2019, BPJS Kesehatan Cegah Kerugian dari Fraud Hingga Rp10,5 Triliun
Berita

2019, BPJS Kesehatan Cegah Kerugian dari Fraud Hingga Rp10,5 Triliun

Kecurangan dalam pelaksanaan program JKN sebagaimana hasil audit BPKP tidak sampai 1 persen. Minimnya fraud karena BPJS Kesehatan menerapkan deteksi berlapis antara lain terhadap berkas klaim faskes.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Layanan BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit. Foto: RES
Layanan BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit. Foto: RES

Pemerintah terus membenahi pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang berjalan sejak 1 Januari 2014. Menindaklanjuti Putusan MA No.7P/HUM/2020, pemerintah telah menerbitkan Perpres No.64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan salah satu hal yang paling disorot masyarakat yakni tata kelola. Dia menyebut secara internal BPJS Kesehatan sejak awal menerapkan praktik good governance secara baik. Hasil penilaian sejumlah lembaga terhadap BPJS Kesehatan, kata Fachmi juga tergolong baik.

Misalnya, BPJS Kesehatan mendapat penilaian wajar tanpa modifikasi dari hasil audit keuangan. BPJS Kesehatan juga mendapat berbagai penghargaan dari lembaga internasional terkait inovasi yang telah dilakukan. Hal lain yang banyak disorot mengenai pelaksanaan JKN yaitu bagaimana mengatasi tindak kecurangan (fraud).

Fachmi menyebut BPKP telah melakukan audit investigasi dimana semua fasilitas kesehatan mitra BPJS Kesehatan diperiksa, seperti puskesmas, klinik, dan rumah sakit (RS). Hasilnya, BPKP menemukan fraud dalam pelaksanaan JKN hanya 1 persen.

Menurut Fachmi, jumlah tersebut relatif kecil dibandingkan negara lain yang menjalankan program serupa, misalnya NHS di Inggris tingkat fraud mencapai 3 persen. Fachmi menyebut lembaganya dapat meminimalkan potensi fraud karena telah melakukan sejumlah upaya, salah satunya memperketat pemeriksaan berkas klaim yang masuk.

Hasilnya, efisiensi hasil pemeriksaan pra klaim mampu menemukan Rp8,8 triliun klaim tidak sesuai ketentuan; efisiensi hasil verifikasi menemukan ada Rp1,3 triliun; dan efisiensi pasca verifikasi Rp400 miliar. “Tahun 2019 totalnya sekitar Rp10,5 triliun kami berhasil menyelamatkan uang negara dari pembayaran klaim yang tidak sesuai,” kata Fachmi dalam diskusi secara daring, Kamis (18/6/2020). (Baca Juga: Tiga Kementerian Diingatkan Tindak Lanjuti Rekomendasi KPK Soal Defisit BPJS Kesehatan)

Menurut Fachmi, BPJS Kesehatan serius membenahi tata kelola internal BPJS Kesehatan. Tahun ini, BPJS Kesehatan menargetkan peningkatan kepuasan peserta dan layanan.

Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Kalsum Komaryani menjelaskan peran Kementerian Kesehatan dalam pelaksanaan program JKN antara lain sebagai regulator. Kementerian Kesehatan juga mendaftarkan dan membayar iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) kepada BPJS Kesehatan. Data yang calon peserta PBI yang diperoleh Kementerian Kesehatan merupakan hasil pendataan Kementerian Sosial.

“Jumlah peserta PBI saat ini mencapai 96,8 juta jiwa,” ujarnya.

Kementerian Kesehatan berperan mengatur prosedur pelayanan Kesehatan, seperti screening dan kriteria gawat darurat, serta obat yang masuk formularium nasional (fornas). Untuk menyelesaikan sengketa terkait pelaksanaan JKN, misalnya antara faskes dan BPJS Kesehatan, ditangani melalui tim pertimbangan klinis.

“Mengacu Permenkes No.5 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pertimbangan Klinis, pertimbangan klinis dilakukan terhadap upaya penguatan sistem dalam penyelenggaraan JKN dan penyelesaian sengketa klinis,” kata Kalsum.

JKN mirip asuransi komersial

Pakar Jaminan Kesehatan Masyarakat FKM UI, Prof Budi Hidayat mengatakan manfaat yang diberikan program JKN hampir sama seperti manfaat yang diberikan asuransi komersial. Tapi iuran JKN jauh lebih murah daripada asuransi komersial. Karena itu sebagai asuransi sosial, manfaat program JKN harus diatur secara ketat. Pembiayaan program JKN berasal dari iuran yang dibayar peserta dan iuran PBI yang dibayar oleh pemerintah.

Sistem pembiayaan JKN tidak seperti program serupa di negara lain, seperti di Inggris dan Ukraina karena di negara tersebut sumber dana diambil dari pajak yang sudah diambil pemerintah dari setiap warganya. Budi mengatakan mekanisme pembiayaan itu tidak bisa dilakukan di Indonesia karena sejak awal sistem pajak di Indonesia tidak didesain untuk mendukung hal tersebut.

“Infrastruktur pajak kita belum siap untuk mengikuti model pembiayaan jaminan kesehatan seperti di Inggris,” kata dia.

Peserta mandiri kategori pekerja bukan penerima upah (PBPU), menurut Budi tergolong sulit untuk rutin membayar iuran JKN. Hal tersebut juga dialami oleh negara lain yang menjalankan program yang mirip JKN dengan mekanisme pembiayaan melalui iuran peserta.

“Tata kelola JKN termasuk rumit karena melibatkan banyak pihak yang membawa kepentingan berbeda, tapi berbagai pihak itu disatukan dengan tujuan agar program JKN dapat berjalan berkelanjutan.”

Sebelumnya. tiga kementerian diingatkan menindaklanjuti rekomendasi KPK untuk mengatasi BPJS Kesehatan. "Merespons surat KPK tanggal 30 Maret 2020 tentang rekomendasi untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan, Sekretariat Negara (Setneg) meminta tiga kementerian menindaklanjuti rekomendasi KPK," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding melalui keterangannya di Jakarta, Senin (8/6/2020) lalu.

KPK telah menerima tembusan surat dari Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) tersebut yang ditujukan kepada Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri. "Dalam surat itu, Setneg meminta ketiga kementerian itu menindaklanjuti rekomendasi KPK terkait defisit BPJS Kesehatan sesuai kewenangan masing-masing," kata Maryati Kuding.

Pada Maret 2020 lalu, dalam surat KPK kepada Presiden sebagaimana paparan yang disampaikan kepada publik, KPK merekomendasikan beberapa alternatif solusi yang diyakini dapat menutupi defisit BPJS Kesebeban yang mencapai Rp12,2 triliun pada 2018 tanpa harus menaikkan iuran. (Baca Juga: Tiga Kementerian Diingatkan Tindak Lanjuti Rekomendasi KPK Soal Defisit BPJS Kesehatan)

Pertama, Kemenkes diminta mempercepat penyusunan PNPK (Pedoman Nasional Praktik Kedokteran) esensial dari target 80 jenis PNPK. Hingga Juli 2019 baru tercapai 32 PNPK. Ketiadaan PNPK akan mengakibatkan unnecessary treatment atau pengobatan yang tidak perlu. Misalnya, kasus klaim katarak 2018 dari total klaim sebesar Rp2 triliun, diestimasi unnecessary treatment maksimal Rp200 miliar. Di tahun 2018 terdapat kasus unnecessary bedah caesar dan fisioterapi.

Kedua, opsi pembatasan manfaat untuk penyakit katastropik akibat gaya hidup, seperti jantung, diabetes, kanker, stroke, dan gagal ginjal. Total klaim penyakit katastropik ini adalah sebesar 30 persen dari total klaim pada 2018 sebesar Rp94 triliun yaitu Rp28 triliun. Dengan diatur PNPK penyakit katastropik, maka potensi unnecessary treatment sebesar 5 sampai 10 persen atau sebesar Rp2,8 triliun dapat dikurangi. Dan rekomendasi lainnya.  

Tags:

Berita Terkait