Pimpinan pondok pesantren Al Zaytun, Panji Gumilang resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri dalam kasus dugaan penistaan atau penodaan agama. Proses penetapan tersangka itu menuai kritik dari kalangan organisasi masyarakat sipil karena dianggap tidak selaras dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan mencatat sedikitnya 5 hal terkait perkara ini. Pertama, sebagian ahli agama dan akademisi berpendapat pernyataan yang disampaikan Panji Gumilang merupakan bentuk kebebasan berpendapat yang lumrah dalam khazanah keagamaan.
“Tapi sebagaimana menjadi pola sepanjang pemerintahan Jokowi, langkah tersebut merupakan cara mudah untuk melayani selera dan sentimen politik kelompok konservatif terutama di tahun politik,” kata Halili dikonfirmasi, Kamis (3/8/2023).
Kedua, pemerintahan Jokowi telah meninggalkan warisan buruk bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan serta kebebasan berekspresi di Indonesia. Selama hukum penodaan agama masih digunakan, ke depan korban kriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal penodaan agama akan terus ada. Dengan memanipulasi otoritas agama, seseorang atau komunitas tertentu akan dengan mudah dikriminalisasi melalui proses yang diklaim pemerintah sebagai penegakan hukum.
Baca juga:
- Penetapan Tersangka Panji Gumilang Dinilai Bertentangan dengan Prinsip HAM
- Melihat Kasus Dugaan Penodaan Agama Panji Gumilang
- Resmi Tersangka, Ini Pasal Sangkaan yang Menjerat Panji Gumilang
Ketiga, semasa pemerintahan Jokowi terjadi lonjakan hebat kasus-kasus penodaan agama. Halili mencatat sampai akhir 2022 telah terjadi 187 kasus penodaan agama dengan rincian periode 1955-1966 sebanyak 4 kasus, periode 1967-1998 ada 4 kasus, periode 1999-2001 tidak ada kasus, periode 2002-2003 terdapat 3 kasus, periode 2004-2013 ada 54 kasus, dan periode 2014-2022 sebanyak 122 kasus.
Keempat, penetapan tersangka terhadap Panji Gumilang menurut Halili menambah deret panjang pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan serta pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi. Presiden Jokowi tidak bisa mengabaikan fakta tersebut, bukan saja karena kepolisian dan kejaksaan berada di bawah wewenangnya, tapi menguat gejala ketundukan aparatur pemerintahan pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara legal bukanlah peraturan perundang-undangan.