3 Aspek Ini Disorot untuk Wujudkan Hak Asasi Penyandang Disabilitas, Apa Saja?
Terbaru

3 Aspek Ini Disorot untuk Wujudkan Hak Asasi Penyandang Disabilitas, Apa Saja?

Ketiga aspek tersebut antara lain aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Perwakilan Komisi Nasional Disabilitas (KND), Alboin, di Ruang Sidang Pleno MK. Foto: Humas MK
Perwakilan Komisi Nasional Disabilitas (KND), Alboin, di Ruang Sidang Pleno MK. Foto: Humas MK

Sidang pengujian perkara No.93/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Yayasan Indonesian Mental Health Association (IMHA), Syaiful Anam, dan Nurhayati Ratna Saridewi, terus bergulir. Para pemohon mengajukan judicial review terhadap Pasal 433 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Selengkapnya, Pasal 433 KUHPerdata berbunyi, “Setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, bahkan ketika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya”.

“Tiap negara berupaya untuk mewujudkan hak asasi manusia (HAM) melalui serangkaian pranata yang dimiliki dengan memuat HAM dalam amanat konstitusi. Upaya pemenuhan HAM ini telah diatur sedemikian komprehensif dalam UUD 1945. Terdapat sejumlah pasal yang dengan tegas mengatur aneka ragam HAM, termasuk hak asasi penyandang disabilitas, diantaranya, Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945,” ujar Perwakilan Komisi Nasional Disabilitas (KND), Alboin, di Ruang Sidang Pleno MK seperti dikutip dari laman resmi MK, Senin (13/3/2023).

Ia menyampaikan adanya 3 aspek yang patut diperhatikan dalam mewujudkan hak asasi penyandang disabilitas. Pertama, aspek filosofis. Aspek ini mengacu pada pandangan luhur bahwa penyandang disabilitas merupakan bagian dari manusia yang oleh John Locke sebut memiliki kodrat. Maka dari itu, penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan haknya dan mampu bertindak sebagai subjek hukum.

Kedua, ialah aspek yuridis. Bila melihat amanat konstitusi Indonesia berkenaan dengan penghormatan terhadap HAM, aturan turunan dari UUD 1945 kiranya dapat mentranslasikan supaya setiap peraturan perundang-undangan senantiasa mengedepankan HAM sebagai semangat utama. Dalam hal ini, termasuk pula ketentuan mengenai penyandang disabilitas.

“Sejauh ini masih terdapat sejumlah regulasi yang masih bersifat disrkriminatif dan tidak menempatkan penyandang disabilitas sebagaimana mestinya, salah satunya Pasal 433 KUHPerdata,” ungkapnya.

Terakhir, aspek ketiga adalah aspek sosiologis. Pemenuhan dan perlindungan atas penyandang disabilitas selaras dengan prinsip sila kelima Pancasila yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Akan tetapi, upaya menciptakan keadilan bagi penyandang disabilitas dinilai masih memerlukan upaya seperti menghadirkan sarana dan prasarana memadai yang memberi kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk bisa meningkatkan kualitas hidupnya.

Ia menyoroti sejumlah pasal dalam KUHPerdata yang menegaskan tidak semua orang dianggap cakap hukum. Padahal, penyandang disabilitas mempunyai kedudukan sama tanpa terkecuali dalam hubungan keperdataan yang diatur. Belum lagi, Pasal 433 KUHPerdata yang dimaknai punya inkonsistensi internal. Di satu sisi, pasal tersebut memberi kriteria orang yang dikenakan pengampuan yakni orang yang tidak cakap menggunakan pikiran, namun di sisi lain juga menyiratkan bagi orang yang tidak mampu berpikir pada saat tertentu saja tetap dikenakan pengampuan.

“Inkonsistensi ini memperkeruh kriteria subjek yang dapat ditaruh di bawah pengampuan dan berpotensi menimbulkan kesewenang- wenangan pihak yang hendak mengambil keuntungan. Selain itu, KUHPerdata tidak menspesifikasi ketiga keadaan sebagai persyaratan pengampuan ini. Namun, dalam pelaksanaannya, kriteria-kriteria ini kerap kali menyasar orang-orang yang memiliki disabilitas yakni disabilitas psikososial dan disabilitas intelektual, juga mereka yang memiliki gangguan kognitif.”

Alboin lantas menyatakan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No.19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights of Persons with Disabilities, membuat 'substitute decision-making' pada Pasal 433 KUHPerdata menjadi tidak relevan. “Selain bertentangan dengan tujuan konvensi ini, muatan pasal ini juga menjadi ancaman yang nyata bagi penyandang disabilitas terutama dalam upaya mewujudkan hak asasi di bidang hukum. Sudah saatnya konsep ini diganti menjadi support decision-making,” imbuhnya.

Komisioner Pengaduan Komnas HAM, Hari Kurniawan, yang turut hadir dalam persidangan hari itu menyampaikan Pasal 433 KUHPerdata bertentangan dengan norma-norma HAM. Istilah-istilah yang dipergunakan dirasa bertentangan dengan Pasal 8 dalam Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang mengharuskan negara pihak mengadopsi peraturan segera, efektif dan sesuai untuk memberantas stereotipe prasangka dan praktik-praktik yang merugikan penyandang disabilitas.

"Pasal 433 KUHPerdata mencerminkan tindakan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas mental, sehingga penyandang disabilitas mental mempunyai kerentanan yang berlapis dalam tindakan pengampuan karena setiap tindakan harus dilakukan oleh pengampu," ucap Hari.

Sebagai informasi, turut dilansir adanya rekomendasi Committee on The Rights of the Persons with Disabilites (CRPD) yang merasa prihatin dengan UU nasional Indonesia menggariskan orang dapat dianggap kurang kompeten, khususnya penyandang disabilitas psikososial dan penyandang disabilitas intelektual hingga diampu. CRPD memberikan rekomendasi bagi Indonesia untuk meninjau Pasal 433 KUHPerdata agar dapat diselaraskan dengan Konvensi demi menjamin hak seluruh penyandang disabilitas terhadap pengakuan yang sama di hadapan hukum.

Tags:

Berita Terkait