3 Alasan Utama Koalisi Tolak Vaksinasi Berbayar
Terbaru

3 Alasan Utama Koalisi Tolak Vaksinasi Berbayar

Berpotensi melanggar mandat konstitusi terkait jaminan terhadap hak atas kesehatan setiap warga negara. Koalisi mendesak pemerintah mencabut kebijakan vaksinasi gotong royong untuk Covid-19 yang berbayar ini.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pemerintah terus berupaya melakukan vaksinasi kepada seluruh warga negara. Untuk memperluas cakupan dan percepatan pelaksanaan vaksinasi pemerintah telah menerbitkan berbagai peraturan, salah satunya Peraturan menteri Kesehatan No.19 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kesehatan No.10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19.

Beleid yang diterbitkan 5 Juli 2021 itu mengatur ada 2 jenis vaksinasi yakni vaksinasi program dan vaksinasi gotong royong. Vaksinasi program bersifat gratis karena pendanannya ditanggung pemerintah. Vaksinasi gotong royong untuk individu/orang perorangan biayanya dibebankan kepada bersangkutan, atau untuk karyawan/karyawati, keluarga atau individu lain terkait dalam keluarga biayanya ditanggung badan hukum/badan usaha.

Lalu, mengacu Kepmenkes No.HK01.07/MENKES/4643/2021 besaran harga pembelian vaksin produksi Sinopharm melalui penunjukan PT Bio Farma (Persero) untuk tarif maksimal vaksinasi gotong royong meliputi pembelian vaksin Rp321.660 per dosis dan tarif maksimal pelayanan vaksinasi Rp117.910 per dosis, sehingga totalnya sebesar Rp Rp879.140 per orang (dua kali dosis/suntikan).

Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Warga untuk Keadilan Akses Kesehatan seperti LaporCovid19, YLBHI, ICW, Lokataru, PSHK, TII, Pusat Studi Hukum HAM FH UNAIR, KontraS, IGJ, Jala PRT, RUJAK, Covid Survivor Indonesia, Walhi, Yayasan Perlindungan Insani Indonesia, KawalCovid19, AJI, menyoroti dan menolak kebijakan vaksinasi gotong royong berbayar itu.

Inisiator Platform LaporCovid-19, Irma Hidayana, mengingatkan pemerintah untuk melaksanakan mandat konstitusi yakni memenuhi hak atas kesehatan setiap warga negara termasuk untuk mendapatkan vaksin Covid-19 secara gratis. Tapi di tengah peningkatan kasus penularan Covid-19, pemerintah malah menerbitkan program vaksin gotong royong berbayar untuk individu/perorangan sebagaimana tertuang dalam Permenkes No.19 Tahun 2021.

Vaksinasi berbayar ini, menurut Irma bertentangan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo pada Desember 2020 yang menyebut vaksin Covid-19 diberikan secara gratis untuk seluruh masyarakat. “Vaksinasi berbayar untuk individu/perorangan itu tidak etis. Praktik seperti ini jelas pelanggaran terhadap hak kesehatan masyarakat yang dilindungi konstitusi,” kata Irma ketika dikonfirmasi, Senin (12/7/2021).

Menurut Koalisi, ada 3 alasan utama yang menjadi dasar menolak vaksinasi gotong royong berbayar ini. Pertama, melanggar semangat dan mandat konstitusi, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan peraturan perundang-undangan lain yang menjamin hak atas kesehatan setiap warga negara.

Dari sisi konstitusi, Irma mengingatkan Pasal 28H ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yang menyebutkan setiap orang berhak sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 menegaskan negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Kedua, Koalisi melihat ada manipulasi terminologi herd immunity guna mengambil keuntungan. Irma mengatakan salah satu argumen yang digunakan pemerintah dalam melaksanakan vaksinasi adalah mempercepat tercapainya kekebalan kelompok atau herd immunity. Padahal kekebalan kelompok bisa cepat tercapai jika vaksinasi dilakukan sesuai prioritas kerentanan, melalui tata laksana yang mudah, efikasi dan keamanan vaksin yang kuat, serta edukasi vaksinasi yang adekuat guna mengurangi vaccine hesitancy di masyarakat.

Kendati upaya percepatan vaksinasi telah dilakukan di sejumlah wilayah, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan lainnya, tapi masih banyak daerah yang rendah cakupannya. Selain itu, adanya kendala teknis pelaksanaan vaksinasi massal seperti penumpukan/antrian, tidak seharusnya dijadikan alasan untuk menggulirkan vaksinasi berbayar.

“Pemerintah harus memperbaiki tata laksana ini, bukan menjadikan vaksinasi berbayar sebagai alibi solusi,” ujar Irma.

Ketiga, Koalisi menilai pemerintah menerbitkan regulasi yang terus berubah, sehingga tidak konsisten. Misalnya, Permenkes No.84 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19 yang menjamin penerima vaksin Covid-19 tidak dipungut biaya/gratis. Kemudian diubah menjadi Permenkes No.10 Tahun 2021 yang mengatur badan hukum/usaha dapat melaksanakan vaksinasi gotong royong untuk individu/perorangan. Diubah lagi menjadi Permenkes No.19 Tahun 2021 yang menegaskan vaksinasi individu/perorangan biayanya ditanggung yang bersangkutan.

Irma menjelaskan pengadaan vaksinasi Covid-19 selama ini menggunakan skema pembelian oleh pemerintah dan/atau mendapatkan donasi dari negara lain. Artinya, anggaran yang digunakan untuk membeli vaksin adalah uang rakyat. Soal lambatnya pelaksanaan dan keterbatasan ketersediaan vaksin, pemerintah harusnya memaksimalkan akses dan kemudahan dalam pelaksanaan vaksinasi program, bukan gotong royong berbayar.

Koalisi menegaskan vaksinasi gotong royong berbayar tak hanya cerminan kegagalan pemerintah menjalankan mandatnya melakukan vaksinasi Covid-19, tapi juga menegaskan pemerintah tidak etis karena membisniskan vaksin Covid-19 yang merupakan public good. Karena itu, Koalisi mendesak pemerintah untuk mencabut program vaksinasi gotong royong berbayar ini.

Munculkan komersialisasi

Terpisah, Presiden KSPI, Said Iqbal, mengatakan kalangan buruh mendukung pemerintah melawan pandemi Covid-19 melalui progran vaksinasi. Pemberian vaksin kepada rakyat Indonesia termasuk kalangan buruh dan keluarganya merupakan kewajiban negara. Karena itu, pembiayaannya ditanggung pemerintah serta pengusaha. Baginya, vaksinasi berbayar berpotensi memunculkan komersialisasi vaksin yang menguntungkan pihak tertentu.

Melihat program rapid tes untuk mendeteksi Covid-19, Iqbal menyebut awalnya pemerintah menggratiskan, tapi kemudian terjadi komersialisasi dengan harga pasar. Iqbal khawatir hal serupa akan terjadi dalam pelaksanaan vaksinasi. Akhirnya, ada semacam komersialiasi yang awalnya digratiskan.

“Bahkan perusahaan yang awalnya mengratiskan rapid tes bagi buruh di tempat kerja masing-masing akhirnya setiap buruh harus melakukannya secara mandiri (membayar sendiri, red),” katanya.

Tags:

Berita Terkait