3 Model Pembiayaan dalam Pemindahan Ibukota Negara
Berita

3 Model Pembiayaan dalam Pemindahan Ibukota Negara

Saat ini pemerintah tengah menyusun regulasi untuk mendukung kebijakan pemindahan Ibukota yang akan direalisasi pada tahun 2024 mendatang.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Guru Besar FHUI Hikmahanto Juwana dalam seminar Nasional dengan Mengangkat tema “Privatisasi Aset Negara Dalam Perpindahan Ibukota” yang diadakan PP INI, Senin (14/10). Foto: RES
Guru Besar FHUI Hikmahanto Juwana dalam seminar Nasional dengan Mengangkat tema “Privatisasi Aset Negara Dalam Perpindahan Ibukota” yang diadakan PP INI, Senin (14/10). Foto: RES

Presiden Jokowi sudah memutuskan untuk memindahkan Ibukota Indonesia. Rencana pemindahan Ibukota ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Pada 26 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa ibu kota baru akan dibangun di wilayah administratif Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

 

Rencana ini masih mendapatkan pro dan kontra dari publik, terutama soal biaya. Memindahkan ibukota tentu akan menelah biaya yang tidak sedikit. Penggunaan dana dari APBN dinilai tidak mungkin untuk dilakukan karena akan mengganggu program-program lain dari pemerintah.

 

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Hikmahanto Juwana, menyebut bahwa persoalan biaya pemindahan Ibukota, pemerintah dapat menggandeng terutama dalam membangun berbagai infrastruktur mulai dari bangunan, jalan, jalan tol, drainase, bahkan sekolah dan fasilitas lain.

 

“Mengenai biaya, biaya dari mana, APBN? Apakah APBN mampu untuk membiayai pemindahan Ibukota? Sebenarnya pemerintah sudah mengajak swasta, tidak hanya swasta dalam negeri tapi juga luar negeri,” katanya dalam sebuah seminar yang diadakan oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI), Senin (14/10).

 

Hikmahanto menerangkan terdapat tiga model pembiayaan yang bisa dilakukan untuk membantu pemerintah dalam memindahkan Ibukota. Pertama, melalui Public Private Partnership (P3). Menurutnya, P3 bisa menjadi solusi bagi pembiayaan yang sangat mahal dari pemerintah.

 

P3 pada dasarnya mengajak swasta untuk melakukan pembangunan dengan uang dari pihak swasta yang kemungkinan pemerintah akan membayar biaya yang telah dikeluarkan dalam waktu relatif lama bisa mencapai 30 tahun.

 

Lalu dari mana dana untuk mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan oleh swasta? Salah satunya adalah lewat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), di mana pendapatan ini tidak tercampur dengan APBN tetapi untuk membayar investasi yang dilakukan swasta berikut bunga.

 

Kemudian pemerintah juga bisa menyewakan gedung yang berada di Jakarta terutama di lokasi prime area kepada pihak swasta. Bahkan bisa saja pihak swasta yang menyewa dalam jangka panjang diminta untuk membangun fasilitas dari kementerian yang memiliki gedung di Ibukota Negara yang baru.

 

Lalu, swasta diberi hak mengelola, termasuk mendapatkan uang sewa dari gedung suatu kementerian hingga jangka waktu tertentu yang pada masa habisnya jangka waktu tersebut, swasta mengalihkan kepada pemerintah (konsep build operate transfer).

 

“P3 sudah kerap dilakukan, misal dalam pembuatan jalan tol. Nah kaitannya adalah bagaimana swasta membangun gedung kementerian tetapi dengan catatan pemerintah seolah-olah akan mneyewa dari swasta selama 30 tahun. setelah 30 tahun gedung diserahkan ke pemerintah dan setelah 30 tahun pemerintah mendapatkan gedung dan mengelola,” imbuhnya.

 

Kedua, meminjam dana segar dari lembaga keuangan. Menurut Hikmahanto, selain model P3, pemerintah juga dapat meminjam dana segar dari lembaga keuangan nasional maupun internasional, seperti World Bank bahkan dari dana sahabat. Namun, Hikmahanto mengingatkan banyak hal yang harus diperhatikan dalam model pembiayaan ini.

 

Pemerintah harus mempertimbangkan apakah tidak akan ada ketergantungan kepada lemaga keuangan internasional atau pemerintah Negara lain, di mana pemerintah akan rentan untuk diintervensi kedaulatannya. Pembiayaan dari bank komersial juga akan melibatkan aset pemerintah atau negara yang harus dijaminkan, dan sensitivitas publik juga patut dipertimbangkan karena akan berpengaruh kepada legitimasi masyarakat.

 

“Yang harus dipastikan, tidak ada intervensi. Karena negara berkembang rentan diintervensi karena kebutuhan ekonomi. Kalau tidak hati-hati dan tidak dijaga, bisa terjadi intervensi karena ketergantungan ekonomi,” tambah Hikmahanto.

 

Model ketiga adalah dengan menerbitkan obligasi. Pemerintah dapat menerbitkan obligasi atau surat utang negara untuk membiayai pemindahan Ibukota. Namun yang perlu diperhatikan adalah sumber dana untuk pengembalian utang pokok dan bunga, di mana bisa jadi berasal dari APBN. Tentu pengembalian dana bisa ditentukan dalam jangka waktu yang panjang.

 

Yang penting, bagaimana perspektif hukum perdata jika dilihat dari tiga model pembiayaan tersebut? (Baca: Pindah Ibukota, Aspek Hukum Komprehensif Harus Dipersiapkan)

 

Hikmahanto memaparkan ketiga model pembiayaan itu membuat pemerintah menjadi subyek hukum perdata dan bukan subyek hukum publik, dan subyek hukum internasional jika pinjaman berasal dari lembaga keuangan internasional atau pemerintah negara lain. Pemerintah juga harus ekstra hati-hati dalam melihat syarat-syarat dan ketentuan dalam perjanjian dengan pihak ketiga, di mana pemerintah harus didampingi oleh ahli hukum kontra yang handal.

 

Lalu pemerintah harus merevisi Perpres No.16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa sehingga bisa mengakomodasi P3. Tentunya perlu melakukan pengkajian yang lebih mendalam bila tanah dan bangunan milik pemerintah hendak dijadikan jaminan.

 

Pada acara yang sama, Menteri Bappenas Bambang Brodjonegoro menjelaskan bahwa terdapat beberapa alasan di balik rencana pemindahan Ibukota yakni adanya kesenjangan KBI dan KTI dan menurunnya daya dukung air dan lahan.

 

Maka untuk merealisasikan rencana tersebut, dibutuhkan persiapan regulasi yang menjadi prioritas dan harus disiapkan sampai dengan akhir 2019. Saat ini terdapat tiga regulasi yang tengah dipersiapkan oleh pemerintah terkait pemindahan Ibukota, yakni penyusunan naskah akademik dan rancangan undang-undang tentang Ibukota Negara (IKN) dan secara simultan mengubah UU No.29 Tahun 2007 serta mencabut UU No.10 Tahun 1964.

 

Pemerintah juga tengah melakukan penyusunan rancangan peraturan presiden tentang badan otoritas pemindahan Ibukota, serta menyusun rancangan peraturan presiden tentang pembatasan pengalihan tanah pada lokasi pemindahan Ibukota negara.

 

“Naskah akademik dan RUU tentang pemindahan Ibukota ditargetkan selesai pada akhir bulan Desember 2019 untuk diserahkan kepada DPR baru, dan saat ini sudah disepakati bahwa proses penyusunan RUU dipersingkat, dimana PAK dan harmonisasi sekaligus dipimpin oleh Setneg dan Kemkumham. Untuk dua regulasi lagi ditargetkan selesai Oktober 2019 dan November 2019,” pungkasnya.

 

 

Tags:

Berita Terkait