mencapai target tersebut. Untuk memenuhi target itu pemerintah harus berupaya lebih serius, misalnya menaikan anggaran kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan program JKN-KIS. Dengan begitu diharapkan pelayanan JKN-KIS akan lebih baik sehingga mendorong masyarakat mendaftarkan diri menjadi peserta.

Selain itu, pemerintah perlu menerbitkan kebijakan yang mewajibkan seluruh RS swasta untuk bermitra dengan BPJS Kesehatan. “RS swasta harus diwajibkan menjadi provider BPJS Kesehatan. Kalau RS swasta tidak mau menjalankan kebijakan itu pemerintah harus berani mencabut izinnya,” usul Iqbal dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (18/9).

Masalah dalam pelaksanaan JKN-KIS itu menurut Iqbal sangat dirasakan oleh kalangan buruh yang sudah menjadi peserta. Antrian yang sangat panjang bagi peserta JKN-KIS untuk mendapat pelayanan kesehatan di faskes membuat tingkat produktivitas buruh turun. Kemudian, buruh yang menjalani proses atau mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) status kepesertaannya menjadi tidak aktif sehingga tidak bisa mendapat pelayanan kesehatan.

Mengacu Pasal 21 UU SJSN, mestinya kepesertaan JKN-KIS itu tetap berlaku paling lama 6 bulan sejak peserta yang bersangkutan mengalami PHK. Belum terlaksananya ketentuan itu membuat buruh dan keluarganya tidak memperoleh haknya untuk mendapat pelayanan kesehatan sebagai peserta JKN-KIS aktif. “Banyak kasus dimana buruh dalam proses PHK sudah diputus status kepesertaannya. Padahal proses PHK itu masih berlangsung di pengadilan,” ujar Iqbal.

(Baca juga: Ada BUMN Belum Patuhi Aturan JKN, Begini Penjelasan Menteri Rini).

Direktur Eksekutif Jamkes Watch, Iswan Abdullah, mengatakan periode Agustus 2017 jumlah kasus peserta JKN-KIS yang diadvokasi organisasinya paling banyak mengenai ketersediaan tempat tidur untuk rawat inap yakni 37 persen. Kemudian, sebanyak 25 persen kasus soal pengenaan biaya oleh faskes kepada peserta. “Masalah ini salah satunya disebabkan oleh minimnya kesadaran masyarakat tentang hak peserta JKN-KIS,” urainya.
Tags:

Berita Terkait