3 Poin Diusulkan dalam Perumusan Aturan Kampanye di Media Sosial
Terbaru

3 Poin Diusulkan dalam Perumusan Aturan Kampanye di Media Sosial

Salah satunya platform media sosial yang kerap digunakan untuk kampanye politik perlu membuka informasi tentang siapa target kampanye. Tak hanya regulasi dalam mengatur kampanye pemilu secara komprehensif, tapi juga code of conduct.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Peneliti Perludem Nurul Amalia Salabi. Foto: Tangkapan layar youtube channel Perludem
Peneliti Perludem Nurul Amalia Salabi. Foto: Tangkapan layar youtube channel Perludem

Media sosial menjadi salah satu medium yang digunakan peserta pemilu untuk kampanye politik di era pesta demokrasi per lima tahunan. Namun demikian, ketiadaan aturan soal kampanye pemilu menggunakan media sosial secara komprehensif perlu didorong penyelenggara bergerak merumuskan dan menerbitkan aturan tersebut.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Nurul Amalia Salabi, mengatakan sekalipun media sosial kerap digunakan peserta pemilu seperti partai politik untuk berkampanye, tapi Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum mengatur kampanye politik di media sosial secara komprehensif. Misalnya, Peraturan KPU No.23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu, mengatur akun media sosial peserta pemilu paling banyak 10 untuk setiap jenis aplikasi. Padahal praktiknya peserta pemilu punya lebih dari 10 akun media sosial.

Amalia memberikan contoh penyelenggara pemilu Thailand membentuk code of conduct yang intinya mengatur komitmen partai politik dalam berkampanye. Antara lain tidak menyebarkan disinformasi, dan hasutan kebencian. Tak sekedar menandatangani code of conduct tersebut tapi juga dilakukan pengawasan ketat.

“Di Thailand ada laporan 2 mingguan sehingga terlihat mana peserta pemilu yang paling banyak disasar disinformasi dan siapa yang diuntungkan,” katanya dalam konferensi pers bertema Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kampanye Pemilu yang Informatif dan Edukatif, Senin (26/6/2023).

Baca juga:

Menurut Amalia, iklan politik melalui salah satu platform media sosial jumlahnya mencapai miliaran rupiah. Padahal saat ini belum masuk tahap kampanye sebagaimana telah dijadwalkan KPU akan berlangsung 28 November 2023-10 Februari 2024. Regulasi yang ada juga mengatur sanksi bagi peserta pemilu yang melakukan kampanye di luar jadwal kampanye.

Nah, dalam rangka mengatur kampanye pemilu secara komprehensif, menurut Amalia yang diperlukan tak hanya regulasi tapi juga code of conduct yang mengatur agar kampanye mengusung tema yang humanis dan inklusif. Karenanya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dapat menginisiasi untuk menyusun code of conduct kampanye peserta pemilu.

“Dengan mengajak kalangan masyarakat sipil,” usulnya.

Amalia mengusulkan aturan kampanye politik di media sosial sedikitnya harus memperhatikan 3 hal. Pertama, ada standar transparansi dan akuntabilitas. Misalnya, platform media sosial yang kerap digunakan untuk kampanye politik belum mau membuka informasi tentang siapa target kampanye. Platform media sosial hanya membuka nama pihak pemasang iklan dan biayanya.

“Media sosial harus membuat standar terkait informasi yang perlu dibuka kepada publik,” ujarnya.

Kedua, ketika ditemukan ada konten kampanye yang berbahaya atau ilegal, harus ada upaya untuk cegah agar tidak menjadi viral. Misalnya, konten yang berkaitan dengan Suku, Ras, dan Agama (SARA), lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT), dan menyerang kelompok minoritas. KPU perlu mengatur hal tersebut. Ketiga, mengatur akun resmi peserta pemilu dan jumlah akunnya sesuai dengan kebutuhan peserta kampanye yang bersangkutan.

Orginizing Committee Youth IGF Indonesia, Ellen Kusuma manambahkan, pengguna internet terbesar adalah usia muda. Pengalaman pemilu di Filipina salah satu kandidaat calon Presiden mampu mempengaruhi kalangan pengguna internet melalui kampanye di media sosial. Padahal rekam jejak calon tersebut punya persoalan. Oleh karena itu moderasi konten tak cukup hanya mengandalkan penyelenggara sistem elektronik (PSE).

“Perlu keterlibatan dan kolaborasi berbagai pihak di kalangan masyarakat sipil agar kalangan usia muda bisa terhindar dari hoaks. Media juga punya kewajiban untuk melakukan edukasi,” katanya.

Ellen mengingatkan bagi penyelenggara pemilu yang ingin melakukan moderasi konten di ranah daring, maka para petugasnya baik dari KPU dan  Bawaslu harus mendapat pelatihan dan peningkatan kapasitas. Dengan demikian tidak gagap dalam menangani persoalan yang berkaitan dengan moderasi konten di media sosial.

Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Adinda Tenriangke Muchtar mengusulkan ada regulasi yang spesifik, komprehensif, dan tegas mengatur kampanye politik peserta pemilu. Misallnya, perlu kesamaan persepsi antara penyelenggara dan peserta pemilu. Sebab di lapangan kerap ditemukan perbedaan defenisi antara sosialisasi dan kampanye pemilu.

“Perlu penegakan sanksi, terutama administratif oleh Bawaslu kepada peserta pemilu yang melakukan pelanggaran,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait