3 Alasan KPA Desak Revisi Perpres Reforma Agraria
Terbaru

3 Alasan KPA Desak Revisi Perpres Reforma Agraria

Ada beberapa hal yang perlu dibenahi antara lain lembaga pelaksana; subjek; dan objek reforma agraria.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika. Foto: Ady
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika. Foto: Ady

Peraturan Presiden (Perpres) No.86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria disebut sebagai terobosan karena satu-satunya landasan hukum yang mengatur secara teknis pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Setahun setelah diterbitkan, kalangan masyarakat sipil menuntut beleid itu direvisi.

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, menjelaskan sedikitnya 3 alasan penting revisi Perpres tersebut. Pertama, membenahi kelembagaan pelaksana reforma agraria. Perpres mengatur penyelenggaraan reforma agraria dilaksanakan oleh Tim Reforma Agraria Nasional yang diketuai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Tim tersebut membentuk gugus tugas reforma agraria tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Menurut Dewi, reforma agraria tidak bisa dijalankan oleh lembaga yang dipimpin oleh pejabat setingkat menteri. Masalah yang dihadapi dalam reforma agraria sifatnya struktural dan lintas sektor. Sehingga seharusnya dipimpin langsung Presiden karena memiliki kewenangan yang otoritatif dan lintas sektoral.

“Salah satu tuntutan revisi Perpres Reforma Agraria adalah kebijakan ini harus dijalankan langsung oleh Presiden, sehingga mampu menghasilkan terobosan politik,” kata Dewi dalam konferensi pers, Kamis (10/2/2022).

(Baca Juga: Revisi Perpres Reforma Agraria Absen Partisipasi Publik)

Kedua, subjek reforma agraria. Sejatinya subjek reforma agraria adalah masyarakat hukum adat, masyarakat miskin, petani, buruh tani, dan lainnya yang sejenis. Tapi, Perpres memasukkan subjek yang tidak tepat seperti PNS, anggota TNI, dan Polri.

Karena memuat subjek yang tidak tepat, Dewi melihat petani gurem dan buruh tani malah tidak diposisikan sebagai prioritas. Praktiknya, ada penumpang gelap baik mafia tanah, spekulan tanah, badan hukum, dan ormas yang menerima tanah objek reforma agraria (TORA).

Ketiga, memperkuat dan memperluas objek reforma agraria. Selama ini Perpres masih kesulitan untuk mendistribusikan TORA kepada masyarakat yang berhak. Misalnya, objek tanah merupakan aset BUMN, HGU bermasalah, daluarsa, atau ditelantarkan.  

TORA yang berasal dari pelepasan kawasan hutan capaiannya juga rendah karena yang disasar tanah kosong. Padahal, banyak desa definitif yang masuk kawasan hutan, sehingga masyarakatnya berkonflik dengan BUMN yang memiliki konsesi. “Harusnya ada terobosan hukum agar desa tersebut bisa dikeluarkan dari aset BUMN. Ini butuh diskresi hukum,” usul Dewi.

Sebelumnya, Deputi VI Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Wahyu Utomo menjelaskan reforma agraria merupakan bagian dari pemerataan ekonomi yang sudah menjadi arahan Presiden Jokowi.

Revisi itu dilakukan sebagai upaya percepatan pelaksanaan pemerataan ekonomi tersebut. Hasil revisi itu juga diharapkan dapat mempercepat pencapaian sejumlah target pemerintah yang dikejar untuk selesai sebelum tahun 2024.

"Lalu disepakati inventarisir masalah yang sudah disusun supaya Perpres 88 Tahun 2017 dan Perpres 86 Tahun 2018 ini bisa terintegrasi dengan UU Cipta Kerja," katanya.

Tags:

Berita Terkait