4 Alasan Serikat Buruh Desak Permenaker 5/2023 Dicabut
Terbaru

4 Alasan Serikat Buruh Desak Permenaker 5/2023 Dicabut

Pemotongan upah buruh sektor padat karya yang berorientasi ekspor sebesar 25 persen berpotensi menimbulkan diskriminasi.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Demonstrasi buruh menolak Permenaker  5/2023 di Depan Gedung Kemnaker. Foto: Istimewa
Demonstrasi buruh menolak Permenaker 5/2023 di Depan Gedung Kemnaker. Foto: Istimewa

Terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No.5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan Pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global terus diprotes kalangan pekerja. Serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Partai Buruh mendesak Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah agar mencabut Permenaker 5/2023.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, mengatakan dalam demonstrasi yang dilakukan buruh di depan kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) di Jakarta, Selasa (21/03/2023) pada intinya menolak pemotongan upah sebagaimana diatur Permenaker 5/2023. Sedikitnya ada 4 alasan serikat buruh menolak beleid tersebut.

Pertama, Permenaker itu menunjukkan Menaker Ida Fauziyah melawan kebijakan Presiden Joko Widodo. Iqbal mengatakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang disahkan DPR menjadi UU mengatur pengusaha tidak boleh membayar upah di bawah upah minimum.

Iqbal mencatat, sikap Menteri yang melawan kebijakan Presiden sangat berbahaya dan ini bukan kali pertama. Tercatat beberapa waktu silam Menaker menerbitkan Permenaker No.2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Jaminan Hari Tua (JHT) yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah yang diteken Presiden.

“Menaker dan jajarannya benar-benar tidak memahami dunia ketenagakerjaan. Tidak mengerti hukum,” katanya, Selasa (21/03/2023).

Baca juga:

Kedua, pemotongan upah 25 persen menurunkan daya beli buruh. Iqbal mengingatkan turunnya daya beli buruh mengakibatkan konsumsi berkurang sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Bukan berarti kalangan buruh menutup mata atas kesulitan yang dialami industri padat karya, tapi kebijakan yang diambil tak boleh memotong upah buruh.

“Ini akhirnya pengusaha sulit buruh juga sulit. Kalau daya beli turun buruh tidak bisa membeli barang yang diproduksi, dampaknya justru lebih besar,” ujarnya.

Ketiga, berpotensi terjadi diskriminasi upah. Iqbal berpendapat dalam regulasi perburuhan termasuk Konvensi ILO No.133 menegaskan tidak boleh ada diskriminasi upah. Pemotongan upah ini bentuk diskriminasi terhadap buruh di perusahaan padat karya yang berorientasi ekspor.

Perusahaan padat karya dengan orientasi dalam negeri akan dirugikan karena harus tetap membayar upah buruh secara penuh, tapi perusahaan yang orientasi ekspor hanya membayar upah buruh 75 persen. Akibatnya produk yang dihasilkan perusahaan padat karya orientasi dalam negeri menjadi kurang laku karena turunnya daya beli.

Keempat, perusahaan padat karya sudah mendapat beragam insentif. Misalnya, industri padat karya orientasi ekspor akan tetap mendapat profit sekalipun pesanannya berkurang. Hal itu karena perusahaan padat karya orientasi ekspor sudah menghitung keuntungan setiap barang yang diproduksi. Selain itu perusahaan sudah menerima tax holiday, keringanan bunga bank, tax amnesty, dan berbagai kemudahan yang diberikan pemerintah.

Ketimbang memotong upah buruh, Iqbal mengusulkan pemerintah untuk memberi keringanan dalam bentuk insentif bagi perusahaan padat karya dan padat modal yang mengalami kesulitan. Terkait disahkannya Perppu 2/2022 menjadi UU, Iqbal mengaku kecewa. Sikap tersebut menunjukkan DPR tidak lagi mewakili aspirasi rakyat.

Pria yang juga Ketua Umum Partai Buruh itu menyerukan kepada masyarakat untuk tidak memilih partai politik yang setuju pengesahan Perppu 2/2022 menjadi UU pada pemilu ke depan. Kalangan buruh dan elemen masyarakat sipil lainnya akan menyiapkan mogok nasional stop produksi dalam waktu dekat untuk melakukan perlawanan terhadap pengesahan Perppu Cipta Kerja.

Dalam rapat paripurna DPR ke-19 masa sidang IV periode 2022-2023 Perppu No.2 Tahun 2022 disetujui menjadi UU. Rapat yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani, mengatakan sebelumnya dalam rapat kerja pengambilan keputusan tingkat I sebanyak 7 fraksi menerima hasil kerja panitia kerja (Panja) dan menyetujui pembahasan dilanjutkan pada rapat tingkat II agar Perppu disahkan menjadi UU. Sementara 2 fraksi menolak Perppu.

“Selanjutnya, kami akan menanyakan kepada setiap fraksi apakah rancangan UU tentang penetapan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja jadi UU dapat disetujui untuk disahkan menjadi UU?,” tanya Puan Maharani saat memimpin rapat paripurna di Komplek Gedung DPR, Selasa (21/3/2023).

Mayoritas fraksi partai memberikan persetujuan. Seperti Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Golkar, Gerindra, Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara dua fraksi partai  yang menolak adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai  Demokrat. Malahan,  anggota Fraksi PKS pun melakukan walk out dari ruang rapat paripurna.

Tags:

Berita Terkait