3 Catatan PBHI Terhadap Perppu Cipta Kerja
Terbaru

3 Catatan PBHI Terhadap Perppu Cipta Kerja

Alasan kegentingan memaksa menerbitkan Perppu No.2 Tahun 2022 tidak memenuhi Pasal 22 ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945 dan putusan MK No.138/PUU-VII/2009; proses dan substansi Perppu melanggar HAM; kesewenang-wenangan (despotisme) dalam proses legislasi dan pemakzulan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Kalangan masyarakat sipil telah menyampaikan beragam kritik terhadap terbitnya Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Ketua PBHI, Julius Ibrani, mengatakan secara umum Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 menyatakan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Pertimbangan putusan MK antara lain menyebut caccat formil dalam pembentukan beleid tersebut terjadi karena absennya partisipasi masyarakat secara maksimal dan bermakna. MK memberi waktu 2 tahun untuk memperbaiki UU No.11 Tahun 2020.

Tapi Presiden Joko Widodo justru menerbitkan Perppu No.2 Tahun 2022. Julius mengatakan lembaganya mengantongi 3 catatan terhadap terbitnya Perppu Cipta Kerja tersebut. Pertama, keadaan darurat negara yang menjadi alasan terbitnya Perppu sangat mengada-ada. Pemerintah berdalih ada ancaman krisis ekonomi global dan kekosongan hukum, sehingga diperlukan peraturan untuk mempermudah arus investasi.

“Alasan kegentingan memaksa yang digunakan untuk menerbitkan Perppu No.2 Tahun 2022 tidak memenuhi ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945 dan putusan MK No.138/PUU-VII/2009,” kata Julius Ibrani saat dikonfirmasi, Senin (9/1/2022).

Baca Juga:

Kedua, proses dan substansi Perppu melanggar HAM. Julius menilai alasan kegentingan mendesak dalam Perppu No.2 Tahun 2022 menghilangkan sejumlah HAM dalam hal pemerintahan dan pembentukan peraturan perundang-undangan. Antara lain terjadi pelanggaran hak partisipasi rakyat dalam pemerintahan (Pasal 28 D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945; Pasal 43 ayat (2) dan pasal 44 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM) karena tidak dapat memberikan masukan dan usulan.

Tertutupnya ruang partisipasi masyarakat juga menyebabkan terlanggarnya hak kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, Pasal 23 ayat (2) No.39 Tahun 1999 tentang HAM). Serta hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang dijamin Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 14 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM).

Menurut Julius, tujuan utama “menyulap” ruang partisipasi bermakna adalah substansi Perppu No.2 Tahun 2022 sebagaimana UU No.11 Tahun 2020 yang memperburuk kebijakan HAM di banyak aspek. Misalnya, lingkungan hidup, hak-hak dasar buruh, hak perempuan, dan lainnya. Sehingga melanggar hak untuk memajukan diri dalam memperjuangkan hak secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya (Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 15 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM).

Tags:

Berita Terkait