4 Tantangan Penegakan Hukum Kasus TPPO
Terbaru

4 Tantangan Penegakan Hukum Kasus TPPO

Mulai dari proses penanganan laporan oleh kepolisian yang berlarut, putusan pengadilan yang belum memenuhi rasa keadilan korban, jaksa penuntut umum dinilai belum memperjuangkan restitusi bagi korban, dan Dirjen Imigrasi belum melakukan upaya serius memberantas TPPO.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Dari 11 putusan pengadilan kasus TPPO yang didampingi SBMI, tapi sampai saat ini belum ada restitusi yang berhasil diterima korban. Alhasil putusan pengadilan dalam kasus TPPO dinilai belum memenuhi rasa keadilan bagi korban. “Dari 11 putusan itu restitusi yang harusnya diterima korban lebih dari Rp4,2 milyar tapi sampai sekarang belum bisa diterima korban,” urai Dios.

Ketiga, restitusi terkait juga peran penyidik dan jaksa penuntut umum yang tidak serius memperjuangkan hak korban. Dalam berbagai kesempatan SBMI mengingatkan kepada aparat penegak hukum ketika menerima laporan kasus TPPO harus segera melakukan pemblokiran dan menyita aset pelaku untuk menjamin putusan pengadilan bisa dieksekusi terutama terkait restitusi. Ironisnya sampai sekarang belum ada aparat penegak hukum yang mau menggunakan kewenangan tersebut.

Menurut Dios jaksa sebagai aparat penegak hukum dalam menangani perkara TPPO berwenang menyita dan melelang harta kekayaan pelaku. Tapi kewenangan tersebut belum dilakukan secara optimal. Praktiknya jaksa hanya menerima pernyataan pelaku yang menyebut tidak memiliki harta kekayaan. Ujungnya pelaku tidak membayar restitusi dan lebih memilih diganti pidana penjara.

Persoalan restitusi terhadap korban TPPO itu juga diamini Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Melansir data LPSK tahun 2021, Dios menjelaskan jumlah restitusi untuk korban sebanyak Rp7,43 milyar dan dikabulkan hakim melalui putusan hanya Rp3,71 milyar dan yang dibayar kepada korban cuma Rp279 juta.

“Restitusi yang dianggap sebagai salah satu bentuk keadilan bagi korban belum terwujud,” paparnya.

Keempat, Dios melihat banyak pejabat dan pegawai Direktorat Jeneral Imigrasi di berbagai wilayah ditengarai terlibat kasus TPPO. Tapi lembaga itu dinilai belum serius untuk memberantas TPPO di institusinya. Padahal petugas imigrasi berwenang untuk mencegah dan memberantas TPPO salah satunya dengan melakukan wawancara khusus bagi warga negara Indonesia yang mengurus parpor untuk bekerja ke luar negeri.

“Hal ini dilupakan Dirjen Imigrasi seolah tidak mau serius merespon banyak aktor pelaku TPPO di institusi keimigrasian,” urainya.

Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), mencatat dalam 5 tahun terakhir presentase korban TPPO di Indonesia kebanyakan perempuan dan berusia dewasa. Eksploitasi yang dialami pekerja migran Indonesia 95 persen kerja paksa dan 5 persen eksploitasi seksual.

Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penempatan dan Pelindungan Kawasan Eropa dan Timur Tengah  Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Brigadir Jenderal (Brigjen) Pol. Dayan Victor Imanuel Blegur, mencatat periode 2020–2023 telah terjadi peningkatan drastis kasus TPPO yang melibatkan WNI dan Pekerja Migran Indonesia (PMI) di luar negeri. Dayan menyebut BP2MI sudah melaksanakan penyelamatan dan pencegahan PMI non-prosedural sebanyak 7.268 kasus, 714 di antaranya sudah dilimpahkan ke polisi dan 42 sudah di vonis.

“Penanganan PMI terkendala pada Tahun 2020 – 3 April 2023 berjumlah 91.353 orang, 90 persen merupakan korban kejahatan TPPO dan 80 persen korban adalah perempuan dan ibu-ibu,” imbuhnya.

Lebih lanjut Dayan menyampaikan bahwa terdapat berbagai hambatan yang dihadapi penyidik saat melakukan pemrosesan laporan kasus TPPO. Antara lain dalam hal menggali informasi dari pelapor dan pekerja migran yang menjadi korban TPPO ini kebanyakan adalah mereka yang berangkat secara non prosedural.

Tags:

Berita Terkait