3 Organ PBB Ini yang Berwenang Selesaikan Konflik Israel-Palestina
Utama

3 Organ PBB Ini yang Berwenang Selesaikan Konflik Israel-Palestina

Dewan Keamanan (DK), Majelis Umum, dan Sekretariat PBB. Tapi, hak veto yang dipegang 5 anggota tetap DK PBB yakni AS, Inggris, Perancis, Rusia, dan China selama ini menjadi tantangan penyelesaian konflik Palestina-Israel.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Aksi solidaritas dan dukungan untuk Palestina di Jakarta. Foto: RES
Aksi solidaritas dan dukungan untuk Palestina di Jakarta. Foto: RES

Konflik Palestina-Israel seolah tak pernah berakhir. Setelah beberapa waktu lalu terjadi bentrokan di masjid Al-Aqsa dan serangan militer Israel ke beberapa tempat di jalur Gaza akhirnya kedua pihak sepakat melakukan gencatan senjata. Organisasi internasional terutama Perseriktan Bangsa Bangsa (PBB) berperan penting menyelesaikan konflik Palestina-Israel yang telah berkepanjangan ini.  

Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Imam Mulyana, mengatakan dari 6 organ PBB ada 3 yang berkaitan dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional yakni Dewan Keamanan (DK), Majelis Umum, dan Sekretariat PBB. DK PBB memegang tanggung jawab utama untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional.

Anggota DK PBB terdiri dari 15 negara dan 5 diantaranya merupakan anggota tetap yakni Amerika Serikat (AS), Inggris, Perancis, Rusia, dan China. DK PBB dapat bertindak atas nama semua anggota PBB, dan keputusannya mengikat kepada semua negara, dan dapat menyelesaikan sengketa dengan cara yang dipaksakan.

Dia mencatat sampai saat ini sedikitnya ada 239 resolusi DK PBB tentang penyelesaian sengketa Palestina. Ada juga resolusi yang terkait gencatan senjata, mengutuk, dan terkait pelanggaran hukum internasional. Tapi, tak sedikit dari resolusi yang diterbitkan itu kemudian diveto oleh AS. Menurut Imam, veto yang kerap digunakan Amerika Serikat menjadi tantangan dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel melalui PBB.

“Resolusi yang dikeluarkan DK PBB harus disetujui 5 negara anggota tetap. Jika salah satu negara itu menggunakan hak veto, maka resolusi atau keputusan tidak bisa diterbitkan. Resolusi adalah landasan hukum bagi PBB untuk melakukan tindakan,” kata Imam Mulyana dalam diskusi daring bertema “Palestine and International Law: Problems and Challenges”, Senin (24/5/2021). (Baca Juga: Konflik Israel-Palestina Kompleks, Multi Dimensi)

Dia melanjutkan jika DK PBB tidak mampu mengambil tindakan untuk meredam krisis terkait perdamaian dan keamanan internasional, organ PBB lain dapat melakukan tindakan yakni Majelis Umum PBB yang saat ini beranggotakan 193 negara. Majelis Umum telah menerbitkan 997 resolusi terkait Palestina-Israel. Salah satuya, resolusi No.181 (II) Tahun 1947 tentang pemisahan wilayah Israel, Yerusalem, dan Arab (Palestina).

Terakhir, jika DK dan Majelis Umum PBB tidak bisa melaksanakan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, Imam menjelaskan Pasal 99 Piagam PBB memberi kewenangan melalui Sekretariat PBB agar meminta perhatian kepada DK PBB untuk menggelar sidang. Mekanisme ini pernah dilakukan untuk mengatasi sengketa Kongo tahun 1960 dan Tunisia tahun 1961.

Sejarah panjang

Kepala Departemen Hukum Internasional Universitas Padjadjaran Bandung, Prof Atip Latipulhayat, mengatakan konflik Palestina-Israel memiliki sejarah panjang. Awalnya wilayah Palestina berada di bawah kekuasaan kekaisaran Turki. Tapi karena Turki menjadi pihak yang kalah dalam Perang Dunia I, sehingga melemah kendali Turki terhadap wilayah Palestina.

Kala itu, Inggris, Perancis, dan Turki terlibat konflik terkait pembagian wilayah di Timur Tengah, dan untuk wilayah Palestina Inggris menjanjikan untuk merdeka. Kemudian tahun 1917, ada perjanjian Balfour dimana Inggris berjanji mendirikan sebuah negara bagi kaum Yahudi di wilayah Palestina. Perjanjian itu disambut baik gerakan zionis Yahudi sampai akhirnya tahun 1948 Israel mendeklarasikan diri sebagai negara di atas wilayah Palestina.

Atip melihat deklarasi negara Israel itu mendapat dukungan, antara lain dari Amerika Serikat (AS) dan Inggris, sehingga Israel diakui entitasnya sebagai sebuah negara dan menjadi anggota PBB. Berbeda dengan Palestina kendati sudah memenuhi syarat sebagai sebuah negara, dan mendapat pengakuan lebih dari 100 negara, tapi tidak mudah untuk menjadi anggota PBB.

Hampir 2/3 negara menyetujui Palestina untuk masuk sebagai anggota PBB, tapi langkah tersebut selalu terganjal oleh veto yang dilakukan AS. Karena tidak mendapat rekomendasi DK PBB, maka Palestina disebut non-State Members di PBB. Kemudian tahun 2012, Palestina diakui sebagai non member observer state (negara pengamat non anggota).

”Hukum internasional harus adil kepada Palestina, dan harus diakui sebagai negara anggota PBB,” haraprnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Diajeng Christianti, mengatakan Mahkamah Internasional pernah menyebut Israel tidak dapat membuktikan alasan mereka dalam melakukan pemindahan paksa terhadap warga Palestina. Pengusiran paksa itu masuk dalam kategori pelanggaran dalam hukum perang karena setelah diusir, wilayah itu kemudian ditempati penduduk Israel. Israel juga pernah disebut melakukan kejahatan perang karena menyerang kapal bantuan kemanusiaan untuk Palestina.

Tapi tidak mudah untuk mengadili pelanggaran yang dilakukan Israel itu. Christi menyebut Palestina telah mengajukan permohonan kepada Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk mengusut dugaan pelanggaran yang dilakukan Israel terhadap Palestina terutama yang terjadi di wilayah Tepi Barat dan Gaza. Ada sejumlah tantangan yang akan dihadapi dalam proses investigasi yang dilakukan ICC, antara lain wilayah yang akan diinvestigasi itu berada di bawah penguasaan Israel.

“Seperti kasus di Kenya dimana ICC terkendala karena Presiden Kenya yang diduga sebagai pelaku menolak ICC masuk,” katanya.

Tags:

Berita Terkait