5 Catatan ICLD terhadap Penyusunan Perubahan UU Pembentukan Peraturan
Utama

5 Catatan ICLD terhadap Penyusunan Perubahan UU Pembentukan Peraturan

Cenderung hanya membenarkan cara penyusunan metode omnibus law dalam Bab Ketentuan Umum sebagai legitimasi pembuatan UU Cipta Kerja.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Dampak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.91/PUU-XVIII/2020 nampaknya mengharuskan DPR bergerak cepat untuk mengubah UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (RUU PPP) kedua kalinya. Materi besar yang diatur umumnya menyangkut metode omnibus law dalam proses pembentukan UU. Namun draf perubahan RUU menuai kritik dari Indonesian Center for Legislative Drafting (ICLD).

Executive Director ICLD Fitriani Ahlan Sjarif mengatakan Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan metode omnibus law tak dapat digunakan sepanjang belum diadopsi dalam UU PPP. Padahal, Majelis MK mengamanatkan dalam amar putusannya agar memperbaiki UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam kurun waktu 2 tahun, bukan memperbaiki UU PPP.

“Namun sayangnya, 8 Januari 2022 dapat kita ketahui semua menjadi awal mula dimulainya babak baru, rapat paripurna DPR menyetujui RUU Perubahan Kedua UU PPP untuk menjadi inisiatif DPR,” ujar Fitriani Ahlan Sjarif dalam keterangan tertulisnya, Jumat (11/2/2022).

Setidaknya ada lima catatan ICLD terhadap materi muatan draf RUU PPP. Pertama, RUU Perubahan Kedua UU PPP bermaksud membenarkan cara penyusunan metode omnibus law dalam Bab Ketentuan Umum. Namun, nampaknya pembentuk UU tak dapat membedakan pemahaman antara metode dengan teknik penyusunan peraturan yang jelas-jelas keduanya memiliki perbedaan.

Kedua, teknik penyusunan dengan metode omnibus law yang dijelaskan dalam lampiran draf RUU PPP berpotensi menghapus jejak UU sebelumnya. Dia mencontohkan perubahan UU Cipta Kerja mengubah sebagian UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.  “Lantas, apakah lebih tepat disebut perubahan UU Cipta Kerja atau perubahan kedua atas UU Ketenagakerjaan?” kata dia.

Ketiga, materi muatan partisipasi masyarakat seputar hak masyarakat, bukan malah membahas kewajiban pemegang kewenangan pembentuk peraturan perundang-undangan untuk membuka kesempatan masyarakat berpatisipasi. Padahal, hak masyarakat memberi masukan tidak akan terpenuhi bila pembentuk UU tak membuka ruang partisipasi publik.

Keempat, kesempatan melakukan perbaikan RUU setelah disetujui bersama DPR dan presiden menjustifikasi kesalahan pada proses pembentukan UU menjadi hal yang diperbolehkan. Langkah tersebut telah menciderai makna kedaulatan rakyat yang memberikan haknya kepada DPR untuk mewakili masyarakat menyetujui bersama dengan presiden atas suatu RUU.

Kelima, pengaturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik, hanya sebatas mengatur pengaturan dan pengakuan tanda tangan elektronik. Serta bentuk dokumen elektronik yang memiliki kekuatan sama kuatnya dengan dokumen hardcopy. Padahal, pengaturan mengenai sistem informasi seharusnya dapat mendukung proses harmonisasi peraturan perundangan.

Sebelumnya, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Agil Oktaryal berpandangan DPR maraton membahas revisi UU 12/2011 untuk kali keduanya. Sayangnya, proses yang dijalankan terkesan hanya untuk memberi dasar hukum penerapan metode omnibus law dalam pembentukan UU sebagai amanat Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil UU 11/2020.

Dari segi materi muatan dalam draf RUU Perubahan UU PPP, kata dia, ketentuan mengenai partisipasi publik mengalami sedikit perubahan. Apresiasi patut diberikan kepada penyusun Naskah Akademik yang sudah memasukkan pijakan teori partisipasi yang cukup komprehensif. Namun, kendali warga negara sebagai tujuan utama partisipasi yang ditulis pada Naskah Akademik tersebut belum tercermin dalam substansi RUU. 

PSHK menilai penambahan frasa “terdampak langsung” dalam Pasal 96 ayat (3) sebagai prasyarat yang melekat pada hak memberi masukan justru dapat memunculkan masalah baru. Pengaturan pasal tersebut terkesan menciptakan kriteria yang kabur dan berpotensi menyempitkan ruang partisipasi publik.

Sebab, keberadaan frasa tersebut bisa jadi bermaksud untuk mempermudah proses partisipasi agar lebih cepat. Tetapi, hal itu mengindikasikan bahwa RUU yang dibuat justru lebih cenderung untuk mengakomodasi kepentingan kemudahan teknis operasional DPR ketimbang kepentingan masyarakat secara luas.

Dia memandang revisi UU PPP seharusnya tidak sebatas formalitas menjalankan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Revisi UU PPP semestinya dilihat sebagai upaya pembenahan tata kelola regulasi secara komprehensif. Revisi seharusnya mengatur materi lain dalam mendukung tata kelola regulasi, seperti soal perencanaan, materi muatan, harmonisasi, monitoring dan evaluasi, hingga kelembagaan tata kelola peraturan perundang-undangan.

Proses “kejar tayang” saat ini menunjukkan bahwa DPR gagal melihat kesempatan merevisi UU PPP sebagai momentum untuk membenahi persoalan peraturan perundang-undangan yang lebih besar dan mengakar. Revisi UU PPP seharusnya ditujukan untuk melakukan reformasi regulasi secara menyeluruh, bukan proses tergesa-gesa sekedar memberikan justifikasi bagi metode omnibus law

“Tidak ada salahnya DPR dan Pemerintah mengatur kembali mereformulasi tujuan utama dalam merevisi UU PPP. Kegagalan mereka memaknai partisipasi bermakna (meaningful participation) dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja seharusnya tamparan keras bagi pembuat undang-undang untuk memperhatikan partisipasi dalam proses legislasi,” tutupnya.

Sebelumnya, rapat pariprna telah menyetujui perubahan kedua UU 12/2011 menjadi usul inisiatif DPR. Dari sembilan fraksi partai, hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang meminta agar pembahasan draf didalami terlebih dahulu di Badan Legislasi (Baleg). Pasalnya, pembahasan di Baleg baru dilakukan tiga kali pertemuan. Sejumlah catatan telah diberikan. Namun, mayoritas fraksi partai tetap menyetujui agar RUU PPP menjadi usul inisiatif DPR.

Tags:

Berita Terkait