4 Pasal Bermasalah dalam RKUHP bagi Penyandang Disabilitas
Terbaru

4 Pasal Bermasalah dalam RKUHP bagi Penyandang Disabilitas

Masih ada pasal dalam RKUHP yang bermasalah dan tidak mencerminkan perspektif disabilitas, khususnya posisi korban dan soal pertanggungjawaban pidana. Momentum RKUHP seharusnya dijadikan landasan untuk perbaikan hukum pidana yang menghormati hak penyandang disabilitas dan melindungi penyandang disabilitas dari ancaman kekerasan.

Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit
Acara diksusi daring bertema Urgensi Pelibatan Penyandang Disabilitas dalam Pembahasan RKUHP. Foto: WIL
Acara diksusi daring bertema Urgensi Pelibatan Penyandang Disabilitas dalam Pembahasan RKUHP. Foto: WIL

Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum (RKUHP) yang masih minim partisipasi dari penyandang disabilitas, nyatanya masih jauh dari dari konsep ideal partisipasi yang bermakna dalam suatu proses legislasi.

Pembahasan RKUHP yang minim partisipasi dari penyandang disabilitas, membuat organisasi kelompok penyandang disabilitas secara mandiri menyampaikan aspirasinya tanpa ada fasilitas dari pemerintah maupun DPR.

Koordinator Program dan Riset LBH Masyarakat, Albert Wirya, dalam kesempatan sesi diskusi pada Kamis (18/8) menyatakan penyandang disabilitas yang masih jauh dari masa ideal ikut serta dalam pembahasan RKUHP.

“Sebenarnya pembahasan RKUHP masih minim partisipasi penyandang disabilitas, bahkan masih jauh dari masa ideal ikut serta dalam konteks pembahasan RKUHP,” ujarnya.

Baca Juga:

Ia melanjutkan banyaknya masyarakat sipil khususnya penyandang disabilitas sebagai kelompok masyarakat yang melakukan advokasi terkait RKUHP dan melihat situasi pembahasan RKUHP yang tidak partisipatif.

“Masyarakat sipil kurang memberikan masukan terkait isu-isu selain empat belas isu yang sudah dibentuk Kemenkumham. Di balik empat belas pasal yang krusial, masih ada pasal-pasal lain yang berpotensi masih tidak berpihak pada penyandang disabilitas,” jelasnya.

Albert menyatakan beberapa pasal yang membutuhkan partisipasi penyandang disabilitas adalah seputar posisi korban, hukuman mati, pertanggungjawaban pidana, persoalan gelandangan dan lain-lain.

“Pasal-pasal ini ada di KUHP yang sekarang, kita melihat ada banyak KUHP yang sekarang dirancangan KUHP yang baru. Ini menjadi momentum perbaikan untuk memperbaiki hukum pidana di Indonesia dan perbaikan sistem pidana bagi penyandang disabilitas,” ungkapnya.

Albert menjelaskan ada 4 pasal bermasalah yang ada di dalam RKUHP penyandang disabilitas. Pertama yaitu dalam Pasal 26 terkait posisi korban tindak pidana.

Pasal tersebut berbunyi, dalam hal korban tindak pidana adapun berada di bawah pengampunan, yang berhak mengadu merupakan pengampunya, kecuali bagi korban tindak pidana aduan yang berada dalam pengampuan karena boros.

“Dilihat dari pasal ini, ada pelanggaran hak atas kepastian hukum, realitas pengampunan di Indonesia, dan pengampu berpotensi menjadi pelaku tindak pidana. Sebagai contoh, pada tahun 2018 yang lalu, sebanyak 21% pelaku tindak pidana terhadap orang dengan disabilitas psikososial atau ODP adalah keluarganya sendiri,” jelas Albert.

Pasal bermasalah selanjutnya yaitu Pasal 99 ayat (4) tentang hukuman mati. Pasal tersebut berbunyi, pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil, perempuan yang sedang menyusui  bayinya, atau orang yang sakit jiwa, ditunda pidana nya sampai perempuan tersebut melahirkan, perempuan tersebut tidak lagi menyusui, atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.

“Pasal ini mengindikasikan masih kuatnya perspektif medical model, ketidakpastian hukuman mati sebagai sumber stressor, dan layanan kesehatan jiwa di lapas,” lanjut Albert menjelaskan.

Kemudian, kesalahan pasal selanjutnya yaitu dalam Pasal 492 yang berpotensi diskriminasi terhadap tunawisma. Pasalnya berbunyi, setiap orang yang gelandangan di jalan atau ditempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori 1.

“Sementara itu melihat kenyataan di lapangan, banyak tunawisma yang teridentifikasi memiliki masalah kesehatan jiwa. Hasil observasi PJS dalam setiap 10 hari, Satpol PP bisa membawa 90 ODP. Hal ini bisa meningkatkan stigma keberbahayaan,” ucapnya.

Kemudian, pasal terakhir yang berpotensi bermasalah di kemudian hari adalah pasal mengenai pertanggungjawaban pidana yaitu pada Pasal 38 dan Pasal 39.

Pasal 38 berbunyi, setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, dapat dikurangi pidana dan atau dikenai tindakan.

Sementara itu, Pasal 39 berbunyi, setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental, yang dalam keadaan eksaserbasi akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual dengan derajat sedang atau berat, tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.

“Satu-satunya syarat orang dapat dikurangi jumlah pidana dan dialihkan ke tindakan, itu hanya berdasarkan status kedisabilitasannya.” Jelas Albert.

Ia berpendapat, bahwa ketika itu diberlakukan secara merata tanpa melihat latar belakang dari orang tersebut atau jenis tindakan yang dilakukan itu, bisa menyebabkan diskriminasi status disabilitas.

“Jika tidak berhati-hati penggunaannya, bisa melestarikan stigma bagi penyandang disabilitas, sehingga perlu penekanan pada kondisi pelakunya bukan dari status kedisabilitasannya,” tegas Albert.

Secara garis besar, masih ada pasal dalam RKUHP yang bermasalah dan tidak mencerminkan perspektif disabilitas, khususnya posisi korban dan soal pertanggungjawaban pidana. Momentum RKUHP seharusnya dijadikan landasan untuk perbaikan hukum pidana yang menghormati hak penyandang disabilitas dan melindungi penyandang disabilitas dari ancaman kekerasan.

“Oleh sebab itu, perlu partisipasi dari organisasi penyandang disabilitas dan penyandang disabilitas itu sendiri dalam pembentukan RKUHP dan pembahasan pertanggungjawaban pidananya,” tutup Albert.

Tags:

Berita Terkait