5 Catatan Walhi Perpres 78/2023 Layak Dicabut
Terbaru

5 Catatan Walhi Perpres 78/2023 Layak Dicabut

Perpres 78/2023 dinilai mengabaikan hak rakyat atas tanah.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Kelima, Perpres 78/2023 meneguhkan karakter kontradiktif Presiden Jokowi. Bisa dilihat dari beberapa pernyataan Presiden Jokowi ingin menyelesaikan masalah konflik agraria melalui program Reforma Agraria. Tapi kebijakan yang baru terbit ini justru menghambat Reforma Agraria. Perpres 78/2023 bukan hanya jauh dari mandat TAP MPR No. IX Tahun 2001 yang memandatkan, pembaharuan agraria yang mencakup suatu proses yang berkesinambungan dalam penataan kembali, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria.

Terlebih lagi, Perpres ini justru menghambat tercapainya program Reforma Agraria. Contohnya, jika terdapat tanah dalam status kelola BUMN atau BUMD yang telah lama dikuasai dan dikelola kembali oleh masyarakat, dalam kasus ini seharusnya masyarakat bisa mendapatkan pengakuan dan perlindungan melalui program reforma agraria, dengan menetapkan tanah tersebut terlantar dan diberikan hak atas tanah kepada masyarakat. Namun dengan Perpres 78/2023 jo. Perpres 62/2018, dengan dalih pembangunan nasional, justru masyarakat yang mengelolanya bisa diusir dari tanah tersebut dengan santunan.

“Walhi mendesak Presiden untuk segera mencabut Perpres 78/2023 demi menghindari konflik sosial dan ekologis skala besar di berbagai tempat di Indonesia,” tegas Satrio.

Selain itu Satrio menyoroti ketentuan Perpres yang memberi kewenangan kepada badan yang memiliki kewenangan pengusahaan pada Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas bisa menjadi legitimasi. Misalnya pada konflik agraria seperti di Pulau Rempang, di mana Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) akan dengan mudah mempercepat pengusiran masyarakat Rempang menggunakan beleid ini.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA, Dewi Kartika, mencatat kegagalan reforma agraria di masa pemerintahan Presiden Jokowi dapat dilihat dari makin luasnya konsesi dan pengadaan tanah untuk investasi dan badan usaha besar. Dia memberikan contoh 2 periode pemerintahan Jokowi perkebunan sawit semakin luas sampai 6,05 juta hektar.

Mengacu data Kementerian Pertanian menunjukkan tahun 2014 luas kebun sawit 10,75 juta dan meningkat jadi 16,38 juta hektar tahun 2022. Serupa di sektor tambang dan hutan seluas 3,1 juta hektar yang beroperasi secara legal justru dilegalkan. Kegagalan reforma agraria pemerintahan Jokowi menurut Dewi juga bisa dibuktikan dari meningkatnya konflik agraria. Periode 2015-2022 KPA mencatat sedikitnya terjadi 2.710 letusan konflik agraria di indonesia.

“Letusan konflik tersebut disertai kasus kekerasan dan kriminalisasi yang mengakibatkan 69 orang tewas, 38 ditembak, 842 dianiaya dan 1.615 orang dikriminalisasi sampai vonis karena mempertahankan tanah dan sumber kehidupan,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait