4 Alasan Pemerintah Menggabung UU Narkotika dan Psikotropika
Terbaru

4 Alasan Pemerintah Menggabung UU Narkotika dan Psikotropika

Menggunakan metode omnibus law. Praktiknya di berbagai negara tak lagi memisahkan aturan antara narkotika dan psikotropika.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Wamenkumham Edward Oemar Sharif Hiariej saat rapat kerja dengan Komisi III terkait RUU Narkotika di Gedung DPR, Senin (10/7/2023). Foto: Tangkapan layar youtube
Wamenkumham Edward Oemar Sharif Hiariej saat rapat kerja dengan Komisi III terkait RUU Narkotika di Gedung DPR, Senin (10/7/2023). Foto: Tangkapan layar youtube

Pembahasan revisi UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika di DPR bergulir dengan ide baru yang diusulkan pemerintah. Yakni menggabungkan UU 35/2009  dan UU No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika menjadi satu UU yang penyusunanya dengan metode omnibus law. Lantas apa alasan pemerintah menggabungkan kedua UU tersebut?.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mewakili pemerintah menjelaskan, alasan pemerintah menempuh langkah penggabungan dua UU menjadi satu. Menurutnya, penggabungan kedua UU itu akan menggunakan metode omnibus law, di mana buku I akan membahas soal Narkotika dan buku II tentang Psikotropika.

“Kami menggunakan metode omnibus law, buku 1 narkotika dan buku 2 psikotropika. Jadi tidak ada perbedaaan interpretasi,” ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi III di Komplek Gedung Parlemen, Senin (10/7/2023) kemarin.

Baca juga:

Dia menerangkan, penanganan terhadap kejahatan narkotika dan psiktropika terbilang unik, karena sifatnya pidana adminstratif tapi memenuhi kriteria sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). RUU Narkotika dan Psikotropika itu akan mengubah cara pandang semua pihak tentang narkotika dan psikotropika mengingat dalam UU 35/2009 dari 155 pasal sebanyak 63 pasal berkaitan dengan adminstrasi dan sisanya soal penegakan hukum.

Ke depan melalui revisi bakal berbalik, di mana rehabilitasi diutamakan selaras proses hukum yang berjalan. Perubahan paradigma RUU Narkotika dan Psikotropika diharapkan dapat mengatasi masalah over crowded di Rumah Tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Sebab 60 persen penghuni rutan dan lapas adalah narapidana kasus narkotika dimana 80 persen dari penghuni lapas kasus narkotika itu merupakan pengguna narkotika.

“Dalam RUU baru ini kita menekankan aspek kesehatan tanpa meninggalkan penegakan hukum,” ujarnya.

Guru Besar hukum pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Gajah Mada itu menjelaskan, sedikitnya 4 alasan menggabung dua UU tersebut menjadi satu. Pertama, aspek kesejarahan dimana badan kesehatan PBB yakni WHO menyebut psikotropika adalah obat yang mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan, dan pengalaman pengguna.

Kemudian kesimpulan dari penelitian Stephen Peroutka dan Bruce Eisner menjelaskan psikotropika digunakan untuk melenyapkan sifat ketergantungan terhadap jenis narkotika. Tapi baik psikotropika dan narkotika punya efek yang sama terahdap penggunanya yakni ketergantungan. Mengingat fungsi psikotropika untuk mengobati ketergantungan narkotika, maka pengaturan keduanya saling terkait.

Kedua, metode perbandingan di berbagai negara. Prof Eddy menyebut konvensi PBB tentang Psikotropika tahun 1971 diratifikasi oleh berbagai negara. Setelah diratifikasi negara tersebut mengadopsinya dalam hukum nasional. Setidaknya 19 negara mengatur narkotika dan psikotropika dalam satu UU yang sama. Misalnya Inggirs, Perancis, Jerman, Italia, Kanada, Jepang, Rusia, Australia, Brasil, Nigeria, India, Pakistan, Afrika Selatan, Argentina, Meksiko, Belanda, Swiss, ddan China.

“Tidak ada satu pun negara di dunia yang memisahkan keduanya (UU Narkotika dan Psikotropika,-red),” imbuhnya.

Ketiga, sejarah lahirnya UU 5/1997. Pria biasa disapa Eddy itu menjelaskan, periode 1994-1996 terjadi beberapa kasus seperti selebritas yang menggunakan ‘ecstasy’ atau amphetamine. Kemudian, tertangkapnya pilot pesawat Garuda Indonesia, Muhammad Said di bandar udara Schippol Amsterdam Belanda tahun 1996 karena membawa ‘ecstasy.’

Kala itu pemerintah Indonesia meminta Belanda untuk melakukan ekstradisi terhadap pilot tersebut tapi ditolak dan salah satu alasannya karena Indonesia belum memiliki UU yang mengatur narkotika. Alhasil pemerintah segera meratifikasi konvensi PBB tentang Psikotropika melalui UU No.8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971). Setahun kemudian pemerintah menerbitkan UU 5/1997 yang tujuannya mengurangi peredaran narkotika yang semakin masif.

Keempat, dalam UU 35/2009 psikotropika golongan I dan II telah dinyatakan sebagai narkotika golongan II. Akibatnya UU 5/1997 hanya mengatur psikotropika golongan III dan IV. Oleh karena itu dalam RUU perubahan UU No.35 Tahun 2009 ada juga new psychotropic substances. “Kami harap Komisi III DPR dapat menyetujui usul pemerintah untuk menggabung UU Psikotropika dan UU Narkotika,” usulnya.

Anggota Komisi III Arsul Sani merespon positif usul pemerintah  menggabungkan dua UU menjadi satu. Tapi Arsul mengingatkan pemerintah untuk mengantisipasi konsekuensi dari penggabungan tersebut antara lain dalam pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM). Melalui penggabungan ini apakah ikut juga mengubah kewenangan dan pengawasan secara kelembagaan misalnya selama ini narkotika ditangani  Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang menjadi garda terdepan dalam persoalan psikotropika.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menyampaikan masukan dari kalangan organisasi masyarakat sipil terkait revisi UU 35/ 2009. Antara lain penanganan yang dilakukan terhadap pengguna, bukan pengedar. Diusulkan pengguna narkotika tidak dikriminalisasi yang ujungnya pemidanaan tapi rehabilitasi. Selama ini tidak berjalan optimal karena terbukti lebih dari 58 persen penghuni lapas dan rutan adalah narapidana kasus narkotika.

“Singkatnya pasal 127 UU No.35 Tahun 2009 harus ditulis ulang untuk memberi ruang agar penegak hukum tidak melakukan diskriminasi dalam proses hukum,” urainya.

Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (P-PDIP) Arteria Dahlan, mengingatkan pemerintah untuk serius menangani persoalan narkotika dan psikotropika. Jangan sampai penggabungan kedua UU tersebut menyebabkan pembahasan revisi menjadi tertunda. Perlu juga dipertimbangkan dampak dari penggabungan tersebut berapa waktu yang dibutuhkan untuk pembahasannya, dampak dan metode penggabungan yang digunakan seperti apa.

“Jika keduanya digabung penting dipikirkan apa saja dampaknya,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait