5 Catatan KontraS Terhadap RUU Polri
Utama

5 Catatan KontraS Terhadap RUU Polri

Mulai dari perluasan kewenangan, penyadapan, tidak memperkuat lembaga pengawasan, sampai bertambahnya usia pensiun yang dinilai berpotensi menambah masalah baru.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Aparat Kepolisian RI tengah melakukan tugas pengamanan. Foto Ilustrasi: RES
Aparat Kepolisian RI tengah melakukan tugas pengamanan. Foto Ilustrasi: RES

Berbagai Rancangan Undang-Undang (RUU) di DPR menuai sorotan kalangan masyarakat sipil. Salah satu yang jadi polemik yakni RUU Perubahan UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, menilai secara umum draft RUU Polri tidak menjawab masalah yang selama ini ada di institusi Polri. Justru banyak ketentuan dalam RUU yang berpotensi menambah masalah baru.

“Berdasarkan draft yang kami terima, RUU Kepolisian memuat sejumlah pasal yang memperluas kewenangan Kepolisian serta membuka ruang bagi perpanjangan batas usia pensiun bagi anggota Polri,” kata Dimas saat dikonfirmasi, Senin (27/5/2024).

Baca Juga:

Sama seperti RUU lain yang dikritik publik, Dimas melanjutkan proses perumusan dan pembahasan RUU Polri minim partisipasi publik secara bermakna, dan substansinya bermasalah. Dimas mencatat sedikitnya 5 hal yang penting dicermati dalam RUU Polri. Pertama, memperluas kewenangan Polri untuk juga melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap ruang siber yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan saling bertentangan dengan UU No. 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi.

Kedua, RUU Kepolisian juga menambahkan pasal mengenai perluasan kewenangan untuk melakukan penyadapan, dan perluasan kepada bidang Intelijen dan Keamanan (Intelkam) Polri. Perluasan itu memberi kewenangan Polri untuk melakukan penggalangan intelijen, yang dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan Badan Intelijen Negara dan pengaturannya kabur karena absen UU khusus terkait penyadapan.

Ketiga, RUU Kepolisian tidak memperkuat dan menegaskan posisi serta kewenangan lembaga pengawas atau oversight terhadap Polri, seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Keempat, terkait masih diaturnya Pam Swakarsa. Kelima, bertambahnya batas usia pensiun.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan revisi terhadap UU 2/2002 dilakukan untuk menyamakan batas usia pensiun dengan penegak hukum lainnya. "Supaya semua sama di antara para penegak hukum. Ini kami kemudian juga melakukan revisi (UU Polri)," kata Dasco sebagaimana dikutip Antaranews.

Dasco menyebut revisi itu dilakukan sebab tahun 2021 lalu DPR telah merevisi UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Sebagian substansi yang direvisi mengenai usia pensiun dan usia jabatan fungsional di korps adhyaksa itu.

Lantas ada permintaan untuk merevisi UU 2/2002 dan UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Tujuannya menyamakan dengan hasil revisi UU 16/2004. "Pada waktu itu juga sudah ada permintaan melakukan revisi Undang-Undang Polri dan TNI agar dapat sama dengan Undang-Undang Kejaksaan tentang masa pensiun dan juga untuk masa berakhirnya jabatan fungsional," ujar Dasco.

Rencana merevisi UU 2/2002 itu juga dikonfirmasi anggota Badan Legislasi DPR Guspardi Gaus. Proses revisi masuk dalam kajian yang dilakukan tim ahli Baleg DPR. Beberapa substansi yang diubah antara lain masa pensiun dan jabatan fungsional.

"Pertama memperpanjang masa pensiun. Kedua, adalah manakala ada kepolisian yang dia pindah dalam jabatan fungsional, di mana-mana kan di K/L, ASN kalau pangkatnya sudah IVA ke atas itu pensiunnya kan bisa diperpanjang kalau dia fungsional atau edukasi menjadi 65 tahun. Kalau dia eselon satu tidak fungsional pensiunnya 60 tahun," ujar dia.

Revisi UU TNI

Kalangan masyarakat sipil juga menyoroti rencana revisi UU 34/2004. Peneliti senior Imparsial, Al Araf mengatakan politik hukum pembentukan UU 34/2004 ditujukan sepenuhnya untuk membentuk TNI yang profesional. Oleh karenanya beleid itu memberi tugas kepada TNI untuk fokus sebagai alat pertahanan negara. Dia menilai UU 34/2004 dibentuk dalam konstruksi politik yang menginginkan Indonesia berada dalam sistem demokrasi.

“Sehingga militer sebagai instrumen pengguna kekerasan yang dikendalikan oleh pemerintahan sipil sepenuhnya ditujukan untuk menjadi profesional,” ujarnya.

Selaras itu tujuan UU 34/2004 ditujukan agar TNI tunduk pada peradilan umum dalam melakukan pidana umum. Tujuannya untuk memperkuat akuntabilitas dan transparansi serta prinsip equality before the law dalam penegakan hukum di Indonesia. Masalahnya, RUU TNI tidak ditujukan untuk membentuk militer Indonesia yang profesional.

Tapi sebaliknya menjadi tidak profesional dan membahayakan demokrasi. Militer tidak boleh diberi ruang untuk kembali dalam kehidupan sosial dan politik. Ketika pintu itu dibuka akan sulit untuk menutupnya. Revisi UU TNI yang dibahas DPR akan menjadi kotak pandora dan ruang baru bagi kembalinya militer dalam fungsi-fungsi di luar pertahanan.

“Hal itu akan membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum, dan HAM,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait