5 Alasan Kalangan Buruh Kembali Ajukan Uji Formil UU Cipta Kerja
Utama

5 Alasan Kalangan Buruh Kembali Ajukan Uji Formil UU Cipta Kerja

Antara lain materi muatan Perppu Cipta Kerja secara substansi sama dengan UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang sudah dinyatakan inkonstitusional oleh MK.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi. Foto: RES
Ilustrasi. Foto: RES

Berbagai kalangan masyarakat sipil terus menyuarakan penolakan terhadap UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja. Selain menggelar demonstrasi, kalangan buruh juga kembali mengajukan permohonan uji formil UU 6/2023 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Partai Buruh secara resmi telah mendaftarkan permohonan uji formil itu. Koordinator Kuasa Hukum Partai Buruh Said Salahudin, menjelaskan secara umum permohonan yang didaftarkan itu memuat argumentasi yang spesifik dan mendalam secara filosofis, teoritis, doktrin, dan konsep hukum.

Said menjelaskan permohonan uji formil sudah didaftarkan Partai Buruh secara daring bertepatan dengan hari buruh internasional 1 Mei 2023 lalu. Sebagai pemohon, Partai Buruh mengantongi tanda terima pendaftaran permohonan bernomor 44/PAN.ONLINE/2023.  “Momentum itu kami pilih untuk membangun persepsi dikalangan buruh bahwa May Day adalah hari perlawanan terhadap UU Cipta Kerja,” kata Said Salahudin usai mendaftarkan permohonan di gedung MK, Rabu (3/5/2023).

Baca juga:

Pria yang juga pengamat hukum tata negara itu menjelaskan, sedikitnya ada 5 alasan pihaknya mengajukan permohonan uji formil agar UU Cipta Kerja dibatalkan. Pertama, UU Cipta Kerja masih berstatus Perppu dan secara jelas ini bertentangan dengan Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 yang pada prinsipnya menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional. Sehingga hal ini dapat dikategorikan sebagai pembangkangan konstitusi (constitutional disobedience).

Kedua, aturan tentang cipta kerja yang dimuat dalam Perppu tidak memenuhi kondisi-kondisi serta unsur-unsur kegentingan memaksa yang sudah ditetapkan standarnya oleh MK melalui Putusan No.138/PUU-VII/2009. Materi muatan Perppu 2/2022 secara substansi sama dengan UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang sudah dinyatakan inkonstitusional oleh MK.

Said menilai tidak ada norma dalam Perppu 2/2022 yang ditujukan untuk mengatasi kekosongan hukum seperti yang selama ini diklaim pemerintah. Pemerintah menjadikan Perppu 2/2022 sebagai instrumen hukum untuk menegasikan atau menganulir Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020. Mengingat tidak ada norma dalam Perppu yang dimaksudkan untuk mengatasi kekosongan hukum, Perppu Cipta Kerja jelas tidak memenuhi unsur ‘kegentingan yang memaksa’ sebagaimana dimaksud dalam Putusan MK No.138/PUU-VII/2009.

Ketiga, pembentukan Perppu 2/2022 dan UU 11/2020 maupun UU 6/2023 tidak memenuhi syarat partisipasi masyarakat secara bermakna (Meaningful Participation). Said menjelaskan doktrin meaningful participation yang diperkenalkan oleh ahli yang diajukan pihaknya pada saat sebelumnya menjadi pemohon uji formil UU Cipta Kerja. Faktanya, prinsip partisipasi masyarakat yang bermakna ini tidak dipenuhi dalam pembentukan Perppu dan UU Cipta Kerja.

“Tokoh-tokoh buruh dari konfederasi-konfederasi terbesar di Indonesia tidak pernah dimintai pendapat. Kalau pun ada, masukan-masukan mereka diabaikan oleh pemerintah dan DPR,” ujarnya.

Keempat, UU Cipta Kerja terbukti ditetapkan diluar jadwal konstitusional atau ditetapkan melampaui batas waktu. Merujuk asal 22 ayat (2) UUD 1945 yang dipertegas dengan penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU No.13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kekuasaan DPR dalam mengesahkan sebuah Perppu menjadi UU ada batasnya. Dalam UUD 1945, pembatasan itu pada pokoknya menentukan penetapan Perppu menjadi UU hanya boleh dilakukan ‘dalam persidangan yang berikut’.

Said berpendapat agar klausul persidangan berikut dalam UUD 1945 tidak menimbulkan multi tafsir, maka UU 13/2022 menegaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘persidangan yang berikut’ adalah ‘masa sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan’. Dalam hal ini Perppu 2/2022 diundangkan 30 Desember 2022.

Dengan kata lain, jika DPR hendak memberikan persetujuan dan menetapkan Perppu itu menjadi UU, mereka harus lakukan hal tersebut di forum Rapat Paripurna masa sidang pertama yang jatuh pada tanggal 10 – 16 Januari 2023. Faktanya, penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi UU dilakukan DPR pada Rapat Paripurna 21 Maret 2023.

Kelima, tidak terpenuhinya syarat pembentukan Perppu dengan menggunakan metode omnibus law. Said berpendapat pasal 42A UU 13/2022 mengatur metode omnibus law terbatas hanya bisa digunakan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang disusun dalam keadaan normal seperti UU. Omnibus law tidak bisa dan tidak mungkin digunakan pada produk hukum yang bersifat darurat seperti Perppu.

Konstruksi hukum itu menurut Said disebabkan karena Pasal 42A 13/2022 sudah ‘mewanti-wanti’ bahwa kalau mau membuat produk hukum dengan menggunakan metode omnibus law, maka harus dipenuhi dulu tiga syarat. Syarat pertama, produk hukum itu terlebih dahulu harus disusun dalam sebuah rancangan peraturan perundang-undangan. Syarat kedua, rancangan peraturan perundang-undangan itu harus ditetapkan dalam sebuah dokumen perencanaan. Syarat ketiga, dokumen perencanaan itu harus dimasukan dalam program legislasi nasional (Prolegnas).

“Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebuah Perppu tidak mungkin dibentuk dengan metode omnibus law karena dia tidak mungkin mampu memenuhi syarat-syarat pembentukan produk hukum dengan metode omnibus law. Disinilah argumentasi bahwa Perpu Cipta Kerja cacat formil dan harus dinyatakan inkonstitusional menemukan korelasinya,” imbuh Said.

Sebagaimana diketahui, DPR menyetujui Perppu 2/2022 menjadi UU. Sayangnya, keputusan tersebut tidak secara bulat. Mayoritas fraksi partai memberikan persetujuan. Seperti Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Golkar, Gerindra, Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara dua fraksi partai  yang menolak adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai  Demokrat. Malahan,  anggota Fraksi PKS pun melakukan walk out dari ruang rapat paripurna.

“Selanjutnya, kami akan menanyakan kepada setiap fraksi apakkah rancangan UU tentang penetapan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja jadi UU dapat disetujui untuk disahkan menjadi UU?,” ujar Ketua DPR Puan Maharani saat memimpin rapat paripurna di Komplek Gedung DPR, Selasa (21/3/2023) lalu.

Tags:

Berita Terkait