5 Alasan Keharusan Pembahasan RUU TNI Dihentikan
Utama

5 Alasan Keharusan Pembahasan RUU TNI Dihentikan

Antara lain waktu pembahasan RUU sangat sempit, hingga kewenangan penegakan hukum bagi TNI Angkatan Darat akan tumpang tindih dengan Polri.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
Anggota TNI saat berbaris. Foto: RES
Anggota TNI saat berbaris. Foto: RES

Beragam substansi yang diusulkan masuk dalam revisi UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapat sorotan tajam masyarakat sipil. Sebab ketentuan yang diusulkan itu intinya memukul mundur reformasi TNI yang berjalan sejak 1998. Permintaan penghentian pembahasan RUU TNI terus disuarakan kalangan masyarakat sipil.

Direktur Imparsial, Gufron Mabruri mencatat daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU TNI  yang disusun pemerintah memuat sejumlah masalah yang lebih parah ketimbang DIM versi badan legislatif (Baleg) DPR. Kedua DIM tersebut sama-sama membahayakan HAM dan merusak tata kelola negara demokrasi.

“Kami memandang DPR sebaiknya menghentikan segala bentuk pembahasan agenda revisi UU TNI, mengingat revisi UU TNI bukan hanya tidak mendesak, tetapi DPR juga tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan pembahasan,” kata Gufron  saat dikonfirmasi, Kamis (18/7/2024).

Setidaknya terdapat 5 alasan pembahasan revisi UU TNI yang bergulir saat ini harus dihentikan. Pertama, DPR sekarang masuk masa reses dan bekerja kembali pertengahan Agustus 2024. Waktu yang tersedia bagi DPR untuk membahas RUU sangat singkat sekitar 1 bulan dan kecil kemungkinan untuk menyelesaikan revisi UU 34/2004 secara optimal dan melibatkan partisipasi publik yang bermakna.

Baca juga:

Kedua, perluasan dan penambahan jenis operasi militer selain perang (OMSP) dari 14 menjadi 19 dalam usul perubahan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU 34/2004 menunjukan keinginan politik memperluas keterlibatan militer di luar sektor pertahanan negara. Beberapa penambahan itu tak ada kaitannya dengan kompetensi militer seperti penanggulangan narkotika, prekursor dan zat adiktif lainnya. Bahkan ada upaya mendukung ketahanan pangan dan pembangunan nasional.

Perluasan dan penambahan cakupan OMSP akan mendorong keterlibatan TNI yang semakin luas pada ranah sipil dan keamanan negeri, termasuk untuk mengamankan proyek-proyek pembangunan pemerintah. Tak sekedar itu, perluasan keterlibatan TNI di luar sektor pertahanan negara dengan dalih OMSP semakin dipermudah. Sebab pengaturannya hanya melalui Peraturan Pemerintah (PP) tak lagi berdasarkan keputusan politik negara termasuk otoritas DPR.

“Usulan tersebut berbahaya karena menempatkan pengerahan dan penggunaan pasukan TNI dalam konteks OMSP tidak bisa dikontrol dan diawasi oleh DPR,” ujar Gufron.

Ketiga, Gufron mengkritik keras naskah DIM pemerintah yang mengusulkan Pasal 8 mengatur Angkatan Darat bertugas menegakan hukum dan menjaga keamanan di wilayah darat sesuai ketentuan hukum nasional dan hukum internasional. Usulan itu bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan TAP MPR VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri. Ketentuan itu jelas mengatur peran TNI sebagai alat pertahanan negara.

“Apabila revisi UU TNI disahkan maka sudah pasti akan terjadi silang sengkarut dan overlapping tugas dan peran TNI dengan Polri,” urainya.

Gufron menegaskan tugas TNI bukan sebagai aparat penegak hukum, tapi disiapkan sebagai alat pertahanan negara yang profesional. Sehingga TNI dibekali dengan anggaran, persenjataan, dan pemenuhan alat utama sistem senjata (Alutsista) canggih dalam rangka pertahanan negara, bukan sebagai penegak hukum.

Larangan berbisnis perluasan jabatan sipil

Keempat, penghapusan larangan berbisnis bagi TNI. Hakikatnya militer dididik, dilatih dan dipersiapkan untuk perang di negara manapun. Tugas dan fungsi militer untuk menghadapi perang/pertahanan merupakan tugas yang mulia dan merupakan kebanggaan penuh bagi seorang prajurit.

Karena itu prajurit militer dipersiapkan untuk profesional sepenuhnya dalam bidangnya, bukan berbisnis. Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit yang akan berdampak pada disorientasi tugasnya dalam menjaga kedaulatan negara.

Larangan TNI tidak boleh berbisnis bukan tanpa alasan, Gufron mengingatkan kembali praktik bisnis TNI di era orde baru. Bisnis TNI yang berlangsung kala itu mengganggu dan mengacaukan profesionalisme militer. Mengancam demokrasi dan kebebasan sipil. “Ketika reformasi 1998 bergulir, militer dikembalikan ke fungsi aslinya untuk pertahanan negara,” tegas Gufron.

Masalah profesionalisme, TNI selama ini salah satunya terkait bisnis keamanan di perusahaan milik swasta dan negara termasuk pengamanan proyek pemerintah. Penghapusan pasal tersebut dapat melegalkan dugaan praktik bisnis keamanan yang selama ini terjadi, khususnya di sektor sumber daya alam. Pemerintah tidak boleh lepas dari tanggung jawab untuk menyejahterakan prajurit TNI. Hal itu menjadi kewajiban negara, bukan tanggung jawab prajurit secara individu.

“Pemerintah dan TNI harus fokus dalam menyejahterakan prajurit dan bukan malah mendorong prajurit berbisnis,” imbuhnya.

Kelima, perluasan jabatan sipil yang diampu perwira TNI aktif. Perubahan Pasal 47 ayat (2) UU 34/2004 yang diusulkan pemerintah berpotensi membuka ruang kembalinya Dwi fungsi ABRI seperti masa orde baru. Pada era orde baru dengan doktrin Dwi Fungsi, militer terlibat dalam politik praktis antara lain dengan menempati jabatan-jabatan sipil di kementerian, lembaga negara, DPR, kepala daerah dan lainnya.

Dalam negara demokrasi, fungsi dan tugas utama militer adalah sebagai alat pertahanan negara. Militer di didik, dilatih dan dipersiapkan untuk perang. Militer tidak di disiapkan untuk menduduki jabatan-jabatan sipil. Penempatan militer di luar fungsinya menurut Gufron, sebagai alat pertahanan negara bukan hanya salah, akan tetapi bakal memperlemah profesionalisme militer itu sendiri.

“Profesionalisme dibangun dengan cara meletakkan prajurit dalam fungsi aslinya sebagai alat pertahanan negara, bukan menempatkan dalam fungsi dan jabatan sipil lain yang bukan kompetensinya,” katanya.

Perluasan ruang bagi perwira aktif menempati jabatan sipil menurut Gufron sebagai langkah melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru. Dimana banyak anggota TNI aktif menduduki jabatan sipil seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan bahkan di Badan Usaha Milik Negara. Ombudsman RI mencatat sedikitnya 27 anggota TNI aktif menjabat di BUMN. Ada juga yang menduduki jabatan kepala daerah seperti di Kabupaten Seram Bagian Barat dan Penjabat Gubernur Provinsi Aceh.

Gufron mendesak pemerintah dan DPR segera menghentikan pembahasan RUU Perubahan UU No.34/2004. Pembahasan itu tidak urgen untuk saat ini, substansi RUU membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan pemajuan HAM. Pemerintah dan DPR juga perlu melakukan moratorium pembahasan berbagai RUU strategis yang memerlukan evaluasi terlebih dahulu secara mendalam dan partisipasi publik yang lebih luas, salah satunya adalah RUU TNI.

“Mengingat saat ini merupakan masa transisi DPR dan Pemerintah dari yang lama ke yang baru, hendaknya pembahasan berbagai RUU yang bersifat strategis tidak dilakukan,” usulnya.

Perkuat TNI

Berbeda, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Hadi Tjahjanto mengatakan RUU TNI yang nantinya menjadi UU bakal membantu TNI memperkuat pertahanan negara. Menurutnya UU  34/2004 sudah berusia 20 tahun berjalan. Karenanya dibutuhkan berbagai penyesuaian seiring dengan perkembangan dan kebutuhan zaman.

“Di antaranya ancaman-ancaman yang sekarang sudah nyata,” ujarnya sebagaimana dikutip dari laman Antara.


Menurut Hadi, saat ini TNI tidak hanya dihadapkan dengan potensi ancaman serangan fisik dari negara lain ataupun kelompok lain. Dalam realitanya diera perkembangan teknologi, TNI juga dihadapkan dengan potensi ancaman serangan siber, serangan secara biologis hingga beragam pengaruh negara luar yang mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial.

Hal ini terbaca dari fenomena peperangan nonfisik antar negara atau kelompok yang belakangan terjadi di dunia internasional. Oleh karena itu, menurut Hadi TNI perlu didukung dengan UU yang lebih relevan guna membantu kinerja dalam memperkuat pertahanan negara.

Saat ini, RUU TNI sedang dalam proses penyusunan daftar inventarisasi masalah yang dilakukan Kemenko Polhukam. Pada tahap ini, Kemenko Polhukam membuka kesempatan bagi seluruh masyarakat untuk memberikan masukan guna memperkuat RUU TNI.

Mantan Panglima TNI itu mengatakan, Kemenko Polhukam sudah menerima berbagai masukan dari berbagai pihak. Mulai dari tokoh masyarakat, TNI, akademisi hingga pengamat. Dia berharap masukan dari berbagai pihak ini dapat membuat RUU TNI sesuai dengan kebutuhan penguatan pertahanan negara.

Tags:

Berita Terkait