4 Hal yang Membuat Pengaduan Konsumen Perumahan Marak
Berita

4 Hal yang Membuat Pengaduan Konsumen Perumahan Marak

Tren pengaduan konsumen perumahan meningkat tiap tahun. Pemerintah diminta melakukan perbaikan berbagai regulasi terkait, termasuk mereview perjanjian standar dalam pembelian rumah.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

Kedua, strategi pre project selling. Dengan strategi ini developer ataupun pengembang diperbolehkan memasarkan proyek perumahan meskipun fisik belum terbangun. Namun sayang, strategi pemasaran seperti ini kurang diawasi. (Baca Juga: Dimohonkan Pailit, Begini Penjelasan Hukum Status Hunian Sentul City)

“Strategi marketing seperti ini, di mana developer atau pengembang boleh memasarkan proyek perumahan sekalipun belum dibangun, namanya pre project selling. Dalam praktiknya, banyak pengembang yang menerapkan tidak sesuai aturan, izin belum beres sudah dijual ke konsumen padahal pembangungan rumah izin berlapis-lapis, tapi ketika dapat izin lokasi saja sudah berani memasarkan ke konsumen,” tambahnya.

Ketiga, lemahnya pengawasan dari regulator terutama pemerintah daerah, baik untuk jenis rumah subsidi maupun non subsidi. Ketika pengembang atau developer selesai mengurus persoalan perizinan, pemda tidak melakukan pengawasa secara detail hingga pasca pembangunan.

“Pengawasan pre market dan post market. Pre market lancar pengawasannya, post market tidak. Beberapa regulasi juga tidak fair misalnya terkait P3RS, tarif listrik curah, listrik dtentukan oleh pengembang dan konsumen tidak diajak bicara, belum pungutan-pungutan lain, kasus-kasus kriminalisasi konsumen, ada yang dipidanakan karena mengadukan kasus,” jelasnya.

Keempat, jebakan batman soal klausula baku. Persoalan klasula baku ini menjadi persoalan klasik yang tetap terus terjadi di Indonesia hingga saat ini. Di Belanda, lanjutnya, konsumen kelas menengah kewabah yang memiliki pemahaman rendah terkait isi kontrak diberikan pendampingan pengacara oleh negara.

“Di Belanda, konsumen dengan pemahanam rendah ditemani oleh pengacara, negara kita belum sampai ke level itu. Kalau konsumen menengah ke bawah tidak paham bagaimana membaca perjanjian,” tambah Tulus.

Terlepas dari empat persoalan tersebut, Tulus juga menilai bank tidak mendeteksi terkait pelanggaran konsumen yang mungkin pernah dilakukan oleh pengembang dan bank tidak cermat dalam memberikan kredit kepada konsumen. Kebanyakan perbankan hanya fokus pada investor, namun tidak detail terutama terkait pelanggaran konsumen.

“Jika pernah melakukan pelanggaran kepada konsumen, seharusnya tidak diberikan oleh KPR,” ungkapnya.

Berdasarkan persoalan-persoalan tersebut, Tulus memberikan beberapa masukan yakni perlu pengawasan ekstra terkait metode marketing pre project selling, konsumen diberikan kemudahan dan keberagaman dalam complaing handling, perlunya pendampingan konsumen saat berinteraksi dengan bank atau developer, dan melakukan review terhadap perjanjian standar di bidang perumahan.

“Persoalan ini tidak bisa dilihat secara statistik, tapi secara sisitemik baik dari sisi regulasi kebijakan dan juga persoalan-persoalan konsumen sekalipun. Berharap PUPR dan OJK bisa mereview perjanjian standar dalam perumahan sehingga tidak dijadikan alat untukk memperlemah konsumen,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait