5 Catatan APINDO Soal Penundaan Pembahasan Klaster Ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja
Berita

5 Catatan APINDO Soal Penundaan Pembahasan Klaster Ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja

APINDO menilai PHK dalam jumlah besar saat ini semestinya memacu semua pihak membahas Omnibus Law termasuk klaster Ketenagakerjaan secara lebih intensif.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit

 

Kedua, UU Cipta Kerja hanya menarik untuk industri Padat Modal yang tidak banyak menyerap tenaga kerja sebagaimana terlihat dari data BKPM, di mana investasi naik namun penciptaan tenaga kerja justru turun dalam beberapa tahun terakhir. Di tahun 2018 setiap Rp1 triliun investasi hanya menyerap 1.277 tenaga kerja, ini jauh menurun dibanding tahun 2013 di mana setiap Rp1 triliun investasi menyerap 4.594 tenaga kerja walaupun total investasi meningkat 2.7 kali dari Rp398.3 triliun tahun 2013 menjadi Rp809.6 triliun pada tahun 2019.

 

“Dengan demikian dapat dilihat bahwa investasi yang masuk mayoritas industri padat modal yang memerlukan pekerja dengan skill yang tinggi, sehingga pencari kerja dengan skills rendah yang masih merupakan mayoritas pencari kerja akan sulit mendapatkan pekerjaan,” tulis rilis APINDO yang ditandatangani oleh Ketua Umum APINDO, Hariyadi Sukamdani, beserta pengurus APINDO lainnya.

 

Ketiga, Kondisi penyerapan tenaga kerja yang terus semakin menyusut mengakibatkan kesejahteraan dan kemampuan keuangan masyarakat semakin melemah. Hal ini dapat dilihat pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial 2019, yaitu penerima subsidi yakni pelanggan listrik 98.6 juta orang (37.2% dari jumlah penduduk 265 juta orang) serta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan 96.8 juta orang (36.5% dari jumlah penduduk).

 

“Bila hal ini dibiarkan terus maka Indonesia tidak akan menikmati bonus demografi namun malah akan menghadapi beban demografi, karena rakyatnya tidak memiliki kesempatan untuk bekerja di sektor formal,” tulis pernyataan APINDO. (Baca: Diusulkan Judul RUU Cipta Kerja Diubah, Begini Alasannya)

 

Keempat, Perusahaan Padat Karya saat ini dan mendatang akan terus disibukkan dengan dispute ketenagakerjaan antara Manajemen yang berhadapan dengan Pekerja dan Pemerintah dalam menegosiasikan upah yang melampaui kemampuannya untuk membayar sehingga usaha berlangsung tidak produktif. Demikian juga halnya dengan biaya pesangon yang tinggi mengakibatkan tingkat kepatuhan rendah yang menyebabkan dispute berkepanjangan yang menguras waktu dan perhatian untuk mengembangkan usaha.  

 

Kelima, UU Cipta Kerja tidak bisa memenuhi kebutuhan jenis jenis pekerjaan di masa depan yang memerlukan fleksibiltas waktu kerja berbasis mingguan, harian bahkan per-jam yang semakin meningkat seiring dengan meningkatnya permanent part-timer, di mana seorang pekerja bekerja di lebih dari satu badan usaha di waktu yang sama sebagaimana terjadi di era industri 4.0.

 

Gelombang PHK Pasca Pandemi

Sementara itu, Usaha Mikro dan Kecil bahkan Usaha Menengah (UMKM) akan terus beroperasi secara informal kerena tidak mampu memenuhi ketentuan formal peraturan perundang-undangan dalam hal pengupahan, jam kerja dan perlindungan/jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan, sehingga perlindungan kepada pekerja dalam hal jam kerja, upah dan kemampuan membayar iuran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan sangat lemah.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait