5 Alasan Asosiasi Pengusaha ‘Gugat’ Permenaker Upah Minimum 2023
Utama

5 Alasan Asosiasi Pengusaha ‘Gugat’ Permenaker Upah Minimum 2023

10 asosiasi pengusaha yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA) meliputi APINDO, API, APRISINDO, APRINDO, ABADI, APSYFI, PHRI, HIPPINDO, GAPMMI, dan GAPKI.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Ketiga, sambil menunggu putusan MA, Prof Denny berharap Presiden Joko Widodo dan Menteri Ketenagakerjaan untuk menunda pelaksanaan Permenaker No.18 Tahun 2022. Diharapkan MA bisa segera cepat memutus perkara ini.

Keempat, meminta semua kepala daerah baik Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk tetap menggunakan PP No.36 Tahun 2021 dalam menetapkan upah minimum. Hal itu penting guna menghindari gugatan pembatalan penetapan upah minimum ke Pengadilan Tata Usaha Negara. “Karena Permenaker No.18 Tahun 2022 bertentangan dengan peraturan-peraturan yang lebih tinggi,” tegasnya.

Kelima, dalam permohonan uji materi ini diminta mengubah kebijakan upah minimum melalui Permenaker No.18 Tahun 2022 karena tak hanya bermasalah secara hukum, tapi juga menimbulkan masalah secara ekonomi dan keadilan. Sebab, kebijakan itu dirasa memberatkan dunia usaha, yang bisa berdampak pada hilangnya peluang kerja, dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

Sebelumnya, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bersama asosiasi pengusaha dan perusahaan anggota Kadin akan mengajukan gugatan uji materiil terhadap Permenaker No.18 Tahun 2022 ke Mahkamah Agung. Langkah itu ditempuh dalam rangka kepastian hukum. “Apapun hasilnya nanti pelaku usaha siap mematuhinya,” ujar Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid dalam keterangan tertulisnya usai rapat koordinasi dengan asosiasi pengusaha dan perusahaan anggota Kadin, Rabu (23/11/2022).

Ia mengatakan kalangan pelaku usaha menilai kebijakan itu harusnya dirumuskan tepat sasaran, komprehensif, dan sesuai koridor hukum yang berlaku agar dapat diimplementasikan demi menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Arsjad melihat ancaman resesi global yang datang lebih cepat dari yang diperkirakan, perlindungan hukum terhadap iklim usaha yang kondusif dan rasa keadilan perlu diutamakan. Tujuannya agar pelaku usaha bisa tetap bertahan memberikan nilai tambah dari mata rantai ekonomi yang dihasilkan.

Menurut Arsjad, pelaku usaha pada dasarnya sepakat kondisi ekonomi nasional akibat resesi ekonomi global perlu disikapi cermat. Salah satunya menjaga daya beli masyarakat yang tercermin dari kenaikan upah minimum. Di sisi lain, kemampuan pelaku usaha merespon kondisi ekonomi saat ini harus diperhatikan agar tidak memberatkan pelaku usaha dan mengganggu iklim usaha.

“Semangat yang ingin dikedepankan pelaku usaha, menjaga stabilitas investasi, kesejahteraan pekerja, dan keadilan bagi pengusaha, sehingga bagaimana memastikan kebijakan pemerintah tidak kontra produktif.”  

Wakil Ketua Umum Bidang Hukum dan HAM KADIN Dhaniswara K. Hardjono melanjutkan jika mengacu pada kondisi hukum saat ini, UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja secara sah dinyatakan masih berlaku dalam tenggang waktu 2 tahun atau sampai dilakukan perbaikan sebagaimana amar MK tentang uji formil UU Cipta Kerja. Selama UU No.11 Tahun 2020 masih dalam perbaikan, pemerintah tidak boleh menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU No.11 Tahun 2020.

Dhaniswara melihat Permenaker No.18 Tahun 2022 menggunakan PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai acuan. Padahal, PP No.36 Tahun 2021 merupakan peraturan turunan UU No.11 Tahun 2020. “Terbitnya Permenaker No.18 Tahun 2022 ini menimbulkan dualisme dan ketidakpastian hukum. Untuk itu diperlukan putusan pengadilan untuk menjawab ambiguitas ini,” katanya.

Tags:

Berita Terkait