3 Peran Penting Partisipasi Publik dalam Proses Legislasi
Terbaru

3 Peran Penting Partisipasi Publik dalam Proses Legislasi

Sebagai perwujudan demokrasi substantif, mencegah legislasi bermasalah, dan meminimalkan dampak buruk.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Dosen STH Jentera Indonesia, Bivitri Susanti.Foto: Tangkapan layar zoom
Dosen STH Jentera Indonesia, Bivitri Susanti.Foto: Tangkapan layar zoom

Proses pembuatan regulasi baik UU dan peraturan di bawahnya perlu melibatkan partisipasi publik secara bermakna. Mandat partisipasi bermakna sebagaimana tertuang dalam putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 ditindaklanjuti dalam UU No.13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan secara umum proses legislasi yang tidak partisipatif berdampak buruk. Partisipasi masyarakat secara bermakna dalam proses legislasi sangat penting. Bivitri menjelaskan sedikitnya  ada 3 hal penting peran partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundangan.

Pertama, sebagai perwujudan demokrasi Pancasila dan deliberatif, bukan sekedar demokrasi perwakilan, tapi substantif. Kedua, mencegah legislasi bermasalah karena tidak menyasar akar masalah atau karena adanya kepentingan jangka pendek legislator. Ketiga, kebijakan yang terbit bisa berdampak buruk atau baik terhadap kelompok yang berbeda.

“Proses legislasi yang tidak partisipatif bisa memperbesar dampak buruk itu,” katanya dalam diskusi bertema Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan: Evaluasi dan Tantangan ke Depan di Gedung Parlemen, Senin (29/7/2024).

Baca juga:

Tanpa partisipasi, demokrasi menurut Bivitri hanya cangkang kosong atau demokrasi prosedural. Kalangan masyarakat sipil setidaknya sejak 2019 merasa frustasi karena masukan yang telah diberikan dalam banyak proses legislasi tidak mendapat respon yang baik. Sekalipun masukan itu tidak diterima, harusnya ada respons yang intinya menjelaskan kenapa masukan tidak diterima. Hal itu sebagai wujud dari partisipasi yang bermakna.

Persoalan lain yang membuat masyarakat sipil frustasi terhadap proses legislasi yakni waktu pembahasan sangat sempit. Padahal rancangan aturan yang dibahas bakal berdampak terhadap masyarakat. Persoalan ini tak boleh diabaikan sebab bisa berbahaya bagi demokrasi substantif, dan tak sekedar skeptis tapi apatis.

Akibatnya masyarakat seolah suaranya tidak didengar, prosedur demokrasi seperti pemilu dan pemilihan kepala daerah juga dijauhi karena ujungnya masyarakat merasa tak ada gunanya memilih. Tantangan yang dihadapi dalam partisipasi selama ini hanya bersifat prosedural, misalnya melalui seminar di beberapa tempat seperti kampus.

Ahli dan pakar yang ada di kampus belum tentu relevan dengan isu yang dibahas. Belum tentu pula memiliki pemahaman terhadap pengalaman seperti masyarakat hukum adat (MHA) atau kelompok masyarakat lain ketika membahas isu tertentu.

Transparansi proses pembahasan dan kemudahan publik mengakses dokumen rancangan peraturan atau UU yang dibahas juga masih menjadi persoalan. Tanpa dokumen tersebut bagaimana mungkin publik bisa memberi masukan yang terbaik. Begitu juga kecukupan waktu pembahasan yang tersedia sangat sempit.

Pengaturan partisipasi publik sebagaimana diatur Pasal 96 UU 13/2022 menurut peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) itu masih menyisakan masalah. Antara lain bentuk partisipasi belum sepenuhnya bersandar pada demokrasi dan HAM. Frasa ‘dapat’ dalam ketentuan itu berpotensi meniadakan partisipasi publik yang bermakna. Pihak yang dilibatkan belum sepenuhnya mengakomodasi prinsip dan dampak dari materi atau muatan.

“Parameter partisipasi bermakna masih minim,” ujarnya.

Bivitri yang konsern pada studi Hukum Tata Negara itu menyimpulkan partisipasi sering ditempatkan sebagai formalitas sehingga meninggalkan esensi partisipasi sebagai proses deliberatif dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Partisipasi itu harus dilihat sebagai alat, bukan tujuan. Transparansi proses pembahasan dan ketersediaan dokumen merupakan proses penting dalam mewujudkan partisipasi publik termasuk membeirkan waktu pembahasan yang cukup.

Pada kesempatan yang sama Kepala Badan Keahlian DPR, Inosentius Samsul berharap keputusan politik anggota legislatif dalam membahas UU berbasis teoritis dan empiris yang kuat. Badan Keahlian berperan untuk mewujudkan hal tersebut. Untuk membenahi kualitas rancangan UU perlu terjalin komunikasi yang baik dengan kementerian atau lembaga terkait.

“Agar pross pengambilan keputusan baik pemerintah dan DPR berbasis data yang cukup. Tagline kami menjembatani dunia akademik dan politik,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait