3 Organisasi Advokat Gelar Seminar Nasional Bahas RUU KUHP
Utama

3 Organisasi Advokat Gelar Seminar Nasional Bahas RUU KUHP

Sedikitnya ada 3 fokus isu yang dibahas yakni contempt of court; obstruction of justice; dan pidana yang berkaitan dengan jabatan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Narasumber dalam 'Seminar Nasional Organisasi Advokat Membahas Rancangan KUHP 2022: Mewujudkan KUHP Baru Yang Mampu Menciptakan Keadilan', Rabu (3/8/2022). Foto: ADY
Narasumber dalam 'Seminar Nasional Organisasi Advokat Membahas Rancangan KUHP 2022: Mewujudkan KUHP Baru Yang Mampu Menciptakan Keadilan', Rabu (3/8/2022). Foto: ADY

Advokat memiliki peran yang penting dalam sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, advokat berkepentingan untuk mengawal dan memberi masukan terhadap RUU KUHP. Sebagai salah satu upaya, Kongres Advokat Indonesia, DPN Peradi pimpinan Luhut MP Pangaribuan, dan Peradi (SAI) menggelar seminar nasional guna memberi masukan terhadap RUU KUHP.

Seminar itu fokus membahas sedikitnya pada 3 isu utama yakni Contempt of court; obstruction of justice; dan pidana yang berkaitan dengan jabatan. Ketua Umum DPN Peradi (RBA), Luhut MP Pangaribuan mengutip Pasal 280 RUU KUHP terkait contempt of court dimana ketentuan itu antara lain ancaman pidana dengan denda paling banyak kategori II bagi setiap orang yang bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan, padahal telah diperingatkan oleh hakim atau menyerang integritas hakim dalam sidang pengadilan.

Ancaman itu juga berlaku bagi setiap orang yang tanpa izin pengadilan merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasi proses persidangan. Luhut menilai aturan contempt of court dalam RUU KUHP hanya fokus pada hakim. Padahal ketentuan itu masuk dalam bab Kejahatan Terhadap Peradilan, dimana peradilan tidak hanya terkait oleh hakim, tapi juga profesi penegak hukum lainnya termasuk advokat.

“Jadi sikap tidak hormat itu jangan hanya berlaku untuk hakim, tapi juga jaksa dan advokat,” kata Luhut dalam “Seminar Nasional Organisasi Advokat Membahas Rancangan KUHP 2022: Mewujudkan KUHP Baru Yang Mampu Menciptakan Keadilan”, Rabu (3/8/2022).

Baca Juga:

Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia, D Susanti R, menyoroti 3 pasal RUU KUHP yang menyoal obstruction of justice (pidana menghalang-halangi proses peradilan) yakni Pasal 282-284. Pasal 282 RUU KUHP mengancam pidana penjara 5 tahun atau denda paling banyak kategori V antara lain bagi setiap orang yang mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung proses peradilan.

“Catatan kami perbuatan yang dilarang dalam Pasal 282 huruf a RUU KUHP yakni mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung dan tidak langusng proses peradilan ini tidak jelas dan tidak ketat, sehingga rentan kriminalisasi,” urai Susanti.

Menurut Susanti, frasa “mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung proses peradilan,” definisinya tidak jelas. Aturan tersebut rentan disalahgunakan oleh penegak hukum. Untuk ketentuan tersebut diusulkan untuk diubah menjadi frasa “merusak, mengubah, menghancurkan, atau menghilangkan barang bukti atau alat bukti dari suatu tindakan pidana atau berkas-berkas dari tindak pidana atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan pejabat yang berwenang setelah tindak pidana terjadi.”

Sementara itu, Sekjen Peradi (SAI), Patra M Zein, mencatat setidaknya ada 5 pasal RUU KUHP yang rentan merugikan proses pembelaan advokat terhadap kliennya. Meliputi Pasal 533, 534, 539, 540, dan penambahan pasal terkait melakukan perampasan terhadap kemerdekaan orang dalam RUU KUHP.

Pasal 533 RUU KUHP mengatur pejabat yang dalam perkara pidana memaksa seseorang untuk mengaku atau memberi keterangan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. “Dalam praktiknya itu (memang) dipaksa untuk memberi keterangan yang jawabannya sudah ada di pikiran penyidik,” ujarnya.

Untuk Pasal 533 RUU KUHP ini, Patra merekomendasikan untuk diubah menjadi “pejabat yang dalam perkara pidana memaksa seseorang untuk mengaku atau memberi keterangan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau dengan perbuatan buruk lainnya baik terhadap orang tersebut atau orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”

“Apabila perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kematian diancam pidana penjara paling lama 12 tahun,” usul Patra.

Ancaman tersebut juga berlaku bagi pejabat yang mengetahui dilakukannya atau telah dilakukannya perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (1) oleh bawahannya atau orang di bawah pengawasannya. Tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Tags:

Berita Terkait