2 Usul Apindo untuk Peraturan Pelaksana Perppu Cipta Kerja Soal Outsourcing
Terbaru

2 Usul Apindo untuk Peraturan Pelaksana Perppu Cipta Kerja Soal Outsourcing

Antara lain pengaturan sifat pekerjaan yang bisa menggunakan mekanisme outsourcing dan menghapus birokrasi yang menghambat penciptaan lapangan kerja. Diusulkan alih daya dibatasi hanya untuk jenis pekerjaan yang sifatnya penunjang seperti, security, cleaning service, driver, catering, dan pekerjaan lepas pantai.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Terbitnya Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja mengagetkan banyak pihak, salah satunya asosiasi pengusaha. Beleid itu tak banyak mengubah ketentuan yang sebelumnya diatur dalam  UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kendati demikian, Apindo menyoroti beberapa pasal klaster ketenagakerjaan dalam Perppu tersebut antara lain yang mengatur tentang alih daya atau outsourcing.

Anggota Komite Regulasi dan Kelembagaan Apindo, Susanto Haryono, mencatat Pasal 64 Perppu berpotensi membatasi praktik outsourcing. Ketentuan itu mengatur pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah. Apindo melihat pada prinsipnya praktik outsourcing tidak perlu dibatasi sebagaimana sebelumnya diatur dalam UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menghapus pasal outsourcing dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang membatasi beberapa jenis pekerjaan outsourcing.

Sekalipun mau diatur pembatasannya melalui Peraturan Pemerintah, Susanto mengusulkan substansinya meliputi setidaknya 2 hal. Pertama, pembatasan tidak dilakukan terhadap nama posisi atau jenis pekerjaan, tapi dibatasi berdasarkan karakter atau sifat pekerjaan. Misalnya, selama puncak volume, fluktuasi permintaan musiman atau jangka pendek.

Baca Juga:

Selain itu, bisa juga untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan khusus yang tidak bisa dilakukan oleh pekerja/buruh di perusahaan; menggantikan pekerja/buruh yang mengalami halangan seperti cuti melahirkan, cuti panjang, dan lainnya. “Atau pekerja outsourcing mengerjakan proyek dengan durasi tertentu,” kata Susanto Haryono dalam konferensi pers, Selasa (3/1/2023) kemarin.

Kedua, peraturan pelaksana outsourcing perlu menghapus kewajiban administrasi yang sifatnya birokratis, seperti pelaporan. Susanto menilai hal tersebut menghambat penciptaan lapangan kerja.

Menurut Susanto, pembatasan terhadap outsourcing tidak tepat di era revolusi industri 4.0 seperti saat ini karena perubahan terhadap kebutuhan keterampilan berkembang sangat cepat. Faktanya, revolusi industri 4.0 menghilangkan banyak jenis pekerjaan lama dan melahirkan pekerjaan yang membutuhkan keterampilan baru.

“Karena itu, pembatasan jumlah jenis pekerjaan yang dapat di-outsourcing menjadi semakin tidak relevan di tengah pekerjaan baru semakin tumbuh berkembang dan kebutuhan akan pekerja terampil semakin meningkat,” dalih Susanto.

Mengutip data Future of Jobs Reports 2018 menunjukkan 65 persen perusahaan memilih untuk melakukan outsourcing terhadap fungsi atau pekerjaannya ke pada perusahaan lain di tengah terjadinya shifting skill needs. Pekerjaan dengan keterampilan baru yang saat ini banyak dibutuhkan antara lain peneliti dan analis data, spesialis kecerdasan buatan (AI), dan Machine Learning, analis dan pengembang perangkat lunak dan aplikasi serta lainnya.

Terpisah, Sekjen OPSI, Timboel Siregar, menerangkan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengatur outsourcing dibuka seluasnya untuk seluruh jenis pekerjaan. Faktanya, pekerja outsourcing pasti statusnya dipekerjakan melalui perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

Mengacu Pasal 59 UU No.11 Tahun 2020, PKWT juga hanya untuk jenis pekerjaan yang sifatnya sementara, tidak bisa digunakan untuk pekerjaan inti dan tetap. Oleh karena itu, ketentuan outsourcing dan PKWT dalam UU Cipta Kerja saling bertentangan. “UU Cipta Kerja mengatur PKWT tidak boleh untuk pekerjaan inti atau tetap, sementara aturan alih daya membolehkan semua jenis pekerjaan termasuk pekerjaan inti (dengan menggunakan status PKWT, red),” kata Timboel di Jakarta, Rabu (04/01/2023).

Berbeda dengan aturan sebelumnya dalam UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang selaras mengatur ketentuan outsourcing dan PKWT dimana mekanisme itu hanya bisa digunakan untuk pekerjaan yang sifatnya sementara atau penunjang. Menurut Timboel, Perppu No.2 Tahun 2022 menyadari ada ketentuan yang tidak sinkron dalam UU Cipta Kerja, sehingga Pasal 64 Perppu Cipta Kerja mengamanatkan jenis pekerjaan yang bisa dialih daya akan diatur dalam PP.

Agar aturan alih daya dan PKWT konsisten, Timboel mengusulkan agar pekerjaan yang dialih daya dibatasi hanya untuk pekerjaan yang sifatnya penunjang. “PP Outsourcing itu bisa mengadopsi 5 jenis pekerjaan yang pernah diatur dalam Permenaker No.19 Tahun 2012 yakni security, cleaning service, driver, catering, dan pekerjaan lepas pantai,” usulnya.

Tags:

Berita Terkait