3 Kejanggalan Putusan PTUN Jakarta Soal Pembatalan Pengangkatan Ketua MK Suhartoyo
Terbaru

3 Kejanggalan Putusan PTUN Jakarta Soal Pembatalan Pengangkatan Ketua MK Suhartoyo

Putusan PTUN Jakarta menyasar ranah etik dan moral yang seharusnya bukan tugas dan kewenangan PTUN dalam memeriksa perkara.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Pakar Hukum Tata negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari. Foto: Instagram Feri Amsari
Pakar Hukum Tata negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari. Foto: Instagram Feri Amsari

Putusan PTUN Jakarta bernomor 604/G/2023/PTUN.JKT yang membatalkan pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) menuai kritik dari kalangan masyarakat sipil. Majelis hakim yang memutus perkara yang dimohonkan hakim konstitusi Anwar Usman itu terdiri dari Oenoen Pratiwi sebagai Hakim Ketua dengan anggota Ganda Kurniawan dan Irvan Mawardi.

Setidaknya ada 7 poin penting yang diputus dalam pokok perkara. Pertama, mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian. Kedua, menyatakan batal Keputusan MK RI No:17 Tahun 2023, tanggal 9 November 2023 tentang Pengangkatan Dr. Suhartoyo, S.H, M.H. sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023-2028. Ketiga, mewajibkan tergugat untuk mencabut Keputusan MK RI No:17 Tahun 2023, tanggal 9 November 2023 tentang Pengangkatan Dr. Suhartoyo, S.H, M.H. sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023-2028.

Keempat, menyatakan mengabulkan permohonan penggugat untuk dipulihkan harkat dan martabatnya sebagai Hakim Konstitusi seperti semula. Kelima, menyatakan tidak menerima permohonan penggugat untuk dipulihkan/dikembalikan kedudukannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023-2028 seperti semula.

Baca juga:

Keenam, menyatakan tidak menerima permohonan penggugat agar menghukum tergugat untuk membayar uang paksa sebesar Rp. 100,- (seratus rupiah) perhari, apabila tergugat lalai dalam melaksanakan putusan ini, terhitung sejak Putusan ini berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Ketujuh, menghukum Tergugat dan Tergugat II Intervensi membayar biaya perkara sebesar Rp 369.000.

“Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada hari Kamis, tanggal 8 Agustus 2024,” begitu kutipan sebagian putusan.

Pakar Hukum Tata negara (HTN) Universitas Andalas, Feri Amsari menyebut putusan PTUN Jakarta itu janggal. Setidaknya ada 3 indikasi yang dapat dicermati. Pertama, majelis hakim PTUN Jakarta dalam putusan menyebut “mengabulkan permohonan penggugat untuk dipulihkan harkat dan martabatnya sebagai Hakim Konstitusi seperti semula”. Padahal itu masuk ranah etik dan moral yang menjadi kewenangan Majelis Kehormatan MK (MKMK).

Tags:

Berita Terkait