3 Peran Advokat dalam Penanganan TPKS
Terbaru

3 Peran Advokat dalam Penanganan TPKS

Peran advokat penting dalam penanganan TPKS sebab profesinya terhormat (officium nobile), menyelenggarakan jasa hukum, dan sebagai pendamping.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Siti Ismaya dalam diskusi panel 1 bertema Peran Advokat dalam Penanganan TPKS, Kamis (6/9/2024) kemarin. Foto: ADY
Peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Siti Ismaya dalam diskusi panel 1 bertema Peran Advokat dalam Penanganan TPKS, Kamis (6/9/2024) kemarin. Foto: ADY

Profesi advokat memiliki peran strategis dalam proses peradilan pidana. Antara lain menangani perkara yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual (TPKS). Terlebih data pengaduan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan sepanjang 2022 kekerasan seksual terhadap perempuan menunjukan angka yang cukup tinggi

Peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Siti Ismaya, menyebut situasi kekerasan seksual di Indonesia cukup memprihatinkan. Data pengaduan Komnas Perempuan menunjukan sepanjang 2022 kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling dominan mencapai 2.228 kasus (38,21 persen).

Kekerasan seksual di ranah publik tergolong tinggi yakni 1.127 kasus dan di ranah personal paling banyak kekerasan psikis sebanyak 1.494 kasus. Pengaduan kekerasan siber berbasis gender yang diterima Komnas Perempuan sebanyak 821 kasus dan didominasi kekerasan seksual dengan terduga pelaku paling banyak dilakukan mantan pacar (549 kasus) dan pacar (230 kasus). Perkara pencabulan dan perkosaan periode 2019-2021 yang berproses sampai pengadilan jumlahnya tak sedikit.

Siti mencatat ada 303 putusan dalam perkara pencabulan, di mana 76,7 persen korban dalam rentang usia 6-17 tahun dan 10,6 persen korban berusia 0-5 tahun saat mengalami tindak pidana. Kemudian 350 putusan perkara perkosaan dengan 78 persen korban berusia 6-17 tahun. Dalam putusan perkara pencabulan sebanyak 8,9 persen terdakwa berprofesi sebagai tenaga pendidik dan 7,3 persen terdakwa merupakan anggota keluarga.

Baca juga:

Dalam perkara perkosaan sebanyak 12,3 persen terdakwa adalah keluarga/wali dan 0,8 persen tenaga pendidik. UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menghadirkan sejumlah terobosan. Antara lain mengatur kualifikasi jenis TPKS, hukum acara pidana komprehensif dan mengedepankan hak korban. UU 12/2022 juga mengatur larangan penyelesaian perkara TPKS di luar proses peradilan kecuali pelakunya anak.

“Pemberian restitusi kepada korban. Jika pelaku kurang/tidak mampu membayar, negara memberikan kompensasi melalui dana bantuan korban,” kata Siti dalam diskusi panel 1 bertema Peran Advokat dalam Penanganan TPKS, Kamis (6/9/2024) kemarin.

Mengingat pentingnya peran advokat dan pendamping dalam penanganan TPKS, Siti mengatakan IJRS bekerjasama dengan The Asia Foundation menyelenggarakan kegiatan peningkatan kapasitas advokat dan/atau pendamping terkait UU TPKS. Tujuannya, meningkatkan kapasitas dan profesionalitas advokat, menyediakan dukungan dan pendidikan hukum berkelanjutan dan memaksimalkan implementasi UU TPKS yang ideal.

Pelatihan yang diselenggarakan di Jakarta dan Makassar itu melibatkan 5 organisasi advokat. Yakni Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Kongres Advokat Indonesia (KAI), Peradi Rumah Bersama Advokat (RBA), Peradi Suara Advokat Indonesia (SAI), dan Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi.

Peran advokat pada penanganan tindak pidana kekerasan seksual menurut Siti setidaknya mencakup 3 hal. Pertama, advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile), dalam menjalankan profesinya berada di bawah perlindungan hukum, peraturan perundang-undangan dan kode etik.

“Advokat memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian advokat (kode etik advokat),” paparnya.

Kedua, advokat memberikan jasa hukum seperti konsultasi, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Termasuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu sebagaimana diatur Pasal 22 UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Ketiga, Pasal 26 ayat (3) UU TPKS mengatur syarat pendamping korban. Yakni memiliki kompetensi dalam penanganan korban yang berperspektif HAM dan sensitivitas gender. Serta telah mengikuti pelatihan penanganan perkara TPKS. Dalam hal ini advokat sebelum menangani perkara TPKS harus meningkatkan kompetensi dalam penanganan korban TPKS dan berperspektif HAM.

“Pendampingan hukum merupakan hak setiap warga negara, termasuk bagi korban, saksi dan pelaku kekerasan seksual yang berhadapan dengan hukum,” urai Siti.

Boleh dan tidak dilakukan pendamping

Selain itu Siti memaparkan berbagai hal yang boleh dan tidak untuk dilakukan pendamping saksi dan korban TPKS. Sejumlah hal yang boleh dilakukan antara lain menanyakan kabar secara berkala dan memperhatikan traumatic transference, mengidentifikasi kebutuhan saksi/korban dan peluang pemenuhannya dan memperoleh informasi lengkap beserta alat bukti dan barang bukti.

Boleh juga pendamping menginformasikan perkembangan terbaru tentang advokasi kasus, menjaga kerahasiaan data pribadi klien dan berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memastikan seluruh syarat mengakses hak restitusi terpenuhi. Sejumlah hal yang tidak boleh dilakukan pendamping saksi dan korban TPKS antara lain memaksa korban/saksi untuk bercerita.

Bertanya hal yang tidak berkaitan langsung dengan TPKS, mengambil alih kuasa atas akun, membuat keputusan hukum/melakukan langkah tanpa berkonsultasi/persetujuan korban. Pendamping juga tidak boleh membuka identitas korban, menceritakan duduk perkara, dan atau membagikan informasi berkaitan dengan TPKS tanpa izin/sepengetahuan korban.

“Tidak boleh menerima pembayaran, hadiah dan/atau pemberian lainnya, pendamping tidak objektif,” urai Siti.

Pada kesempatan yang sama advokat Peradi SAI DPC Jakarta Utara, Maria, menjelaskan dirinya punya pengalaman membela terduga pelaku TPKS. Secara umum implementasi UU TPKS sudah berjalan, khususnya terkait hak-hak pelaku dan korban. Antar lembaga yang terkait saling berkoordinasi untuk proses pemulihan kepada korban.

Bagi pelaku, pendampingan yang dilakukan dalam tahap penyidikan biasanya advokat meyakinkan pelaku untuk memberikan keterangan secara benar. Apalagi jika pelaku dan korban merupakan anak dibawah umur, advokat harus menjalin komunikasi yang baik dengan berbagai pihak seperti jaksa dan hakim agar dalam tuntutan dan putusan tidak memberatkan pelaku.

Tags:

Berita Terkait