3 Catatan Kontras Terhadap Seleksi Hakim Ad Hoc HAM
Terbaru

3 Catatan Kontras Terhadap Seleksi Hakim Ad Hoc HAM

Seperti, beberapa calon minim pengetahuan terkait pengadilan HAM, hingga memiliki rekam jejak buruk.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti. Foto: ADY
Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti. Foto: ADY

Komisi Yudisial telah meloloskan 9 calon hakim agung untuk melanjutkan proses selanjutnya di Komisi III DPR. Sembilan hakim yang lolos itu terdiri dari 6 hakim agung dan 3 hakim ad hoc HAM. Proses itu merupakan tindaklanjut dari seleksi wawancara terbuka yang sebelumnya dilakukan terhadap 17 calon hakim yakni 12 calon hakim agung dan 5 calon hakim ad hoc. Dalam seleksi wawancara terbuka itu membuka kesempatan bagi publik untuk berpartisipasi menyaksikan langsung dan mengajukan pertanyaan.

Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti, mencatat dari 5 calon hakim ad hoc HAM yang mengikuti tahap wawancara itu akan dipilih 3 calon hakim yang lolos. Ketiga calon hakim ad hoc HAM itu akan mengadili perkara kasasi kasus pelanggaran HAM berat Paniai yang terdakwanya divonis bebas pada Desember 2022 lalu.

Fatia menegaskan, organisasi yang dipimpinnya itu mengawal  proses seleksi tahap wawancara. Karenanya, Fatian memahami kualitas  dan kompetensi calon hakim dalam seleksi tersebut. Setidaknya hasil pantauannya, secara umum Kontras meragukan kualitas dan pemahaman para calon hakim ad hoc HAM.

Terkait proses seleksi hakim ad hoc HAM itu, Fatia mengantongi 3 catatan. Pertama, beberapa calon minim pengetahuan terkait pengadilan HAM. Ada calon yang belum memahami perbedaan mendasar antara pelanggaran HAM yang dirumuskan dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM dan pelanggaran HAM berat yang dirumuskan dalam UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Bahkan, ada calon yang tidak bisa membedakan mekanisme yudisial dan non-yudisial dalam penyelasaian Pelanggaran HAM Berat. Serta tidak memahami pertanggungjawaban komando yang diatur dalam Pasal 42 UU No.26/2000. “Minimnya pengetahuan tersebut tentu saja berbahaya bagi Pengadilan HAM mengingat para calon jika terpilih akan diberi tugas mengadili kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai pada tingkat kasasi,” katanya dikonfirmasi, Senin (06/02/2023).

Baca juga:

Kedua, Fatia menemukan adanya calon hakim ad hoc HAM yang masih mendukung penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial, hal yang sesungguhnya mengeyampingkan proses pencarian dan akses korban terhadap kebenaran (access to truth) dalam kasus pelanggaran HAM berat. Beberapa calon juga tidak mengetahui pengetahuan mendasar mengenai HAM seperti keberadaan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta tidak mengetahui kewajiban negara.

“Minimnya pengetahuan para calon hakim ad hoc HAM terhadap hal-hal mendasar tersebut menurut kami sangat tragis mengingat para calon merupakan praktisi hukum yang telah berkiprah cukup lama sebagai penegak hukum,” ujar Fatia.

Ketiga, Fatia mencatat ada calon hakim yang memiliki rekam jejak buruk. Hal itu dibuktikan dari fakta calon hakim tersebut melakukan rekayasa terhadap dokumen kelengkapan pendaftaran calon hakim. Calon hakim itu mengakui perbuatannya ketika dikonfirmasi KY. Persoalan itu memprihatinkan mengingat calon hakim tersebut pernah menjabat sebagai hakim ad hoc tipikor selama 10 tahun.

Soal proses rekrutmen calon hakim ad hoc HAM itu, Fatia memaklumi ada kebutuhan untuk menemukan calon hakim yang tepat guna mengadili kasus pelanggaran HAM. Tapi proses itu, tidak boleh serampangan karena kasus pelanggaran HAM berat tergolong rumit. Terpilihnya hakim ad hoc HAM yang kurang kompeten sudah menjadi sorotan masyarakat sipil terutama terkait penanganan kasus pelanggaran HAM berat Paniai tahun 2022. “Kami berharap hal yang sama tidak kembali diulangi oleh KY,” ujarnya.

Dia berharap hakim ad hoc yang terpilih dapat menjawab kebutuhan keadilan dan pegungkapan kebenaran yang selama ini gagal dilakukan oleh empat Pengadilan HAM yang telah berjalan (Tanjung Priok, Timor Timur, Abepura dan Paniai). Hakim ad hoc HAM seharusnya memiliki pemahaman mendalam terhadap mekanisme pengadilan HAM.

Khususnya mekanisme pembuktian yang digunakan serta pengetahuan mumpuni terhadap unsur-unsur atau elemen pelanggaran HAM berat, dan tidak hanya diloloskan karena ada kebutuhan untuk mengadili kasus tertentu semata. KontraS meminta KY tidak meluluskan calon hakim ad hoc HAM yang memiliki pengetahuan minim terhadap mekanisme pengadilan HAM serta HAM secara keseluruhan.

“KY diharapkan mempertimbangkan untuk kembali melakukan proses rekrutmen hakim ad hoc HAM untuk mencari yang kredibel,” pungkasnya.

Sebelumnya, Pansel KY telah merampungkan seluruh tahapan seleksi terhadap sejumlah calon hakim agung dan calon hakim ad hoc HAM. Setidak nama 6 CHA dan 3 calon hakim ad hoc HAM yang bakal ditempatkan di MA telah disodorkan KY ke DPR agar dapat ditindaklanjuti sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

Tags:

Berita Terkait