2018 ‘Darurat’ Korupsi Kepala Daerah
Lipsus Akhir Tahun 2018:

2018 ‘Darurat’ Korupsi Kepala Daerah

Terbitnya revisi PP Perangkat Daerah yang direncanakan pada awal tahun 2019, diharapkan berlaku efektif dalam upaya pencegahan korupsi di daerah.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Tahun 2018, nampaknya menjadi tahun kelam bagi upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi terutama di daerah. Hingga Desember 2018, sekitar 23 kepala daerah terjerat kasus korupsi yang telah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mulai gubernur, bupati, walikota, hingga perangkat daerah. Terakhir, di penghujung tahun 2018, KPK telah menetapkan Bupati Jepara Ahmad Marzuqi dan Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar sebagai tersangka.

 

Bupati Jepara Ahmad Marzuqi diduga korupsi berupa pemberian hadiah/janji yang totalnya sebesar Rp700 juta kepada hakim PN Semarang Lasito terkait putusan praperadilan bernomor 13/PId.Pra/2017/PN.Smg yang mencabut atau menyatakan tidak sah/batal demi hukum status tersangka Ahmad Marzuqi terkait dugaan korupsi penggunaan dana bantuan partai politik DPC PPP Kabupaten Jepara periode 2011 s.d. 2014.

 

Di kasus Cianjur, Irvan tak sendiri, ia bersama Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur Cecep Sobandi, Kepala Bidang SMP di Dinas Pendidikan Rosidin, dan Tubagus Cepy Sethiady diduga korupsi berupa pemotongan/meminta (pemerasan) Dana Alokasi Khusus (DAK) 2018 di Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur sebesar 14,5 persen dari total Rp46,8 miliar. Diduga alokasi fee untuk Irvan selaku Bupati Cianjur sebesar 7 persen dari alokasi DAK tersebut. Baca Juga: KPK Tangkap Kepala Daerah di Cianjur

 

Pada pertengahan November 2018, KPK menetapkan Bupati Pakpak Bharat, Sumatera Utara, Remigo Yolanda Berutu (RYB) bersama Plt Kepala Dinas PUPR Kabupaten Pakpak Bharat David Anderson Karosekali (DAK) dan seorang pihak swasta Hendriko Sembiring (HS). Mereka diduga terlibat kasus penerimaan suap terkait proyek-proyek di Dinas PUPR Kabupaten Pakpak Bharat Tahun Anggaran 2018.

 

Sementara pada akhir Oktober 2018, KPK juga menetapkan Bupati Cirebon periode 2014-2019 Sunjaya Purwadisastra sebagai tersangka kasus korupsi berupa penerimaan suap. Ia dijerat korupsi karena diduga menerima uang suap yang totalnya lebih dari Rp6,65 miliar terkait jual-beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cirebon, Jawa Barat. Konstruksi perkara ini, salah satu pemberian uang suap diduga berasal dari Gatot Rachmanto (GAR), Sekretaris Dinas PUPR Kabupaten Cirebon sebesar Rp100 juta. Uang itu merupakan imbalan mutasi dan pelantikan atas jabatannya tersebut.

 

Selain itu, Sunjaya diduga menerima pemberian lain secara tunai dari pejabat lain di Pemkab Cirebon sebesar Rp125 juta melalui ajudan dan sekretaris pribadinya. Tak hanya tunai, terkait mutasi jabatan, Sunjaya diduga menerima uang lain dengan total senilai Rp6,425 miliar yang tersimpan dalam rekening atas nama orang lain yang berada dalam penguasaannya sebagai rekening penampungan terkait proyek-proyek di Pemkab Cirebon Tahun Anggaran 2018.

 

Sebelumnya, pertengahan Oktober 2018, Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dan beberapa pejabat di Pemkab Bekasi terjerat kasus suap berupa penerimaan hadiah atau janji dari pengusaha Lippo Group terkait pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta. Kini, perkaranya tengah disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Baca Juga: Direktur Lippo Group dan Bupati Bekasi Tersangka Suap Proyek Meikarta

Berikut daftar 23 kepala daerah yang tertangkap tangan KPK selama 2018:

Hukumonline.com

 

Beragam modus dan motivasi

Ke-23 kepala daerah yang diproses KPK hingga ke pengadilan itu, umumnya terjerat kasus suap dengan beragam modus seperti diancam Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b, Pasal 12B, Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64, Pasal 65 ayat (1) KUHP. Sebagian kepala daerah tersebut sudah divonis terbukti bersalah oleh Pengadilan Tipikor Jakarta.   

 

Berdasarkan penelusuran Hukumonline, penerimaan uang sebagai fee proyek pengadaan barang dan jasa modus paling menonjol hampir di semua kasus suap yang melibatkan kepala daerah tersebut. Modus lain, penerimaan uang terkait perizinan, pengisian jabatan di daerah, dan pengurusan anggaran otonomi khusus, hingga pembiayaan politik dalam perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada serentak). Baca Juga: Terpilihnya Tersangka Korupsi di Pilkada 2018 Hambat Kemajuan Daerah

 

Suap modus pembiayaan politik terjadi dalam kasus penerimaan suap Mantan Walikota Kendari periode 2012-2017 Asrun dan Wali Kota Kendari 2017-2022 Adriatma Dwi Putra. Bapak dan anak ini, terbukti korupsi menerima suap totalnya sebesar Rp6,8 miliar dari Direktur PT Sarana Bangun Nusantara Hasmun Hamzah agar mendapat proyek pekerjaan multiyears pembangunan jalan Bungkutoko-Kendari New Port tahun 2018-2020 dengan nilai proyek sebesar Rp60,168 miliar.

 

Modusnya, Adriatma meminta Hasmun membantu biaya kampanye Asrun sebesar Rp2,8 miliar untuk maju dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Utara Tahun 2018. Modus korupsi untuk biaya kampanye juga terjadi dalam kasus suap Bupati Ngada Marianus Sae terkait sejumlah proyek di daerah tersebut sekitar Rp4,1 miliar. Ada dugaan kuat dana tersebut digunakan Marianus sebagai dana kampanye yang berencana maju dalam Pemilihan Gubernur Nusa Tenggara Timur Tahun 2018. 

 

Ironis memang. Korupsi berupa suap tentu berdampak buruk terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan sangat merusak proses demokrasi lokal yang diharapkan dapat menghasilkan pemimpin yang lebih berorientasi pada kepentingan masyarakat setempat, bukan mengumpulkan kekayaan pribadi dan pembiayaan politik. Diakui semua pihak, biaya politik memang sangat mahal sebagai satu faktor yang mendorong kepala daerah melakukan korupsi. 

 

Mengutip hasil kajian KPK, telah dihimpun data sejumlah instansi dan lembaga antikorupsi. Misalnya, data Kemendagri menunjukan modus korupsi kepala daerah terkait penyuapan, penyalahgunaan anggaran, penyelewengan pengadaan barang/jasa, dan perizinan. Menurut data Litbang Kemendagri itu, penyebab kepala daerah melakukan korupsi karena perilaku kepala daerah dan biaya pilkada yang mahal. Misalnya, menjadi walikota/bupati dibutuhkan biaya politik kisaran Rp20-Rp50 miliar dan menjadi gubernur kisaran Rp20-Rp100 miliar.

 

Kajian Kemendagri itu diperkuat penelitian dari Perludem bahwa akibat tingginya biaya kampanye yang harus ditanggung pasangan calon kepala daerah. Lalu ketika terpilih, mereka berusaha membayar utang biaya kampanye sekaligus mengumpulkan biaya kampanye untuk pilkada berikutnya. Akibatnya, banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi mengambil jalan pintas mengumpulkan dana politik. Baca Juga: Mengapa Kepala Daerah “Gemar” Korupsi? Ini Kajian KPK

 

Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mencatat sejak 2004 hingga 2018, kepala daerah yang terlibat korupsi yang ditangani KPK sebanyak 105 kepala daerah. Namun, tahun 2018 menjadi tahun terbanyak/tertinggi kepala daerah yang terjerat kasus korupsi yakni sebanyak 20-an lebih. Tertinggi kedua pada tahun 2014, dengan 14 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi yang ditangani KPK.

 

KPK terus mencari formula yang tepat guna menjembatani antara penyelenggaraan otonomi daerah yang baik dan upaya menghadirkan calon pemimpin daerah yang ideal dan berintegritas. Salah satu rekomendasi KPK, pembiayaan partai politik (parpol) memadai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini agar keuangan parpol mendapat porsi dari negara agar setiap kader parpol tidak menggadaikan banyak hal atau mengeluarkan anggaran pribadi saat berkontestasi dalam pilkada, sehingga parpol lebih independen dari pengaruh pemilik modal (pengusaha).

 

Saat ini bantuan keuangan parpol diatur dalam PP No. 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas PP No. 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Partai Politik. Hanya saja, bantuan ini berlaku bagi anggota legislatif terpilih. Misalnya, besaran nilai bantuan keuangan kepada parpol yang mendapat kursi di DPR adalah Rp 1.000 per suara sah; DPRD tingkat provinsi besarannya Rp 1.200 per suara sah. Sedangkan, DPRD kabupaten/kota sebesar Rp1.500 per suara sah.

 

Penguatan APIP

Maraknya korupsi kepala daerah sepanjang 2018, salah satunya disebabkan lemahnya sistem pengawasan dalam lingkup pemerintahan daerah. Misalnya, keberadaan inspektorat daerah atau lazim disebut Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) “tersandera” karena secara struktur di bawah kepala daerah. Bisa dibayangkan pegawai inspektorat yang diangkat dan diberhentikan kepala daerah, kemudian mengawasi atasannya sendiri hingga penjatuhan sanksi.

 

Seperti diketahui, pengawasan intern kementerian/lembaga atau pemerintah daerah dilakukan oleh APIP. APIP terdiri dari Inspektorat Jenderal Kementerian, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Nonkementerian, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Provinsi, serta Inspektorat Kabupaten/Kota. Sesuai UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang terakhir kali diubah dengan UU No.9 Tahun 2015, kepala daerah wajib melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat daerah. Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan itu, kepala daerah dibantu oleh Inspektorat Provinsi atau Inspektorat Kabupaten/Kota.

 

Faktanya, ada beberapa kasus dugaan korupsi/suap yang menjerat kepala daerah yang justru melibatkan perangkat daerah termasuk APIP. Seperti kasus penyuapan yang dilakukan Kepala Desa Dasok Agus Mulyadi bersama-sama Bupati Pamekasan Achmad Syafii yang melibatkan Inspektur Kabupaten Pamekasan Sutjipto Utomo, Kepala Bagian Inspektur Kabupaten Pamekasan Noer Solehhoddin, dan Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudy Indra Prasetya pada Agustus 2017 lalu.   

 

Sebelumnya, pada Mei 2017, KPK pernah memproses seorang APIP Kementerian. Salah satu Inspektur Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) diduga menyuap Auditor Utama BPK Rochmadi Saptogiri agar Kemendes PDTT mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

 

Tak hanya di KPK. Sekitar Juli 2016, Kejaksaan Negeri Mejayan pernah memproses seorang APIP sebagai tersangka kasus korupsi. APIP dimaksud Inspektur Kabupaten Madiun Benny Adiwijaya. Lalu, Benny divonis 4 tahun penjara dan dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp1,3 miliar subsider 2 tahun penjara karena bersalah menyalahgunakan anggaran Inspektorat Kabupaten Madiun yang sebelumnya bernama Badan Pengawasan tahun anggaran 2012-2014.

 

Bagi KPK, perlu ada perubahan regulasi, seperti RUU Sistem Pengawasan Intern Pemerintahan sebagai kebutuhan mendesak mencegah maraknya korupsi yang dilakukan kepala daerah. Jika kedudukan inspektorat daerah tidak lagi di bawah kepala daerah, tentu kerja-kerja inspektorat kepala daerah lebih independen dan leluasa dalam upaya mencegah segala bentuk penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang yang dilakukan kepala daerah. Baca Juga: APIP Sang Pengawas Bukan Bagian Mata Rantai Korupsi

 

Meski begitu, kita patut mengapresiasi upaya pemerintah yang tengah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Revisi PP Perangkat Daerah ini diarahkan pada penguatan dan independensi peran inspektorat daerah berikut penganggarannya. Upaya ini sebenarnya sudah dimulai sejak Juli 2017 ketika KPK dan Kemendagri mengirimkan surat kepada Presiden.

 

Dalam surat itu, perlu dilakukan penguatan APIP untuk berperan mencegah korupsi di daerah karena banyaknya operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK. Sebab, selama ini APIP tidak independen karena pengangkatan dan pemberhentian ditentukan kepala daerah termasuk anggarannya. Direncanakan, revisi PP Nomor 18 Tahun 2016 itu menjadi “hadiah” tahun baru 2019 untuk negara ini.  

 

Tentu kita semua berharap terbitnya revisi PP Perangkat Daerah itu dapat berlaku efektif dalam upaya pencegahan korupsi di daerah. Setidaknya, aturan tersebut dapat meminimalisir terjadi korupsi di daerah, khususnya yang melibatkan kepala daerah. Semoga.  

Tags:

Berita Terkait