3 Guru Besar Koreksi Putusan Pemecatan Evi Novida dari Keanggotaan KPU
Berita

3 Guru Besar Koreksi Putusan Pemecatan Evi Novida dari Keanggotaan KPU

Eddy Hiariej menyebutkan Putusan DKPP tersebut tidak berdasarkan atas hukum bahkan cenderung abuse of power.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Evi Novida Ginting. Foto: DAN
Evi Novida Ginting. Foto: DAN

Tiga orang Guru Besar mengoreksi Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/ 2019. Hal ini dilakukan dalam eksaminasi putusan DKPP yang dilakukan beberapa waktu lalu. Ketiganya adalah, Guru Besar Hukum Pidana Fakuktas Hukum Universitas Gadjah Mada, Eddy Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Topo Santoso, dan Guru Besar Ilmu Politik Fisipol Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti. 

 

Ketiganya menilai ada yang salah dari Putusan DKPP Nomor Nomor 317-PKE-DKPP/X/ 2019. Seperti diketahui, putusan ini memecat anggota KPU, Evi Novida Ginting dan memberi teguran keras kepada seluruh anggota KPU yang lain. Saat ini, Evi tengah menggugat Keputusan Presiden Nomor 34/P Tahun 2020 yang telah memecat dirinya secara tidak hormat. Keppres ini merupakan tindak lanjut dari putusan DKPP yang telah disebut sebelumnya. 

 

Guru Besar Hukum Pidana FH UGM, Eddy Hiariej, mengatakan Putusan DKPP tersebut tidak berdasarkan atas hukum bahkan cenderung abuse of power. “Berdasarkan Kasus Posisi, Permasalahan Yuridis dan Analisi Yuridis di atas, kesimpulannya adalah bahwa Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/ 2019 tidak berdasarkan atas hukum bahkan cenderung abuse of power,” tulis Eddy dalam dokumen eksaminasi putusan DKPP yang diterima hukumonline.

 

Menurut Eddy, Pengadu dalam kasus Nomor 317-PKE-DKPP/X/ 2019 yang diputus oleh DKPP sebelumnya telah mencabut aduannya dalam sidang terbuka Majelis DKPP tanggal 13 November 2019. Untuk itu, seharunya sidang majelis DKPP tidak lagi dilanjutkan. 

 

Eddy mengungkapkan tiga alasan terkait hal ini. Pertama, dalam hukum acara berlaku postulat judex ne procedat ex officio yang berarti di mana tidak ada penggugat, di sana tidak ada hakim. Menurut Eddy, postulat tersebut mengandung makna bahwa hakim hanya bersifat pasif atas pangaduan atau gugatan. ”Dengan demikian, ketika Pengadu telah mencabut aduan, maka perkara harus dihentikan,” ungkapnya. (Baca: Alasan Evi Novida Gugat ke PTUN dan Pandangan Pakar)

 

Kedua, terkait dengan pembuktian. Pasal 31 ayat (4) Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019 menyatakan bahwa Persidangan DKPP diantaranya mendengarkan keterangan Pengadu. Eddy menilai landasan filosofis ketentuan ini merujuk pada postulat actori incumbit probatio. Artinya, siapa yang mendalilkan, dialah yang wajib membuktikan. 

 

Pembuktian oleh Pengadu adalah causa proxima diperiksanya aduan lebih lanjut. Ketika aduan telah dicabut, menurut Eddy, secara mutatis mutandis tidak ada lagi dalil yang seharusnya dibuktikan Pengadu, maka dengan sendirinya pemeriksaan perkara tidak lagi dilanjutkan.

 

Ketiga, masih berkaitan dengan pembuktian, dalam perkara (selain kasus pidana) mengenal hirarki alat bukti. Bila merujuk kepada Pasal 31 ayat (4) Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019, legal standing dan keterangan Pengadu diletakkan paling atas. Artinya, keterangan Pengadu menempati hirarki teratas untuk membuktikan dalil-dalil yang diungkapkan. 

 

“Dengan demikian, ketika Pengadu mencabut aduannya, maka pembuktian lebih lanjut terhadap perkara a quo tidak dapat lagi dilanjutkan,” terang Eddy. Ia menilai, dalam hukum acara selalu mengatur hal ikhwal pembuktian yang bersifat rigid dan tidak dapat disimpangi. Oleh sebab itu, hukum acara lebih menitikberatkan pada keadilan prosedural dan bukan keadilan substansial.

 

Selanjutnya Eddy menilai ketentuan Pasal 19 Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 yang menyatakan “tidak terikat” atas aduan atau laporan yang telah dicabut bersifat multi tafsir, “Dalam hal Pengaduan dan/atau Laporan yang telah dicatat dalam Berita Acara Verifikasi Meteriil dicabut oleh Pengadu dan/atau Pelapor, DKPP tidak terikat dengan pencabutan Pengaduan dan/atau Laporan”.

 

Untuk itu, menurut Eddy jika terjadi multi tafsir harusnya dikembalikan kepada adagium exeptio firmat regulam, dimana penafsiran tidak boleh merugikan pihak yang terdampak dari suatu putusan. Selain itu dalam beberapa kasus, DKPP selalu menghentikan perkara bilamana Pengadu telah mencabut aduannya. (Baca Juga: Respons Putusan Pemberhentian DKPP Evi Novida Siapkan Gugatan)

 

Selain itu, Eddy menilai Pasal 19 Peraturan DKPP ini bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019 yang mana Pengadu harus membuktikan dalil-dalil dalam aduannya. Karena itu, (bila merujuk postulat lex posteriori derogate legi priori yang berarti bahwa aturan yang baru mengesampingkan aturan yang terdahulu) jika Pengadu telah mencabut aduannya maka perkara tidak diteruskan karena berkaitan dengan pembuktian sebagaimana yang tercantum dalam aturan yang baru.

 

“Pengaduan selalu didasarkan pada kerugian yang timbul pada Pengadu. Jika Pengadu telah mencabut aduannya, maka kerugian tersebut dianggap tidak pernah telah ada. Oleh sebab itu pembuktian terkait kerugian tersebut tidak perlu lagi dilanjutkan. Dengan kata lain persidangan terhadap perkara a quo haruslah dihentikan,” ungkap Eddy. 

 

Putusan MK

Sementara Guru Besar Hukum Pidana FH UI, Topo Santoso menilai Evi bersama anggota KPU yang lain dalam kasus ini hanya menjalankan putusan MK. Setelah putusan MK terkait PHPU DPRD Kalimantan Barat dibacakan, tidak ada upaya lain bagi KPU untuk menafsir dan harus melaksanakan putusan MK. “Justru KPU akan kena sanksi pidana apabila tidak melaksanakan Putusan MK tersebut,” ujar Topo di kesempatan yang sama. 

 

Topo menilai dalam aspek tata kelola Pemilu yang demokratis, perkara-perkara yang terjadi dalam tahapan Pemilu, harus bisa memenuhi asas keadilan bagi Peserta Pemilu dan memulihkan ketidakadilan yang muncul.  Ia menyebutkan, hal ini merupakan tugas dari electoral justice system. Electoral justice system dalam hal ini ini bukan hanya tugas KPU, melainkan juga tugas MK. 

 

Menurut Topo, persoalan ini muncul dari putusan MK. Karena itu seharusnya menjadi permasalahan bersama yang didiskusikan serta diselesaikan oleh semua pihak dalam electoral justice system. Tidak adil apabila hanya KPU yang dibebani kewajiban untuk menafsirkan Putusan MK yang dianggap dapat multi tafsir tersebut.

 

“Jika suatu putusan (MK) hanya menambah suara salah seorang calon sesuai permohonan, tanpa mengurangi suara calon lain, maka hitung-hitungannya tidak akan balance dan hal inilah yang menjadi permasalahan,” terang Topo.

 

Sementara terkait sanksi yang dijatuhkan kepada Evi Novida, Topo menilai putusan KPU merupakan putusan lembaga yang bersifat kolektif kolegial. Bukan keputusan Evi seorang diri. Untuk itu tidak tepat jika dipandang hanya Evi yang berperan dan harus mendapatkan sanksi yang paling berat.

 

Topo menilai, putusan DKPP seolah telah menyalahkan langkah yang diambil KPU dalam menindaklanjuti Putusan MK. Sementara tindak lanjut terhadap Putusan MK tersebut merupakan langkah yang dilakukan lembaga, bukan individu. Untuk itu, seharusnya DKPP dalam memeriksa pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu, fokus pada perilaku individu dalam melaksanakan tahapan pemilu, bukan terhadap hal putusan KPU secara kelembagaan.

 

“Sehingga hal tersebut bukanlah kewenangan DKPP dan tidak dapat dijadikan sebagai objek dalam aduan DKPP,” urai Topo. Menurut Topo, dalam kasus ini sekaligus menunjukkan terdapat permasalahan electoral justice system di Indonesia. Keputusan lembaga yang diambiil secara kolektif kolegial tidak bisa dijadikan objek perkara dalam sidang Majelis DKPP.

 

Senada, Guru Besar Fisipol Unair, Ramlan Surbakti menilai, perselisihan hasil pemilihan umum anggota DPRD Kalimantan Barat sudah diselesaikan dengan Putusan MK. Karena putusan MK bersifat final, maka semua pihak harus menerima dan mematuhi Putusan MK. Karena itu KPU wajib melaksanakan Putusan MK. Keputusan KPU untuk melaksanakan Putusan MK bukan putusan salah seorang anggota KPU melainkan keputusan Rapat Pleno Anggota KPU. 

 

Keputusan untuk melaksanakan putusan MK tidak bisa digugat karena KPU melaksanakan kewajiban konstitusionalnya. Menurut Ramlan, langkah DKPP yang memproses gugatan yang sudah dicabut oleh penggugat, merupakan tindakan yang salah secara hukum. Alasannya, karena keputusan KPU yang digugat itu merupakan pelaksanaan kewajiban konstitusional KPU. 

 

“KPU merupakan pihak yang diperintahkan oleh MK untuk memperbaiki keputusannya tentang Hasil Pemilu,” ujar Ramlan.

 

Selain itu, putusan MK bersifat final sehigga semua pihak harus menerimanya. Pemohon juga harus menerima putusan MK. Ramlan menilai, tindakan Pemohon menggugat keputusan KPU kepada DKPP merupakan tindakan salah alamat. Bila DKPP menilai KPU yang salah mengambil keputusan, maka kesalahan itu harus ditimpakan kepada semua anggota KPU karena keputusan KPU diputuskan oleh Rapat Pleno KPU.

 

Tags:

Berita Terkait