2 Pasal RKUHP Ini Dinilai Bisa Lemahkan Profesi Advokat
Utama

2 Pasal RKUHP Ini Dinilai Bisa Lemahkan Profesi Advokat

DPR maupun Pemerintah diharap menghapus kedua pasal tersebut dari RKUHP, karena selain tidak membawa kepastian hukum yang berkeadilan.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Komunitas Advokat Pengawal RKUHP yang di inisiasi oleh Johan Imanuel, Albert Aries, Wendra Puji, Syukni Tumi, Jarot Maryono, M Yusran L, Herman, Eko Arief Cahyono, Ricka Kartika Barus, Donny W. Tobing, Ruby Falahadi, Sugeng Martono, Kemal Hersanti, Hady Saputra, Denny Supari, David Sihombing, Jilun, Prayogo Laksono menilai draf RUU Hukum Pidana yang terakhir diperolehnya bisa melemahkan profesi advokat.

 

Dari segi pembentukan peraturan dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku universal, ketentuan Pasal 281 dan Pasal 282 RUU Hukum Pidana dinilai tak memenuhi kejelasan rumusan pasal (delik) dan  Asas Kepastian Hukum, sehingga berpotensi melanggar Pasal 5 dan Pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta multi tafsir (sesuai dengan asas Lex Certa/Lex Stricta).

 

Pasal 281:

“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, Setiap Orang yang:

  1. tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
  2. bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau
  3. secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.

 

Muatan materi yang akan diatur pada Pasal 281 RKUHP ini, disebut dapat membuka penafsiran bahwa setiap orang termasuk Advokat yang mewakili kepentingan hukum kliennya tidak diperbolehkan atau setidak-tidaknya dibatasi oleh delik ini untuk melakukan upaya hukum terhadap perintah pengadilan atau penetapan hakim.

 

Padahal selama ini dalam pemeriksaan perkara dimungkinkan adanya beda pendapat antara advokat dengan hakim, memperoleh informasi terkait dengan perkembangan perkara secara langsung maupun tidak langsung termasuk menggalang dukungan atau pendapat publik mengenai perkara yang sedang ditanganinya, misalnya melalui publikasi ke media dan/atau sarana lainnya untuk semua perkara yang ditangani oleh advokat tersebut.

 

“Sementara Pasal 2 UU Advokat jelas mewajibkan advokat untuk membela kepentingan klien melalui tindakan hukum lainnya. kan aneh jika advokat melakukan tindakan hukum untuk kepentingan klien tapi malah dapat terancam pidana,” kata perwakilan Komunitas Advokat Pengawas RKUHP, Johan Imanuel, kepada hukumonline, Jumat (30/8).

 

Ia melanjutkan, rumusan itu juga bertentangan dengan prinsip bahwa advokat adalah penegak hukum yang bebas, mandiri yang dijamin dalam UU No. 18 tahun 2003 tentang advokat serta dijamin konstitusionalitasnya melalui hak imunitas berdasarkan Putusan MK No. 26/PUU-XI/2013.

 

(Baca Juga: Masih Berfilosofi Kolonial Diharapkan RKUHP Tidak Buru-Buru Disahkan)

 

Pada Putusan a quo ditegaskan bahwa advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan klien baik di dalam maupun di luar pengadilan. Selain mempersoalkan rumusan Pasal 281, pihaknya juga mempersoalkan Pasal 282 RKUHP.

 

Pasal 282:

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara curang:

  1. mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan klien, padahal mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan pihak kliennya; atau
  2. mempengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara, dengan atau tanpa imbalan.

 

Ketentuan Pasal a quo, dinilainya dapat menurunkan kredibilitas Advokat sebagai profesi yang terhormat (officium nobile). Pasal  a quo seolah menggambarkan bahwa Advokat yang sedang menjalankan profesinya dengan “mempengaruhi” aparat penegak hukum melalui cara-cara yang sah dan tidak melawan hukum seolah-olah menjadi identik dengan suatu perbuatan yang curang. Jalur sah dan tidak melawan hukum dimaksud seperti mempengaruhi dengan argumentasi hukum (legal reasoning) yang baik, misalnya.

 

“Pasal tersebut bisa membatasi kewajiban advokat dalam memberikan argumentasi hukum untuk mempengaruhi aparat penegak hukum. Ketika advokat menjalankan kewajiban itu masa bisa diidentikkan dengan perbuatan curang meski sama sekali tidak memberikan suap, gratifikasi seperti yang dilarang dalam UU Tipikor?” jelasnya.

 

Padahal, sebagai profesi yang officium nobile sebelum seseorang menjadi advokat wajib mengucapkan Sumpah Advokat (vide; Pasal 6) dan memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 5 UU Advokat. Dengan begitu, jelas bahwa pertanggungjawaban moral seorang advokat bukan hanya kepada klien yang dibelanya melainkan juga kepada Tuhan Yang Maha Esa serta bangsa dan negara.

 

“Kami meminta kepada DPR maupun Pemerintah untuk segera menghapus kedua Pasal tersebut dari RKUHP, karena selain tidak membawa kepastian hukum yang berkeadilan, ketentuan tersebut juga dapat mengakibatkan kegaduhan yang tidak perlu dan berpotensi untuk diuji materi di Mahkamah Konstitusi,” tutupnya.

 

Sebelumnya, sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP, juga menolak rencana pemerintah dan DPR untuk mengesahkan RKUHP menjadi UU pada 24 September 2019.

 

Namun, Aliansi lebih menyoroti masih banyaknya pasal RKUHP yang masih bermasalah, mulai pasal penodaan agama, living law, pidana mati, penghinaan presiden, penghinaan pemerintah/penguasa, pidana korporasi, aborsi, narkotika, hingga pelanggaran HAM berat.    

 

Ketua Umum YLBHI Asfinawati mengatakan sejak reformasi Indonesia telah melakukan pembenahan di bidang hukum, antara lain mengamandemen konstitusi dan meratifikasi berbagai macam konvensi internasional antara lain hal sipil dan politik dan ekonomi sosial budaya. Pembahasan RKUHP sejatinya harus mengacu berbagai ketentuan tersebut.

 

Namun Asfin melihat dalam RKUHP yang rencananya akan segera disahkan pemerintah dan DPR masih ada sejumlah persoalan. Misalnya, Pasal 323 RKUHP tentang kriminalisasi penginaan terhadap agama. Menurut Asfin, tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan penghinaan kepada agama. Jika penghinaan ini ditujukan kepada individu, pihak yang merasa dihina bisa melakukan pengaduan.

 

Dalam ketentuan RKUHP ini siapa pihak yang bisa mengklaim bahwa ada ajaran yang menghina suatu agama? “Ini akan menimbulkan diskriminasi yakni memilih satu tafsir agama untuk mempidanakan tafsir yang lain,” kata Asfin dalam jumpa pers di kantor YLBHI/LBH Jakarta, Senin (26/8) lalu.

 

Tags:

Berita Terkait