4 Kekeliruan Hukum dan Tata Kelola Perizinan Hulu Migas
Kolom

4 Kekeliruan Hukum dan Tata Kelola Perizinan Hulu Migas

Bila keempat kekeliruan yang menjadi akar masalah penghambat investasi sektor hulu migas ini tidak kunjung diperbaiki, tidak mustahil keluhan yang sama akan kembali ramai dalam 10 tahun ke depan hingga membuat banyak orang selalu mempertanyakan kepastian hukum di Indonesia.

Bacaan 5 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Belum lama ini banyak media memberitakan “kegusaran” Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Melalui unggahan Instagram pribadinya Luhut menulis: "Saya merasa bahwa proses perizinan dan tumpang tindih kewenangan antar Kementerian/Lembaga, seringkali menjadi hambatan. Kebijakan yang ada juga seringkali masih kurang memberi iklim investasi yang menarik bagi para investor di sektor ini," kata Luhut sebagaimana dikutip dari Instagram @luhut.pandjaitan, Selasa, 23 Juli 2024.

Menanggapi pernyataan ini saya cuma bisa tersenyum karena sudah lelah dan hampir putus asa karena lebih dari 10 tahun saya menyuarakan, mengusulkan, melakukan kajian mendalam perihal ini dan kemudian menyampaikan kepada Pemerintah. Alhasil, semuanya tetap nyaris tidak didengar. Sebenarnya “biang kerok”nya adalah karena terdapat 4 kekeliruan prinsip dalam Hukum  dan Tata Kelola Perizinan Hulu Migas di Indonesia. Bila keempat ini tidak segera dilakukan perubahan yang mendasar, maka sampai kapanpun problematika ruwetnya perizinan ini tidak bisa diurai/diselesaikan.  

Baca Juga:

Pertama, Kekeliruan dalam Memposisikan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Karena Disamakan Dengan Kegiatan Swasta. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 serta Pasal 4 dan Pasal 6 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), kegiatan usaha hulu migas adalah kegiatan Pemerintah yang dilaksanakan oleh Badan Pelaksana yang dalam hal ini SKK Migas dan bukan kegiatan swasta. Seyogyanya pihak swasta hanya menjadi kontraktor dari pemerintah dan bukan pemilik kegiatan usaha.  

Pertanyaan mendasar adalah mengapa kontraktor (disebut sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama/ KKKS) yang tugasnya hanya mengerjakan kegiatan usaha pemerintah sesuai dengan kontrak kerja sama harus mengurus izin-izin berkegiatan kepada instansi pemerintah? Mengapa tidak pemerintah sendiri yang mengurus keperluan perizinannya? Misalnya, Pemerintah sedang membangun IKN, apakah kontraktor-kontraktor IKN harus mengurus perizinan dasar, seperti tata ruang, lingkungan dan bangunan? Tentu saja tidak, Pemerintah (melalui lembaga yang ditunjuk: Otorita IKN) yang mengurus semua keperluan ini. Untuk kegiatan hulu migas harusnya SKK Migas yang mengurusnya.

Kedua, Kekeliruan dalam Menerapkan Instrumen Izin untuk Mengatur Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Mengacu pada Pasal 1 angka 19 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menyebutkan izin sebagai Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas Permohonan Warga Masyarakat. Kata kuncinya adalah “Permohonan Warga Negara”.

Pertanyaannya, apakah adanya kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi itu karena ada permohonan dari warga negara atau karena pemerintah yang menetapkan wilayah kerja dan kemudian melelangnya kepada kontraktor?  Bila pemerintah berinisiatif melaksanakan kegiatan usaha hulu migas, seharusnya tidak ada lagi praktik “permohonan izin” dan yang ada proses “penetapan”. Untuk itu, terkait perizinan dasar tata ruang, lingkungan, bangunan tidak tepat lagi menggunakan instrumen “Izin”, tetapi instrumen Hukum Administrasi bernama “Penetapan” yang prosedurnya berbeda dengan pengurusan izin. Sebab, subyeknya adalah “lembaga pemerintah” dengan “lembaga pemerintah”, bukan swasta kepada pemerintah.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait