5 Catatan Koalisi Atas Vonis Bebas Kasus Paniai
Terbaru

5 Catatan Koalisi Atas Vonis Bebas Kasus Paniai

Putusan bebas ini menunjukkan buruknya kinerja penegakan hukum untuk penuntasan pelanggaran HAM berat.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti. Foto: ADY
Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti. Foto: ADY

Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Makassar yang memutus bebas terdakwa tunggal kasus pelanggaran HAM berat Paniai, Mayor Inf Purn. Isak Sattu, dinilai belum memberikan keadilan bagi korban dan penyintas serta keluarganya. Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koaisi Pemantau Paniai 2014 menilai vonis bebas tersebut menunjukkan buruknya kinerja penegakan hukum untuk penuntasan pelanggaran HAM berat.

Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, mencatat peristiwa Paniai terjadi 8 tahun lalu tepatnya 7-8 Desember 2014. Peristiwa itu secara jelas memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM berat dalam bentuk pembunuhan dan penganiayaan. Sayangnya belum mampu mengungkap pelakunya. Majelis hakim PN Makassar memvonis bebas terdakwa karena dakwaan mengenai pertanggungjawaban komando tidak terbukti.

Sampai saat ini belum ada pelaku yang dihukum dalam peristiwa yang menewaskan 4 orang dan menyebabkan sedikitnya 10 orang mengalami luka-luka itu. “Putusan ini sebagai bukti negara tak berkutik terhadap para penjahat HAM di Indonesia,” kata Fatia dikonfirmasi, Senin (12/12/2022).

Terkait putusan tersebut Fatia menyebut sedikitnya 5 catatan. Pertama, ketidakbecusan negara dalam kasus ini sudah terlihat dari gagalnya tim yang dibuat untuk menuntaskan perkara ini. Penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung sejak Desember 2021 penuh kejanggalan. Misalnya, minim melibatkan penyintas dan keluarga korban meski sejak momen awal peristiwa, mereka secara proaktif memberikan keterangan dan bukti untuk mendukung proses hukum.

Tercatat hanya ada dua penyintas yang keterangannya hadir di pengadilan, dan keduanya hanya berbentuk pembacaan. Pengadilan ini didominasi oleh narasi aparat, keterangan dari sisi para terduga pelaku.

Kedua, sejak awal koalisi mempertanyakan penyidikan yang dilakukan tim jaksa penuntut umum sehingga ujungnya hanya menetapkan 1 terdakwa. Terdakwa dikenakan pertanggungjawaban komando dalam Pasal 42 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tanpa ada proses hukum bersamaan dengan para pelaku lapangan.

Pemeriksaan saksi di persidangan terungkap sejumlah nama eksekutor yang membunuh dan menganiaya para korban. “Jika informasi berharga ini tidak ditindaklanjuti dengan penyidikan dan penuntutan, keberpihakan Kejaksaan Agung sangat patut kita permasalahkan,” ujar Fatia.

Ketiga, Fatia berpendapat ada ketidaksiapan pengadilan HAM atas peristiwa Paniai. Hal itu dapat dilihat dari persiapan dan penyelenggaraannya. Proses rekrutmen majelis hakim yang juga terdiri dari hakim Ad Hoc dinilai tidak berkualitas. Minimnya eksplorasi oleh majelis hakim dan kendala teknis selama persidangan juga menjadi catatan.

Keempat, Koalisi mendorong pemerintah untuk menyikapi fakta persidangan dan putusan pengadilan secara serius. Fatia menyebut peristiwa Paniai adalah pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Proses dan hasil yang buruk tentu dapat dianggap sebagai kualitas dan kapasitas pemerintahan hari ini. Sejarah akan merekam dengan jelas seluruh catatan akan prosesnya.

Kelima, koalisi mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi kinerja Kejaksaan Agung. Selain itu Presiden perlu memerintahkan Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti fakta persidangan dan menggelar upaya hukum lanjutan. Khususnya terhadap terdakwa yang diputus bebas atau dengan menyeret para pelaku lain baik di tataran langsung atau komando ke pengadilan.

“Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban serta Kejaksaan Agung harus melibatkan dan memulihkan para penyintas dan keluarga korban Peristiwa Paniai,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait