3 Tantangan Indonesia Sebagai Pusat Logistik Maritim Internasional
Terbaru

3 Tantangan Indonesia Sebagai Pusat Logistik Maritim Internasional

Antara lain hukum yang digunakan masih peninggalan Belanda yakni KUHD atau Wetboek van Koophandel voor Indonesie, Staatsblad 1847:23.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Mengingat Singapura sempat berada dalam penguasaan Inggris, Kartika mencatat tahun 1993 Singapura memberlakukan UU Penerapan Hukum Inggris atau Application iff English Law Act (AELA). Sampai tahun 2020 terdapat 13 hukum komersial Inggris diberlakukan di singapura termasuk English Maritime Insurance Act 1906. Selain itu Singapura telah meratifikasi beberapa konvensi internasional seperti The Hague Visby Rules dan Convention on The Limitation of Liability for Martitime Claims 1976.

Tiga perbedaan penerapan hukum

Kartika mencatat sedikitnya ada 3 perbedaan penerapan hukum terkait logistik maritime antara Indonesia dan Singapura. Pertama, soal periode pertanggungjawaban. Mengacu Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), pengangkut harus menanggung segala kerusakan yang terjadi pada barang-barang dagaangan dan lainnya setelah barang itu mereka terima untuk diangkut. Artinya pihak pengangkut bertanggungjawab setelah barang diserahkan. Berbeda dengan Singapura yang menggunakan The Hague Visby Rules yang mengatur periode pertanggungjawaban dimulai ketika barang masuk kapal sampai barang keluar kapal.

Kedua, nominal yang diatur KUHD juga belum diperbarui sehingga tidak sesuai dengan kondisi saat ini misalnya pasal 470 KUHD yang mengatur batas pertanggungjawaban dalam perjanjian pengangkutan, jumlah yang ditetapkan tak boleh kurang dari Rp600. “Pasal lain dalam KUHD juga masih menggunakan mata uang lama, jadi ini menyulitkan ketika kita akan melakukan penghitungan (ganti rugi,-red),” ujarnya.

Ketiga, penyelesaian klaim dalam kasus pengangkutan barang jalur laut. Misalnya, kasus yang berkaitan dengan klaim tersebut di Indonesia diselesaikan melalui Pengadilan Negeri (PN). Mahkamah Pelayaran di Indonesia bukan lembaga yudikatif, tapi berada di bawah Menteri Perhubungan. Tugas Mahkamah pelayaran meneliti penyebab kecelakaan kapal dan menentukan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam penerapan standar profesi kepelautan yang dilakukan nahkoda dan/atau perwira kapal atas terjadinya kecelakaan kapal.

Sementara di Singapura penyelesaian perkara klaim pengangkutan barang jalur laut ditangani Pengadilan Tinggi yang di dalamnya ada Pengadilan Niaga Internasional (Singapores International Commerial Court). Majelis hakim dalam pengadilan tersebut terdiri dari hakim yang berasal dari Singapura dan negara lain. Para hakim wajib mengantongi sertifikasi khusus untuk menangani kasus kemaaritiman.

“Singapura sangat paham bagaimana memenuhi kebutuhan hukum komersial antara lain soal sistem peradilan yang sesuai dengan kebutuhan saat ini,” imbuhnya.

Sementara, Managing Partner Anggraeni and Partners, Setyawati Fitri Anggraeni, mengatakan moda transportasi laut menjadi tulang punggung perdagangan internasional. Hal itu bisa dilihat dari komoditas perdagangan internasional 90 persen diangkut menggunakan kapal laut.

Mengacu berbagai hal tersebut Setyawati mengatakan keselamatan maritim sangat penting untuk mendorong kepercayaan masyarakat internasional terhadap kapal laut berbendera Indonesia. “Kepercayaan terhadap armada laut nasional terkait dengan bagaimana mengangkut penumpang dan barang bisa selamat sampai tujuan,” paparnya.

Selain keselamatan dalam hal pelayaran, Setyawati juga mengatakan pelaku perdagangan internasional akan memilih pelabuhan yang kompetitif. Misalnya, untuk kawasan Asia pelabuhan internasional yang sering digunakan berada di Singapura. Untuk mendukung terwujudnya Indonesia sebagai poros maritim dunia, salah satu pilar penting adalah keselamatan pelayaran karena terkait dengan pengangkutan barang dan orang agar terlindungi dan berjalan lancar.

Tags:

Berita Terkait